Tampilkan postingan dengan label Masjid di Jambi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Jambi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Mei 2012

Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Tertua di Kerinci - Jambi

Masjid Agung Pondok Tinggi, Sungai Penuh, Jambi (foto dari ms.wikipedia.org)

Masjid Agung Pondok tinggi merupakan salah satu masjid tertua di wilayah Kerinci (Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh) di Provinsi Jambi. Masjid yang dibangun pada 1874 M itu merupakan saksi nyata penyebaran Islam ke wilayah tersebut. Kota Sungai Penuh sebelumnya merupakan ibukota dari Kabupaten Kerinci yang kemudian menjadi kota mandiri berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2008 lepas dari administrasi Kabupaten Kerinci. Sebagian wilayah Kota Sungai Penuh ini merupakan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang terkenal dengan keindahan alam nya.

Logo kota Sungaipenuh
Sepintas lalu bentuk Masjid Agung Pondok Tinggi ini mirip dengan rancangan Masjid Batu Al-Ikhsaniyah di Sekoja (Seberang Kota Jambi) sebelum direnovasi oleh Belanda, dan rancangan Masjid Jami’ Bengkulu yang dirancang ulang oleh Bung Karno. Namun, Masjid Agung Pondok Tinggi di Sungai Penuh ini tidak memiliki keterkaitan dengan Bung Karno tapi dengan Bung Hatta yang pernah berkunjung dan sholat di masjid ini tahun 1953 didampingi Bpk. Ruslan Mulyohano, Gubemur Sumatra Tengah waktu itu.
 
Beliau berpesan agar masjid bersejarah tersebut dijaga kelestariannya, sekaligus memberinya nama “Masjid Agung Pondok Tinggi”. Menurut masyarakat setempat, pembangunan masjid ini dimulai pada Rabu, 1 Juni 1874, dan selesai pada 1902. Dibangun dengan cara swadaya gotong royong warga muslim setempat. Lokasi Masjid Jami Pondok Tinggi kini berada ditengah tengah pemukiman warga di RT.02 Desa Pondok Agung / Pondok Tinggi. Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.

Alamat dan Lokasi Masjid Jami Pondok Tinggi

Masjid Agung Pondok Tinggi
Desa Pondok Tinggi, Kecamatan Sungai Penuh
Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi, Indonesia




Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungai Penuh dapat ditempuh melalui tiga alternatif jalur darat. Pertama, perjalanan dari Kota Jambi ke Kota Sungai Penuh berjarak sekitar 500 km, dengan waktu tempuh sekitar 10 jam. Kedua, perjalanan dari Kota Padang ke Tapan kemudian dilanjutkan ke Kota Sungai Penuh yang berjarak sekitar 278 km dengan waktu tempuh sekitar 7 jam. Ketiga, perjalanan dari Kota Padang ke Muaralabuh, lalu dilanjutkan ke Kota Sungai Penuh. Jarak dari Kota Padang ke lokasi objek wisata sekitar 211 km dengan waktu tempuh sekitar 5-6 jam. Bagi anda pecinta wiasaya kuliner yang berkunjung ke Kota Sungai Penuh dapat mencicipi kuliner khas masyarakat Kerinci berupa beras payo, gulai ikan semah, dendeng bateko, kacang tojin, lemang, atau minum kopi kerinci dan teh kayu aro khas Kerinci.

Masjid Agung Pondok Tinggi Kerinci 
sekitar tahun 1901-1912
Warisan Sejarah dan Ikon Kota Sungai Penuh

Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungai Penuh ini, selain masuk sebagai warisan budaya yang harus dilindungi dibawah Monumen Ordonasi tahun 1931 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Cagar Budaya, Pemerintah Kota Sungai Penuh juga mengabadikan Masjid Agung Pondok Tinggi ke dalam lambang kota Sungai Penuh ketika Sungai Penuh resmi berstatus sebagai sebuah kota otonom lepas dari administasi Kabupaten Kerinci. Masuknya Masjid Agung Pondok Tinggi ke dalam lambang kota Sungai Penuh ini menunjukkan penghargaan yang tinggi dari masyarakat dan pemerintah Kota Sungai Penuh terhadap warisan budaya mereka.

Sejarah Masjid Agung Pondok Tinggi

Masjid Agung Pondok Tinggi dibangun secara bergotong-royong oleh warga Desa Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi pada tahun 1874 M. Menurut masyarakat setempat, pembangunan dimulai pada Rabu, 1 Juni 1874, dan selesai pada 1902. Kala itu warga Sungai Penuh tak lebih dari 90 Kepala keluarga saja. Untuk melakukan pembangunan masjid, sebagian besar warga baik laki-laki dan perempuan bergotong-royong mengumpulkan kayu. Untuk meningkatkan semangat kerja, warga dusun juga mengadakan pergelaran berbagai seni pertunjukan tradisional Kerinci, di antaranya pencak silat..

Setelah kayu terkumpul dan pondasi berhasil dibangun, warga kemudian mengadakan musyawarah untuk membentuk panitia pelaksana pembangunan masjid. Dalam musyawarah tersebut, disepakati empat orang pelaksana inti, yaitu Bapak Rukun (Rio Mandaro), Bapak Hasip (Rio Pati), Bapak Timah Taat, dan Haji Rajo Saleh (Rio Tumenggung). Sementara untuk arsitektur bangunan dipercayakan kepada M. Tiru seorang warga Dusun Pondok Tinggi. Untuk mengerjakan rancangan tersebut, dipilih 12 tukang bangunan yang dianggap memiliki keahlian mumpuni. 

Detil dinding papan Masjid Agung Pondok Tinggi

Ke 12 orang tukang bangunan tersebut bertugas membantu mengukur, memotong, dan memilah berbagai komponen bangunan. Sementara itu, masyarakat setempat turut serta membantu pembangunan secara bergotong royong, terutama dalam menyediakan bahan-bahan untuk keperluan pembangunan. Pembangunan Masjid Agung Pondok Tinggi baru selesai secara permanen pada tahun 1902.

Kata “Rio” yang pada nama para tokoh masyarakat tersebut kemungkinan besar yang dimaksud adalah “Krio” gelar tokoh masyarakat Kesultanan Palembang setingkat kepala Kampung, sejak masa Sultan Mahmud Badaruddin II, yang merujuk kepada buku ketatanegaraan kesultanan palembang yang berjudul “Simbur Cahaya”. Atau kemungkinan juga memiliki akar kata yang sama dengan itu.

Cerita yang berkembang di masyarakat juga menyebutkan, pembangunan masjid itu diawali dengan pesta keramaian selama tujuh hari tujuh malam dengan menyembelih 12 kerbau. Selain dihadiri seluruh warga dusun, pesta keramaian juga dihadiri seorang pangeran pemangku dari Jambi. Awalnya dinding masjid terbuat dari anyaman bambu dan pada tahun 1890, oleh masyarakat setempat, dinding yang terbuat dari anyaman bambu tersebut diganti dengan kayu yang diukir dengan indah.

Ornamen di bawah atap masjid Pondok Tinggi

Arsitektural Masjid Agung Pondok Tinggi

Arsitekur Masjid Agung Pondok Tinggi dibangun mengikuti model arsitektur masjid asli Nusantara dengan ciri atap limas tumpang tiga, bagian atasnya dihiasi dengan lambang bulan sabit dan bintang. Bagi masyarakat setempat, tiga tingkat atap tersebut berkaitan dengan 3 filosofi hidup yang mereka jalankan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bapucak satu (berpucuk satu), berempe Jurai (berjurai empat), dan batingkat tigae (bertingkat tiga). Berpucuk satu melambangkan bahwa masyarakat setempat mempunyai satu kepala adat dan beriman kepada Tuhan Yang Esa (satu); berjurai empat, lambang dari 4 jurai yang terdapat di Pondok Tinggi tempat masjid dibangun; dan batingkat tiga ialah simbolisasi dari keteguhan masyarakat dalam menjaga 3 pusaka yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu pusaka tegenai, pusaka ninik mamak, dan pusaka depati.

Masjid Agung Pondok Tinggi ditopang 36 tiang penyangga. Ke 36 tiang tersebut dibagi menjadi 3 kelompok tiang, yaitu tiang panjang sembilan (tiang tuo), tiang panjang limau (panjang lima), dan tiang panjang duea (tiang panjang dua). Tiang-tiang tersebut ditata sesuai dengan ukuran, komposisi, dan letaknya masing-masing. Tiang panjang sembilan (tiang tuo) sebanyak empat buah tertata membentuk segi empat yang terletak di ruangan bagian dalam. Tiang tuo tersebut diberi paku emas untuk menolak bala, dan pada puncaknya diberi kain berwarna merah dan putih sebagai lambang kemuliaan.Untuk tiang panjang limau (panjang lima) sebanyak 8 buah tertata membentuk segi empat dan tiang-tiang ini terletak di ruangan bagian tengah. Sementara itu, tiang panjang duea (panjang dua) sebanyak 24 buah tertata membentuk segi empat dan terletak di ruangan bagian luar.

detil ukiran dibawah ujung atap

Masjid Agung Pondok Tinggi berukuran 30 x 30 meter dengan tinggi bangunan setinggi 100 kaki atau sekitar 30,5 meter dari lantai dasar hingga ke puncak atap. Dinding masjid terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran motif tumbuhan dan mempunyai kisi-kisi yang berfungsi sebagai ventilasi. Dilengkapi dengan berbagai hiasan motif geometris. Pada setiap sudut dinding terdapat hiasan motif sulur-suluran. Sedangkan lantai masjid terbuat dari ubin. Masjid ini mempunyai 2 buah pintu masuk berdaun ganda yang berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran.

Mihrab masjid terletak di sebelah barat, berdenah persegi panjang dengan ukuran 3,10 x 2,40 m. Pada bagian depan mihrab terdapat bentuk lengkung yang dihias dengan ukiran motif geometris dan sulur-suluran, serta tempelan tegel keramik. Keunikan lain dari masjid ini adalah tempat muadzin mengumandangkan adzan terletak di atas tiang utama masjid. Untuk mencapainya dihubungkan dengan tangga berukir motif sulur-suluran dan diakhiri sebuah panggung kecil berbentuk bujur sangkar yang berukuran 2,60 x 2,60 m dikelilingi pagar berhias ukiran motif flora. Panggung kecil inilah yang merupakan tempat muadzin berdiri dan mengumandangkan adzan. Sedangkan bagian mimbar masjid berukuran 2,40 x 2,80 m, dihias dengan ukiran motif sulur-suluran dan atap berbentuk kubah.

salah satu dari dua beduk di Masjid Agung Pondok Tinggi 

Tabuh Larangan

Mesjid Agung Pondok Tinggi mempunyai dua beduk besar. Yang besar disebut “Tabuh Larangan”. Beduk ini dibunyikan, apabila ada kejadian seperti kebakaran, banjir, dan lain-lain. Beduk besar ini berukuran : panjang 7,5 m, garis tengah bagian yang dipukul 1,15 m, dan bagian belakang 1, 10 m. Beduk yang kecil berada di luar mesjid dengan ukuran : panjang 4, 25 m, garis tengah yang dipukul (bagian depan 75 cm dan bagian belakang 69 cm). Beduk ini dibuat dari kayu yang sangat besar, ditarik beramai-ramai dari rimba, dan dilubangi bergotong-royong.***

Foto Foto Masjid Agung Pondok Tinggi

Interior Masjid Agung Pondok Tinggi 
Isra' Mi'raj SMAN 2 Sungai Penuh di adakan pada tanggal 25 Februari 2012 di Masjid Agung Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh Di hadiri oleh seluruh siswa dan siswi, majelis guru dan staf tata usaha 
salah satu indahnya ukiran kayu di Masjid Agung Pondok Tinggi

Rabu, 09 Mei 2012

Masjid Batu Al-Ikhsaniyah, Masjid Tertua di Jambi

Tertua di Kota Jambi. Masjid Jami' Ikhsaniyah kota Jambi pertama kali dibangun tahun 1880

Masjid al-Ikhsaniyah atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Masjid Batu adalah Masjid tertua di kota Jambi, Provinsi Jambi. Masjid ini terletak di seberang Kota Jambi yang dibelah sungai Batanghari, tepatnya Masjid ini berada di Jalan KH. Ibrahim, RT 05 Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk Kota Jambi. Bangunan masjid ini telah mengalami perluasan oleh pemerintah Belanda semasa penjajahan dengan mempertahankan ciri ciri khas utamanya demi menjaga nilai historis-nya.

Lokasi Masjid Jami’ Al-Ikhsaniyah Jambi

Masjid Jami’ Al-Ikhsaniyah
Jalan KH. Ibrahim, RT 05
Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk
Kota Jambi, Propinsi Jambi
Indonesia






Masuknya Islam Ke Jambi

Berdasarkan penuturan tokoh ulama Jambi, penyebaran Islam di Jambi diawali kedatangan rombongan kapal dari Kesultanan Turki untuk menyebarkan agama Islam yang dipimpin Ahmad Ilyas (sumber lain menyebut namanya Ahmad Salim atau Ahmad Barus atau Barus II). Kapalnya terdampar di Pulau Berhalo  pada 1120 H. Oleh rakyat Jambi, Ahmad Ilyas diberi gelar Datuk Paduka Berhalo. Karena keberhasilan beliau menyebarkan Islam di wilayah Jambi dimulai dari Pulau berhala. Konon beliaulah yang menghancurkan berhala berhala sembahan di pulau berhala.

Ahmad Ilyas lalu menikah dengan Putri Selaras Pinang Masak, Putri bangsawan kerajaan Minangkabau yang berkuasa di Jambi, sebuah pernikahan politik yang kemudian memasukkan beliau ke dalam keluarga bangsawan. Tahun 1138, Ahmad Ilyas mendatangkan ulama dari Hadramaut keturunan Ahlul Bait Rasulullah, Sayyid Husin bin Ahmad bin Abdurahman. Kedatangan beliau disambut hangat oleh rakyat Jambi. Dari sanalah kemudian lahir kerajaan Islam di Jambi sampai ahirnya menjadi kesultanan, hingga ke Sultan Jambi terahir Sultan Thaha Syaifuddin yang menghabiskan masa kekuasaannya menentang penjajahan Belanda di wilayah Jambi hingga ahir hayatnya.

Masjid Al-Ikhsaniyah sekitar tahun 1920.

Sejarah Masjid Jami’ Al-Ikhsaniyah Jambi

Masjid ini didirikan pada tahun 1880 oleh Sayyid Idrus bin Hasan Al-Jufri. Sayyid Idrus, seorang tokoh penyebar Islam di Jambi dengan gelar Pangeran Wiro Kusumo, beliau merupakan seorang ulama keturunan Yaman. Masjid Batu ini didirikan Sayyid Idrus untuk memenuhi fungsi tempat ibadah bagi masyarakat seberang kota Jambi. Masyarakat kota Jambi waktu itu yang sudah fanatik keislamannya memanfaatkannya sebagai tempat ibadah dan kegiatan sosial lainnya.

Habib Idrus bin Hasan Al Jufri wafat tahun 1902 dan dimakamkan di depan masjid Ikhsaniyah yang didirikannya. Kini sekali dalam setahun keluarga besar beliau menyelenggarakan peringatan wafatnya Habib Idrus bin Hasan Al Jufri yang dipusatkan di masjid ini. peringatan tersebut di agendakan sekali dalam setahun, oleh pihak keluarga dan masyarakat muslim Sekoja (seberang kota Jambi) sebagai bentuk penghormatan atas jasa jasa beliau. Peringatan tersebut setiap tahun turut juga dihadiri oleh tokoh agama, alim ulama, cendikiawan, gubernur dan undangan lainnya.

Makam Sayid Idrus di depan Masjid Ikhsaniyah

Mengenal Habib Idrus bin Hasan Al Jufri (Said Idrus)

Tanggal pasti kelahiran Said Idrus ini tidak diketahui, satu satunya informasi dari dokumen Belanda yang menyebutkan bahwa pada tahun 1879, Said Idrus berumur lebih dari 40 tahun. Bisa dikatakan bahwa beliau dilahirkan di Jambi sebelum tahun 1839 dari seorang ayah asli Arab. Masih berdasarkan dokumen Belanda, disebutkan bahwa Said Idrus wafat di tahun 1905 meskipun di makam beliau dicantumkan angka 1902 sebagai tahun kematian-nya.

Said Idrus merupakan salah satu keluarga Al-Jufri di Jambi yang berasal dari golongan Said (sayyid). Dan merupakan satu dari sembilan keluarga terhormat dan terpandang dari keluarga ahlul bait (keluarga Rosulullah), karena silsilah keluarga beliau dapat ditelusuri hingga ke Nabi Muhammas S.A.W dari garis Putri dan menantu Baginda Rosullullah. Keluarga Al-Jufri di jambi turut memainkan peran mereka dalam perpolitikan disana sejak tahun 1812. Keluarga Al-Jufri yang datang ke Nusantara kemudian menikah dengan putri dari kalangan bangsawan karena memang wanita Arab tidak turut serta bermigrasi ke Nusantara.

Papan Nama Masjid Ikhsaniyah, sangat tua

Kelauarga Arab memainkan peran penting sebagai mediator antara penguasa lokal dengan penguasa penjajahan Belanda. Selain itu juga menjadi juru bicara antara keluarga Al-Jufri terhadap keraton Jambi dan Penguasa penjajahan Belanda. Said Idrus memegang peran unik tersebut direntang waktu 1860 hingga wafatnya di tahun 1902 atau 1905. Said Idrus menikah dengan Putri Sultan Nazaruddin dan mendapatkan gelar Pangeran Wiro Kusumo langsung dari Sultan.

Gelar Pangeran ini juga memberi kekuasaan kepada said Idrus untuk menjadi “pepati dalam” di keraton Jambi yang mengambil peran Sultan pada saat Sultan tidak ditempat. Menurut dokumen Belanda, pangeran Wiro Kusumo memainkan peran yang sangat penting ini di tahun 1858-81 ketika Sultan Nazaruddin lebih banyak memilih mengasingkan diri ke tempat yang jauh dari keraton untuk menjaga jarak dengan penguasa penjajah Belanda di Jambi. Mungkin itu sebabnya beberapa penulis bahkan sempat menyebut pangeran Wiro Kusumo sebagai Sultan Jambi. Bisa di maklumi, karena Pangeran Wiro Kusomo memang memiliki pengaruh yang begitu besar di keraton Jambi, selain sebagai menantu dari Sultan Nazaruddin beliau juga merupakan besan dari Sultan Thaha Syaifuddin, Sultan Jambi Terahir yang tak lain juga merupakan ipar-nya sendiri.

Ciri khas Masjid Jami’ Al-Ikhsaniyah Jambi

Bangunan dalam Masjid dipenuhi dengan hiasan kaligrafi berbagai rupa. Mimbar asli berdiri anggun di sisi kanan mihrab. Sementara beduk peninggalan terdahulu berada di bagian belakang ruang salat. Ciri mencolok dari Mesjid ini adalah banyaknya jendela. Jendela-jendela yang dipasang berpasangan itu mengelilingi Mesjid. Hanya tembok mihrab yang tak berjendela.

Mimbar dan Mihrab Masjid Ikhsaniyah 

Hingga kini, kebisaaan dan adat istiadat yang dilakukan Pangeran Wiro Kusumo semasa hidup masih  dilakukan keturunan dan pengikutnya. Salah satunya adalah menyantap makan dalam tempeh (wadah besar)  ramai-ramai. Tradisi seperti itu memang merupakan salah satu tradisi para ulama yang berasal dari Yaman yang kemudian berkembang di tanah air. Tadisi yang sama dapat juga dijumpai di masjid masjid tua lainnya di tanah air seperti di Masjid Sultan Palembang ataupun Masjid Al-Hawi di Condet – Jakarta.

Tradisi Sumpah di Masjid Jami’ Al-Ikhsaniyah Jambi

Sekitar tahun 60-an, Masjid Ikhsaniyah merupakan tempat orang menyelesaikan sengketa. Jika ada orang berselisih perihal kepemilikan tanah, tuduhan mencuri, dan lain sebagainya orang akan membawa perkara itu ke Mesjid dan mengambil sumpah dengan disaksikan para pendudk dan pemuka agama.

Masjid ini diyakini memiliki keramat tersendiri karena jika ada yang berani bersumpah palsu di dalamnya, maka dia akan mengalami bala atau hal lainnya. Karenanyalah, pada masa itu Mesjid Batu amat masyhur dan tak ada seorang pun yang berani mengambil risiko bersumpah palsu di dalamnya. Banyak orang-orang yang berdusta yang awalnya berani bersumpah di dalamnya. Namun, setelah sampai mereka tak berani dan mengakui perbuatannya. Jika ada yang bersalah dan tak mengakui perbuatannya sampai diambil sumpahnya, orang itu akan menggelepar tak sadarkan diri. Dan jika ia sudah sadar biasanya orang yang bersalah itu akan mengakui perbuatannya.

Mimbar Masjid Ikhsaniyah
Namun sayang, tradisi itu sudah hilang sama sekali. Tak ada lagi orang yang menjadikan Mesjid itu sebagai sarana mempertemukan kebenaran dan mencari keadilan. Tradisi sumpah itu mulai terlupakan, hanya kalangan tua saja yang mengetahui kisah tersebut.

Dipugar Belanda

Di tahun-tahun awal abad ke-20, perkembangan Islam di Jambi maju pesat. Hal ini seiring dengan majunya pendidikan keislaman di Jambi yang ditandai dengan berdirinya empat pesantren utama, yaitu Pesantren Nurul Iman, Pesantren Saadatuddarein, Pesantren Jauharein, dan Pesantren Nurul Islam. Keadaan ini membuat kesadaran keislaman penduduk semakin mengkristal dan menjadikan kawasan seberang kota Jambi banyak didatangi orang dari berbagai daerah untuk belajar.

Keadaan ini tentu saja berpengaruh bagi Masjid Batu. Makin lama jamaah Masjid itu semakin penuh hingga akhirnya tak lagi mampu menampung jamaah yang terus membludak, terlebih pada Salat Jumat. Maka tokoh-tokoh masyarakat lalu menggelar musyawarah dan bermufakat untuk memperbaharui Mesjid. Disepakati dana pembangunan Mesjid dikumpulkan dari sedekah dan infaq masyarakat sampai akhirnya terkumpul dana yang cukup untuk memugar Mesjid pad tahun 1935.

Beduk tua di masjid Al-Ikhsaniyah)

Karena berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. para tokoh masyarakat meminta izin kepada Belanda. lalu masuklah permohonan pemugaran Mesjid ke pemerintah Belanda yang ada di Jambi dengan menceritakan latar belakang dan sejarah berdirinya Mesjid.

Tahulah Belanda bahwa Masjid Batu tersebut merupakan peninggalan Sayyid Idrus yang merupakan salah seorang sultan Jambi yang bergelar Pangeran Wiro Kusumo. Karena menganggap bahwa Mesjid tersebut bernilai sejarah sebagai Mesjid sultan, tahun 1937 pihak kolonial mengambil alih pembangunan Mesjid. Dana pun turun dari pihak kolonial dan pembangunan sepenuhnya berada dalam pengendalian Belanda. Padahal awalnya para tokoh masyarakat hanya perlu izin karena dana sudah tersedia. Jadilah dana dari masyarakat itu tidak terpakai yang akhirnya digunakan untuk membuat pagar mengelilingi Masjid.

Update Desember 2016

Agustus 2015

Berdasarkan image dari google street view yang direkam pada bulan Agustus tahun 2015, bentuk masjid Batu Al-Ikhsaniyah ini sudah kembali berubah. Bentuk Ekteriornya mengalami perubahan disana sini membuatnya lebih tampak sebagai bangunan masjid modern. Perubahan paling signifikan pada bagian atapnya, kubah dengan bentuk atap limasnya yang merupakan salah satu ciri khas masjid masjid tua Nusantara, sudah tidak ada lagi berganti dengan kubah parabola dari beton. Perubahan signifikan lainnya tampak pada bangunan makam Sayid Idrus yang kini dibuat terbuka.***


Senin, 04 April 2011

Masjid Agung Al Falah Jambi, Masjid Seribu Tiang

Masjid Seribu Tiang. Karena banyaknya tiang tiang penopang di masjid ini, masyarakat setempat menyebut masjid Agung ini sebagai Masjid Seribu Tiang, meski bila dihitung jumlahnya tak sampai seribu.

Provinsi Jambi dengan semboyannya Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, beribukota di kota Jambi. Kota yang terkenal dengan sungai Batanghari-nya, sungai terbesar di Pulau Sumatera. Kota Jambi memiliki sebuah masjid agung bersejarah dan biasa disebut dengan masjid seribu tiang. Sebutan seribu tiang ini lahir dari para pendatang yang singgah dan sholat di masjid ini dan melihat begitu banyak tiang penyanggah bangunan masjid tanpa pintu dan jendela ini.

Wakil presiden RI, Pak Boediono, pernah singgah sholat Jum’at di masjid ini pada tanggal 1 April 2011 lalu, dalam kunjungan kerja beliau ke Jambi untuk memimpin rapat koordinasi gubernur se-Belajasumba (Bengkulu, Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung). Beliau mendapat sambutan hangat dari jemaah masjid Al-Falah Jambi. Sebagian jemaah sholat jum’at hari itu berebut untuk bersalaman atau sekedar melihat dari dekat sosok Pak Boed.

Alamat dan Lokasi Masjid Agung Al-Falah Kota Jambi

Jln. Sultan Thaha No.60
Kelurahan Legok, Kecamatan Telanaipura,
Kota Jambi. Provinsi Jambi



Masjid Agung Al-Falah berada di pusat kota Jambi. Terletak di ruas Jalan Sultan Thaha, ruas jalan yang sama dengan pasar Induk Angso Duo, PDAM Tirta Mayang, dan Musium Perjuangan Rakyat Jambi.

Sejarah Masjid Agung Al-Falah Kota Jambi

Menurut penuturan Hasan Basri  salah satu imam masjid Al-Falah Jambi, masjid ini memang belum memiliki sejarah tertulis resmi. Sehingga wajar bila masyarakat Jambi sendiri banyak yang belum tahu sejarah masjid ini. Untuk kejelasan sejarah, pengurus masjid telah mengajukan ke pemerintah untuk membentuk tim yang melakukan pengkajian dan penulisan sejarah masjid Al-Falah ini.

Sisi lain masjid Al-Falah

Masih menurut beliau, tanah lokasi di mana Masjid Agung ini berdiri, dulunya merupakan pusat kerajaan Melayu Jambi. Namun pada tahun 1885 dikuasai penjajah Belanda dan dijadikan pusat pemerintahan dan benteng Belanda. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan sejarawan Jambi, Junaidi T Nur, bahwa Mesjid Agung Al falah ini berdiri di lahan bekas Istana Tanah Pilih dari Sultan Thaha Syaifudin.


Pada tahun 1858, Saat terpilih menjadi sultan di kesultanan Jambi, Sultan Thaha Syaifudin membatalkan semua perjanjian yang dibuat Belanda dengan mendiang ayahandanya, karena perjanjian tersebut sangat merugikan kesultanan Jambi. Saat itu, Balanda sangat marah dan mengancam akan menyerang Istana.

Interior Masjid Al-Falah

Namun Sultan Thaha justru lebih dulu menyerang pos Belanda di daerah Kumpe. Pasukan Belanda melakukan serangan balasan dan membumi hanguskan komplek Istana Tanah Pilih. Tahun 1906 lokasi bekas istana sultan tersebut dijadikan asrama tentara Belanda yang digunakan sebagai tempat pemerintahan Keresidenan. Di era kemerdekaan sampai tahun 1970an lokasi tersebut masih difungsikan sebagai asrama TNI di Jambi.

Pada awalnya gagasan pembangunan Masjid Agung sudah mengemuka tahun 1960-an oleh pemerintah Jambi, beserta tokoh tokoh Islam Jambi. Namun, proses pembangunan masjid baru dimulai tahun 1971. Para alim ulama dan tokoh tokoh Jambi diantaranya M.O. Bafaddal, H Hanafi, Nurdin Hamzah, dan gubernur saat itu (Tambunan atau Nur Admadibrata ) Sepakat untuk membangun masjid agung di lokasi tersebut dan dan merelokasi asrama TNI.

Lampu Gantung Di Masjid Agung Al-Falah

Salah satu alasan kenapa masjid yang dibangun di lokasi bersejarah tersebut adalah mengacu pada lambang Jambi yang terdapat gambar Masjid. Selama proses pembangunan, lokasi ini sempat dijadikan lokasi suting film berjudul ‘Intan Perawan Kubu’ yang diperankan salah satunya Ully Artha. Film yang disutradarai AN Alkaf, pria asli Jambi ini, mengangkat kisah seorang insinyur dan Suku Kubu.

Masjid Agung Al-falah kota Jambi diresmikan penggunaannya oleh presiden Soeharto pada tanggal 29 September 1980. Meski belum dapat dikonfirmasi, menurut kabar turun temurun, arsitektur masjid Al-Falah dulunya disayembarakan. Dan pemenangnya orang non-Muslim. Pembangunan Masjid Agung Al Falah jambi melalui beberapa tahap. Kontrak Pengerjaan tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 1971, dengan Dana : Rp. 30.600.000,- bersumber dari APBD Provinsi Jambi.

Aireal View 
Masjid kebanggaan warga Jambi ini berdiri diatas lahan seluas lebih dari 26.890 M2 atau lebih dari 2,7 Hektar, sedangkan luas bangunan masjid adalah 6.400 M2 dengan ukuran 80m x 80m, dan mampu menampung 10 ribu jamaah sekaligus. Sedari awal bangunan Masjid Agung hingga sekarang tetap dipertahankan sesuai bentuk awalnya. Kalaupun ada renovasi hanya penambahan ukiran pada mihrab imam, tanpa merombak bentuk awal Masjid.  dan mengganti pembungkus tiang di tahun 2008 yang lalu.

Arsitektural Masjid Agung Al-Falah Kota Jambi

Masjid agung Al-Falah kota Jambi dibangun lengkap dengan kubah besar dan menara yang menjulang. Keseluruhan bangunan masjid menggunakan material beton bertulang. Bila dipandang sepintas lalu, jejeran tiang tiang masjid berwarna putih yang ramping di masjid ini memiliki kemiripan dengan tiang tiang masjid agung kota Roma, Italia yang dibangun jauh lebih belakangan dibanding dengan masjid Al-Falah di Jambi ini.

Jejeran ratusan tiang tiang ini yang membuat masjid ini disebut juga sebagai masjid seribu tiang

Jejeran ratusan tiang di masjid Al-Falah ini terbagi dua bentuk. Bentuk pertama merupakan tiang tiang lansing bewarna putih dengan tiga sulur ke atas menyanggah sekeliling atap masjid sebelah luar. Dan bentuk tiang kedua berupa tiang tiang silinder berbalut tembaga menopang struktur kubah di area tengah bangunan masjid. penggunaan material tembaga untuk menutup tiang tiang silinder ini memberikan kesan antik namun megah pada interior masjid Al-Falah.

Di rancang sebagai bangunan terbuka tanpa pintu dan jendela,  benar benar sejalan dengan nama masjid ini. Al-Falah dalam bahasa arab bila di Indonesiakan menjadi Kemenangan, menang bermakna memiliki kebebasan tanpa kungkungan, mungkin filosofi itu juga yang menjadi dasar dibangunnya masjid ini dengan konsep terbuka. Agar muslim manapun bebas masuk dan melaksanakan ibadah di masjid ini.

Merah Dan Ke-emeasan mendominasi dinding sisi kiblat, mihrab dan mimbar di Masjid Agung Al-Falah Jambi ini.

Dengan rancangan yang demikian, sudah dapat dipastikan masjid ini tidak memerlukan perangkat penyejuk udara bagi jemaah, bukaan lebar di tiga sisi masjid ini meniadakan kekhawatiran gangguan sirkulasi udara dan sinar matahari. Dibawah kubah beton berukuran besar masjid ini di lengkapi dengan bukaan ditutup kaca mozaik memberikan cahaya alami ke dalam masjid di siang hari.

Sementara bagian dalam kubah di hias dengan ornamen garis garis simetris mirip dengan garis garis lintang dan garis bujur bola bumi. Ring besar di bawah kubah di hias dengan lukisan kaligrafi Al-Qur’an bewarna emas. Sebuah lampu gantung berukuran sangat besar berbahan tembaga memperindah tampilan ruang di bawah kubah.

Dua Jenis Tiang di Masjid Agung Al-Falah Jambi, bila anda perhatikan bentuk tiang yang bewarna putih memiliki kemiripan dengan tiang tiang penopang di Masjid Agung Roma - Italia yang diresmikan tahun 1995.

Karya seni ukir yang sangat indah menghias mihrab, mimbar hingga dinding depan masjid Al-Falah. ukiran yang senada dengan ukiran tembaga penutup tiang tiang utama di tengah masjid. sebuah ukiran kaligrafi Al-Qur’an bewarna emas berukuran besar sangat menarik perhatian karena dipasang dalam posisi melengkungi ruang mihrab dan mimbar. Mimbar masjid ini selain berukir juga dilengkapi dengan sebuah kubah kecil.

Aktifitas Masjid Agung Al-Falah Kota Jambi

Setiap bulan Ramadan salah satu program masjid ini yang cukup menarik adalah tadarus Alquran setiap malamnya dan disiarkan langsung oleh RRI Jambi. Tadarus ini di isi oleh qori dan qoriah terbaik Provinsi Jambi termasuk para hafizh (penghapal Alquran) di provinsi Jambi.

Selama bulan Ramadhan pengurus mesjid ini juga menyediakan paket makanan untuk berbuka puasa bersama. Malam harinya diadakan shalat Taraweh 23 rakaat. Paket berbuka puasa diperoleh dari para donatur, yang umumnya pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi.

Tanpa Pintu dan jendela

Di dua sholat hari raya masjid ini menjadi langganan gubernur Jambi, keluarga dan jajarannya untuk melaksanakan sholat sunnah hari raya bersama masyarakat Jambi. Seperti di kota kota lain di tanah air, selama pelaksanaan sholat hari raya masjid agung ini tak mampu menampung jemaah yang meluber hingga ke jalan raya. Dan tak mengherankan bila kemudian Jalanan di sekitar mesjid Agung ini mengalami kemacetan hingga radius 1 kilometer, setidaknya dua kali dalam setahun.

Masjid Agung Al-Falah Kota Jambi dibawah naungan Yayasan Al-Falah mengelola lembaga pendidikan Al-Falah dengan membangun sekolah Islam di sebelah masjid dengan nama yang sama untuk hingga tingkat SMP. Sementara di sisi lain dari masjid Agung Al-Falah Berdiri Bangunan Islamic Center Jambi, yang dibangun bersamaan dan satu komplek dengan Masjid Agung Al-Falah.

Foto foto Masjid Agung Al-Falah kota Jambi

Kaligrafi di dinding depan masjid Agung Al-Falah Jambi
Lurus ke arah mihrab
Detil Tiang Masjid Agung Al-Falah 

----------------------------ooOOOoo------------------------------