Tampilkan postingan dengan label Masjid di Maluku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Maluku. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Maret 2025

Masjid Jami’ Ambon

Masjid Jami' Ambon.

Masjid Jami' Ambon merupakan salah satu masjid tertua di kota Ambon sekaligus menjadi bangunan ikonik sejarah Islam dan sejarah kota Ambon yang tetap dipertahankan bentuk aslinya sejak dibangun hingga saat ini. Faktor sejarah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa masjid ini tetap dipertahankan meskipun disebelahnya telah dibangun masjid yang lebih besar yakni Masjid Raya Al Fatah.
 
Masjid Jami Ambon tetap digunakan untuk sholat berjama’ah sehari hari meskipun setelah pendirian Masjid Al-Falah. Namun karena lokasinya yang bersebelahan maka untuk sholat Jum’at dipusatkan di Masjid Raya Al-Fatah.
 
Masjid Jami’ Ambon
Jl. Sultan Babullah Kel Honipopu, Sirimau, Kota Ambon, Maluku
 

Bangunan masjid Jami Ambon yang kini berdiri merupakan bangunan yan g dibangun sejak tahun 1936 hingga 1940 dan sudah di renovasi 2 kali, namun bentuk asli dari masjid yang dibangun pertama kali tetap terjaga.
 
Sejarah Masjid Jami Ambon
 
Masjid Jami Ambon pertama kali didirikan pada tahun 1860 M di atas tanah wakaf yang diberikan oleh seorang janda bernama Kharie. Pembangunannya dipimpin oleh H. Abdul Kadir Hatala. Saat itu masjid ini berupa bangunan semi permanen beratap rumbia dengan tiang dan dinding kayu.
 
H. Abdul Kadir Hatala kemudian menjadi imam pertama masjid ini, Setelah wafat, beliau digantikan oleh H Ahmad Hatala, yang merupakan adiknya. Dan kemudian setelah Ahmad Hatala juga meninggal, jabatan imam diganti dengan Haji Ahmad Oei.
 
Masjid Jami' Ambon (kiri) dan Masjid Raya Al-Fatah (kanan) yang dibangun kemudian. Kedua masjid ini masih difungsikan sebagaimana biasa kecuali untuk sholat Jum'at dan sholat dua hari raya dipusatkan di Masjid Raya Al-Fatah.

Pada tahun 1898 atau 36 tahun setelah dibangun, bangunan masjid awal tersebut tidak lagi mampu menampung jemaah yang terus bertambah, maka dibangun lah bangunan masjid baru yang lebih besar dengan atap seng.
 
Pada tahun 1933, kota Ambon dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Wai Batu Gajah. Sedemikian dahsyatnya banjir tersebut sehingga menghanyutkan rumah-rumah penduduk di kiri dan kanan sungai tersebut. Termasuk masjid yang berbentuk semi permanen ini, ikut hancur pula diterjang banjir bandang.
 
Bangunan Masjid Modern dibangun
 
Pembangunan kembali masjid baru yang bangunannya lebih permanen, dilaksanakan pada tahun 1936 dengan dana yang bersumber dari swadaya murni masyarakat muslim Pulau Ambon. Pembangunannya melibatkan tukang asal Padang bernama Zainudin Wiwih. Pembangunan masjid baru tersebut dirampungkan pada tahun 1940, menjelang masuknya tentara Jepang ke Indonesia.
 
Pada masa itu, masjid Jami berada diatas sebidang tanah curam. Jembatan dan jalan yang ada saat ini berada dibawahnya. Setelah ditimbun barulah seperti saat ini. Masjid Jami adalah yang kedua di Kota Ambon, setelah masjid Hatukau di Batu Merah, yang saat ini bernama masjid An-Nur. Lokasi sekitar Masjid Jami dulunya ditumbuhi pepohonan dan bambu.

Masjid Jami' Ambon sekitat tahun 1970-an.
 
Zainudin membangun Masjid Jami Ambon, setelah berhasil menyelesaikan masjid Kailolo di Maluku Tengah. Zainudin merupakan orang yang sangat berjasa dalam proses pembangunan Masjid Jami. Dibantu masyarakat, Masjid Jami kembali diisi oleh warga untuk melaksanakan sholat berjamah. Karena pada saat itu, hanya Masjid  Agung An'Nur Negeri Hatukau (Batumerah) dan Masjid Jami yang mempunyai kapasitas daya tampung untuk sholat berjamaah.
 
Menjelang berakhirnya Pemerintahan Kolonial Belanda di Maluku, tentara Belanda yang bersiap menghadapi kedatangan balatentara Jepang dengan cara membuka keran minyak yang berada di sebelah hulu Sungai Wai Batu Gajah sehingga permukaan sungai digenangi oleh minyak yang terbakar. Akibatnya, masjid itu pun turut terbakar. Namun, umat Islam di Ambon segera membangun kembali masjid yang terbakar itu,
 
Masjid Jami’ Ambon selamat dari bom sekutu dimasa perang dunia kedua, manakala pasukan sekutu membombardir kota Ambon, meskipun bangunan disekitar masjid ini porak poranda dihantam bom masjid ini tetap utuh.
 
Begitu pula ketika pecah pemberontakan kaum separatis RMS (Republik Maluku Selatan), mereka pernah pula seenaknya memasuki bangunan suci umat Islam itu dan menangkap empat orang yang berada di dalamnya, termasuk seorang khatib masjid.

Masjid Jami Ambon dipotret sekitar tahun 1970-an (Forman, Harrison). Suasana kota yang belum seramai saat ini, Jalan Sultan Babullah didepan masjid masih berupa jalan tanah dan tanah kosong disamping masjid kini berdiri Masjid Raya Al-Fatah.
 
Masjid yang terletak di dekat sungai dan menghadap ke tepi laut, pernah mengalami kerusakan akibat diterjang ombak danbadai. Sampai kini, Masjid Jami Ambon menjadi salah satu tempat berkunjung wisatawan karena perannya yang bersejarah itu, terutama kaum muslimin yang berkunjung ke kota Ambon, pasti menyempatkan shalat di masjid ini.
 
Tahun 2004 masjid ini direnovasi dengan melakukan penggantian lantai masjid, atap, menara, dan juga kubah masjid, tanpa merubah bentuk aslinya.
 
Pengelolaan Masjid
 
Sejak tahun 1940, Masjid Jami Ambon dikelola oleh sebuah yayasan yang baru dibentuk pada tahun itu juga. Di samping untuk shalat Jumat, shiolat dua hari raya, dan shalat lima waktu, Masjid Jami Ambon ini juga dimakmurkan dengan berbagai kegiatan keagamaan
 
Karena daya tampung masjid belum memadai, sementara jumlah jamaah semakin membludak maka pengurus masjid mengusahakan untuk memperluas bangunan masjid, pada tahun 1960 Penguasa Perang Daerah Maluku menghibahkan lahan tanah yang letaknya berdekatan dengan masjid.

Masih asli. Dapat langsung dibandingkan foto masjid ini dimasa kini dengan foto sebelumnya, tidak ada perubahan berarti pada bangunan masjid ini.

Namun, kerena masjid ini memiliki sejarah khusus kemudian diputuskan untuk membangun masjid baru (yang kini dikenal sebagai Masjid Raya Al-Falah)  dengan ukuran lebih besar dilahan hibah tersebut tanpa mengusik bangunan asli Masjid Jami’ Ambon
 
Arsitektur Masjid Jami Ambon
 
Masjid yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Raya Alfatah, terdiri dari 9 pintu utama berukuran panjang 3 meter dengan lebar skeitar 2 meter. Enam pintu utama berjejar dari samping kiri dan kanan bangunan masjid. Sementara tiga lainya menghadap depan.

 
Ada 36 jendela kecil berbentuk kerucut (kubah) dipasang mengelilingi badan masjid. Bahan pintu maupun jendela dari kayu linggua dan kayu kani. Kedua jenis kayu diyakini tahan lama diantara jenis lainya. Juga terdapat dua kubah didepan pintu masuk, dengan tinggi sekitar 7-8 meter.
 
Mimbar Pemberian Bung Hatta
 
Mimbar asli Masjid Jami’ Ambon merupakan pemberian dari wakil Presiden Muhammad Hatta saat melakukan kunjungan pertama ke Ambon, tahun 1953. Namun setelah itu, mimbar tersebut diberikan ke Masjid Jami Tulehu.
 

Masjid Jami Ambon ditahun 1981

Gotong Royong Masyarakat Muslim dan Kristen
 
Dalam proses berdirinya, Umat Muslim dan Kristen secara bergotong royong menyelesaikanya. Tahun 1933 masyarakat Muslim dan Kristen tinggal dan berbaur, terutama disekitaran Silale. Masyarakat Kristen yang lebih banyak membantu pada saat itu berasal Negri Latuhalat dan Amahusu. Selain yang sudah menetap di Silale. Masyarakat Kristen membantu, baik dengan tenaga maupun bantuan makan dan minuman.
 
“Dulu di daerah Silale itu dihuni oleh orang Kristen seluruhnya. Jadi orang angkat pasir dari pantai ke lokasi pembangunan masjid, itu orang Kristen memberikan minuman-minuman (air) dan sebagainya. Ada yang datang dari Latuhalat, terutama Amahusu dan Benteng.
 
Tegel Lantai dari Italia
 
Sempat terjadi gejolak soal perbaikan lantai Masjid Jami yang dinilai sudah tidak layak lagi digunakan sebagai tempat sujud, belum lama ini. Banyak batangan tehel berukuran 20 x 40 cm yang telah rusak. Olehnya itu perlu diganti dengan tehel yang baru. Namun sebagian pengurus Masjid Jami menolak untuk dilakukan perbaikan. Mereka kuathir keaslian lantai akan pudar, jika tehel yang berasal dari Italia tahun 1933 itu diganti.

Masjid Jami' Ambon.

Tehel dari Italia itu merupakan usaha sendiri dari sang Tukang Zainudin. Namun atas berbagai pertimbangan, akhirnya tehel yang berwarna kuning kecoklatan ini dibongkar dan digantikan dengan tehel berukuran sedikit besar yang merupakan sumbangan dari seorang dermawan.  Beruntung tehel yang terpasang di 4 Tiang utama yang juga berasal dati negri Pizza ini masih tetap dipertahankan. Tehel untuk tiang ini, bercorak putih kebiruan.
 
Tehel Italia yang dulunya menutupi seluruh lantai masjid Jami itu, kini masih tersisa sekitar 5 meter, yang berada ditengah-tengah luas areal dalam lantai Masjid. Sebagian bahan luar negri yang masih ada, itu tetap akan dijaga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya Masjid Jami.
 
Disinggahi Buya Hamka
 
Masjid Jami memiliki banyak sejarah. Selain arsitektur bangunan yang masih tetap dipertahankan, Masjid ini juga pernah menjadi tempat persinggahan Ulama terkemuka, Buya Hamkah dalam perjalanan Dakwahnya. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini datang ke Kota Ambon sebelum didirikanya masjid raya Alfatah.
 
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
------------------------------------------------------------------
 
Baca Juga
 
 
Rujukan
 
 

Kamis, 21 Oktober 2010

Sigi Lamo, Masjid Sultan Ternate


Masjid Sigi Lamo, Masjid Kesultanan Ternate.

Masjid Sultan Ternate, atau oleh masyarakat setempat biasa disebut sebagai Sigi Lamo, dalam bahasa Ternate, Sigi berarti masjid dan Lamo bermakna besar, Masjid Sultan Ternate memang masjid pertama di Ternate dan terbesar di jaman nya. Masjid ini menjadi bukti keberadaan Kesultanan Islam pertama di kawasan timur Nusantara ini. Kesultanan Ternate mulai menganut Islam sejak raja ke-18, yaitu Kolano Marhum yang bertahta sekitar 1465-1486M. 

Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500), yang makin memantapkan Ternate sebagai Kesultanan Islam dengan mengganti gelar Kolano menjadi Sultan, menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, memberlakukan syariat Islam, serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.

Lokasi Masjid Sultan Ternate

Masjid Sultan Ternate atau Sigi Lamo berada di kawasan Jalan Sultan Khairun, Kelurahan Soa Sio, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Di bagian belakang masjid, terdapat benteng Oranye yang dibangun Belanda antara 1606-1607M.

 

Sejarah Masjid Sultan Ternate

Masjid Sultan Ternate antara tahun 1920-1930
Belum ada angka valid tentang kapan Masjid Sultan Ternate ini pertama kali dibangun. Sejauh ini ada dua pendapat tentang tarikh pendirian masjid ini. Diperkirakan pendirian masjid ini telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin, raja Ternate kedua yang sudah beragama Islam dan mengukuhkan Islam sebagai agama resmi kerajaan serta mengganti gelar kolano (raja) menjadi Sultan. Namun direktori masjid bersejarah Departemen Agama RI menyatakan bahwa pendirian Masjid Sultan Ternate baru dilakukan awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Pembangunan masjid dilanjutkan oleh Sultan Mudafar dan diselesaikan oleh Sultan Hamzah pada tahun 1648 Masehi

Pada tahun 1679 Masehi, dilakukan renovasi oleh Sultan Sibori Amsterdam, Putra Sultan Mandarsyah, dengan bentuk atap tumpang tiga dan berbahan kayu. Tahun 1705 masehi masjid ini mengalami kebakaran, dan dibangun kembali oleh Sultan Said Fathullah atau Kaicil Toluki atau Pangeran Rotterdam. Renovasi kembali dilakukan pada tahun 1818 Masehi oleh Sultan Muhammad Zain. Pemugaran terahir dilakukan pada tahun 1983 dengan melakukan perombakan total tanpa merubah bentuk asli.

Akan tetapi, melihat kenyataan sejarah, sekitar setengah abad sebelum Sultan Saidi Barakati naik tahta, Kesultanan Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang. Perjuangan Sultan Khairun (1534-1570) dilanjutkan oleh penerusnya, Sultan Baabullah (1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, menjadi salah satu fase kegemilangan Kesultanan Ternate.

Masjid Sigi Lamo tampak depan. Bentuk Gerbang multifungsi seperti masjid Sigi Lamo ini sudah sangat jarang dan sudah tak lagi di aplikasikan pada bangunan bangunan masjid baru di Indonesia

Bila kita berpegang kepada pendapat kedua bahwa Sigi Lamo baru didirikan di masa pemerintahan Sultan Saidi Barakati, maka akan timbul pertanyaan besar, mengapa begitu lama kesultanan Ternate belum mendirikan masjid sejak Islam masuk ke Ternate. Bila di hitung dari Kolano Marhum (1465-1486 M) yang merupakan raja Ternate pertama yang memeluk Islam hingga ke era kekuasaan Sultan Saidi Barakati (1606) terpaut waktu hampir satu setengah abad lamanya kesultanan Ternate belum memiliki Masjid, lalu dalam kurun waktu itu dimanakah para Sultan dan keluarga serta kaum muslimin Ternate melaksanakan sholat berjamaah ?. sebuah pertanyaan yang tentunya tak mudah untuk dijawab.

Arsitektur Masjid Sultan Ternate

Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid Sultan Ternate dibangun tak jauh dari istana Sultan Ternate, tetapi bukan menjadi bagian kompleks istana. Jarak antara keduanya sekitar 100 meter sebelah tenggara istana sultan yang dibangun tahun 1234M. Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini. Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang.

Foto lama Masjid Sultan Ternate

Masjid Sultan Ternate dibangun diatas lahan berukuran 76,70 x 62,45 Meter dan bangunan berukuran 22 x 22,5 meter. Hampir menyerupai masjid tua di Jawa, lantai Masjid Agung Sultan Ternate juga ditinggikan. Bahan atap masjid pada awalnya menggunakan daun rumbia kemudian diganti dengan seng di tahun 1995. Atap masjid bertumpuk empat, dengan kemiringan yang tidak tajam, kecuali pada atap puncaknya. Di antara atap puncak dan atap bawahnya, terdapat celah kecil, untuk masuknya udara dan cahaya ke dalam ruagan. Pada setiap sisi atap puncak, terdapat jendela atap. Arsitektur ini nampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, dimana masjid tidak memiliki kubah melainkan atap yang berbentuk limasan.

Ruang Utama Masjid Sultan Ternate
Saat ini, selain bangunan masjid yang masih utuh, peninggalan lain yang masih bisa ditemui di dalam masjid adalah empat buah koleksi kitab al-Quran, hasil tulisan ulama Ternate sendiri. Tulisannya masih jelas dan kertasnya masih baik, belum lapuk dimakan zaman, walaupun usianya sudah berabad-abad. Selama bulan Ramadan, al-Quran ini masih digunakan oleh masyarakat untuk /tadarusan/. Pada sisi selatan-timur masjid, terdapat sebuah sumur tua yang menyatu dengan masjid, digunakan untuk tempat berwudu.

Di halaman depan masjid, tepat pada sumbu garis mihrab, terdapat bangunan kecil bertingkat yang menjadi gerbang utama masjid. Di bagian atasnya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan beduk dan mengumandangkan azan. Bangunan ini berbentuk bujur sangkar, atapnya sama seperti atap bangunan utama masjid, namun hanya memiliki dua susun atap.

Tradisi Masjid Sultan Ternate

Larangan larangan

Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Sultan Ternate Sigi Lamo. Masjid ini terkenal unik karena memiliki aturan-aturan adat yang tegas, seperti larangan memakai sarung atau wajib mengenakan celana panjang bagi para jamaahnya, kewajiban memakai penutup kepala (kopiah), serta larangan bagi perempuan untuk beribadah di masjid ini. Berbagai aturan ini konon berasal dari petuah para leluhur (yang disebut Doro Bololo, Dalil Tifa, serta Dalil Moro) yang hingga kini masih ditaati oleh masyarakat Ternate, terutama di lingkungan istana kesultanan.

Dibawah Kubah limas Masjid Sultan Ternate
Menurut keterangan Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem atau Kadhi, larangan-larangan tersebut memiliki dasar aturan yang kuat. Sejak dahulu, masjid memang menjadi salah satu tempat yang dianggap suci dan harus dihormati oleh masyarakat Ternate. Larangan kaum hawa untuk beribadah di masjid ini didasarkan pada alasan untuk menjaga kesucian masjid, yaitu supaya tempat ibadah ini terhindar dari ketidaksengajaan perempuan yang tiba-tiba saja datang bulan (haid). Di samping itu, kehadiran perempuan ditengarai juga dapat memecah kekhusyukan dalam menjalankan ibadah di masjid ini.

Sementara larangan bagi jamaah yang memakai sarung atau pakaian sejenisnya didasarkan pada alasan yang bersifat tasawuf. Menurut kepercayaan mereka, posisi kaki pria ketika salat dengan mengenakan celana panjang menunjukkan huruf Lam Alif terbalik yang bermakna dua kalimat syahadat. Hal ini sebagai perlambang bahwa orang tersebut telah mengakui ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai utusannya, sehingga jiwa dan raganya telah siap untuk melaksanakan ibadah salat. Oleh sebab itu, setiap pria yang akan melaksanakan ibadah wajib mengenakan celana panjang.

Untuk menegakkan tradisi tersebut, setiap datang waktu salat,  Balakusu (penjaga masjid) akan mengawasi setiap jemaah yang hendak memasuki masjid. Jika ada jamaah yang memakai sarung, maka akan ditegur dan disuruh mengganti dengan celana panjang. Jika tidak, maka jamaah tersebut disarankan untuk salat di tempat lain. Tak hanya wajib mengenakan celana, para jamaah juga diharuskan memakai penutup kepala atau kopiah. Hal ini agar para jamaah tidak terganggu oleh helai-helai rambut ketika sedang melakukan salat. Berbagai macam aturan ini berlaku tidak pandang bulu, sehingga harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk sultan dan para kerabatnya.  

Tradisi Malam Qunut dan Kolano Uci Sabea

Prosesi Kolano Uci Sabea
Salah satu tradisi yang setiap tahun diadakan di Masjid Sultan Ternate adalah Malam Qunut yang jatuh setiap malam ke-16 bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini, sultan dan para kerabatnya dibantu oleh Bobato Akhirat (dewan keagamaan kesultanan) mengadakan ritual khusus yaitu Kolano Uci Sabea, yang berarti turunnya sultan ke masjid untuk salat dan berdoa.

Kolano Uci Sibea dimulai dari istana menuju masjid untuk melaksanakan salat Tarawih. Sekitar pukul setengah delapan waktu setempat, sultan akan ditandu oleh pasukan kesultanan menuju masjid dan diiringi alunan alat musik Totobuang (semacan gamelan) yang ditabuh oleh sekitar dua belas anak kecil yang mengenakan pakaian adat lengkap di depan tandu sultan. Konon, alat musik ini merupakan pemberian Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) kepada salah satu Sultan Ternate yang berguru kepadanya.

Sebelum salat Tarawih dilakukan, para muadzin yang terdiri dari empat orang, mengumandangkan adzan secara bersama-sama. Menurut sebagian orang, ini untuk mengingatkan masyarakat Ternate tentang empat Soa (kelurahan pertama) di daerah Ternate. Empat Soa ini yaitu Soa Heku (Kelurahan Dufa-Dufa), Soa Cim (Kelurahan Makassar), Soa Langgar (Kelurahan Koloncucu), dan Soa Mesjid sultan sendiri. Namun, ada juga yang percaya bahwa pengumandangan adzan oleh empat muadzin tersebut melambangkan empat kerajaan terkuat yang masih saling bersaudara di kawasan Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan ini dalam kepercayaan masyarakat setempat biasa disebut Moloku Kie Raha (pemangku empat gunung atau kerajaan).

Usai melaksanakan Tarawih, sultan akan pulang ke istana dengan ditandu kembali seperti ketika keberangkatannya ke masjid. Di istana sultan bersama permaisuri (Boki) akan memanjatkan doa di ruangan khusus, tepatnya di makam keramat leluhur. Usai berdoa, sultan dan permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, bahkan menciumi kaki sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan. Tentu saja, pertemuan langsung antara sultan dan rakyatnya ini menarik minat masyarakat di seluruh Ternate dan pulau-pulau di sekitarnya.

Dalam satu tahun, ritual Kolano Uci Sabea dilaksanakan empat kali, antara lain pada Malam Qunut, Malam Lailatul Qadar (keduanya pada bulan Ramadhan), serta pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan Kolano Uci Sabea dilakukan secara turun temurun oleh setiap Sultan Ternate hingga kini. Menurut kepercayaan, dalam kondisi apapun Kolano (Sultan) memang harus melakukan Sabea (salat) di Sigi Lamo (Mesjid Sultan).  

Dihapusnya Tradisi larangan bagi perempuan

Ornamen Mimbar Masjid Sultan Ternate
Hari Rabu tanggal 16 September 2009 bertepatan dengan tanggal 26 Ramadhan 1430 Hijriyah, Kolano (Raja) Ternate, Sultan Mudaffar Sjah, menghapuskan satu tradisi lama Masjid Sigi Lamo, yaitu tradisi yang melarang muslimah untuk sholat di Masjid Sultan Ternate atau Sigi lamo. Dalam ritual Kolano Uci Sabea tahun 2009M / 1430H menyambut datangnya malam Ela-ela atau Lailatul Qadar di masjid Kesultanan Ternate, Sultan Mudaffar Sjah mengajak serta Boki (permaisuri) Nita Budhi Susanti untuk salat di Masjid Sigi Lamo.

Bukan hanya itu saja, jika sebelum-sebelumnya hanya kolano (sultan) yang ditandu dari Istana menuju masjid, malam itu Boki Nita Budhi Susasti pun ikut ditandu menuju masjid Sigi Lamo. Bersama ratusan ibu-ibu dan remaja putri yang mengusungnya, Nita menjadi jamaah wanita pertama di masjid tersebut.

Meskipun tindakan Sultan tersebut sempat menjadi kontroversi di tengah masyarakat Ternate, namun Sultan kukuh dengan pendiriannya untuk menghapus tradisi tersebut, dalam pernyataannya kepada wartawan dan masyarakat, sultan mengatakan bahwa sebagai muslim beliau berusaha sekuat tenaga untuk patuh kepada tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Menurut sunnah Rasulullah bahwa sesungguhnya kewajiban salat bukan hanya bagi pria saja tapi juga untuk wanita.***

Jumat, 08 Oktober 2010

Masjid Raya Al-Munawwar Ternate

Masjid Raya Al-Munawwar Kota Ternate.

Masjid Raya Al-Munawaroh Kota Ternante, propinsi Maluku Utara. Merupakan masjid yang dibangun oleh Pemerintah kota Ternate di bibir pantai kota itu. Masjid yang begitu menawan dipandang dari laut, dengan dua  menaranya yang memang dibangun di laut, memberikan pemandangan yang begitu indah. Masjid Raya Al-Munawaroh kini menjadi landmark kota ternate. Bila dipandang dari arah laut masjid ini begitu menawan dengan gunung Gamalama di latar belakang.
 
Lokasi Masjid Raya Al-Munawaroh Ternate
 
Masjid Raya Al-Munawaroh terletak di tepi laut kawasan pantai Sewiring Gamalama Kota ternate, Provinsi Maluku Utara. Pantai Sewiring merupakan pusat berkumpulnya warga kota. Dari pantai ini bisa melihat kemegahan Pulau Maitara dan Tidore yang diabadikan dalam lembaran uang kertas seribu rupiah.

 

Sejarah Pembangunan Masjid Raya Al-Munawaroh

Mulai dibangun pertengahan tahun 2003 dengan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) hampir senilai 48 miliar rupiah. Mulai dipakai pertama kali tanggal 6 Agustus 2010 dengan Sholat jum’at berjamaah sekaligus takbir akbar menyambut bulan suci ramadhan 1431H, meskipun belum keseluruhan pembangunan masjid selesai di kerjakan.  Walikota Ternate, Syamsir Andili Turut hadir dalama acara tersebut bersama ribuan ummat Islam Kota Ternate dan sekitarnya.
 
Pembangunan Masjid Al-Munawaroh ini sempat mengalami keterlambatan yang mengakibatkan Pemerintah Kota Ternate memberikan teguran kepada pelaksana pembangunan dan mewajibkan mereka membayar ganti rugi sebesar lima ratus juta rupiah sebagai rekomendasi dari hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2007.
 
Masjid Raya Al-Munawwar Ternate.

Arsitektur Masjid Raya Al-Munawaroh
 
Masjid dibangun di atas lahan seluas 6 Hektar, dengan luas masjid nya sendiri mencapai 9512 meter persegi, dirancang untuk menampung 15.000 jamaah sekaligus. Hal yang wajar mengingat kota Ternate memang bervisi sebagai kota Madani dengan penduduk 650 ribu jiwa lebih dan 95% penduduknya beragama Islam. Pembangunan masjid ini memakan waktu selama tujuh tahun dari tahun 2003 hingga tahun 2010.  
 
Masjid Raya Al-Munawaroh dilengkapi dengan 4 menara setinggi 44 meter, dua dari menara tersebut memang dibangun di laut. Sesuai dengan Permendagri Nomor 45 Tahun 2007, Masjid Al-Munawwar termasuk kategori bangunan monumental dengan spesifikasi khusus. Dimana beberapa bahan bangunan masjid seperti keramik dan lampu didatangkan langsung dari Negara Turki.
 
Cukup menarik karena studi perencanaan struktur beton bertulang dan pondasi tiang pancang pembangunan Masjid Raya Ternate ini dijadikan skripsi oleh dua orang Mahasiswa program sarjana Teknik, Universitas Muhamadiyah Malang tahun 2006 yang lalu.**

Masjid  terapung. Dari arah laut, masjid ini tampak seolah terapung diatas air.

Masjid Raya Al-Munawwar dilatar belakang pada tahap finishing.

Aerial view Masjid Raya Al-Munawwar.

Masjid Raya Al-Munawwar.


Kamis, 04 Februari 2010

Masjid Wapauwe, Salah Satu Masjid Tertua di Indonesia

Seperti halnya sejumlah wilayah lain di Indonesia yang menyimpan sejarah peradaban agama-agama dunia, Provinsi Seribu Pulau, Maluku juga menyimpan peninggalan sejarah Islam yang masih ada dan tidak lekat dimakan zaman. Di utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri (desa) Kaitetu Kecamatan, Leihitu Kabupaten, Maluku Tengah, berdiri Masjid Tua Wapauwe. Umurnya mencapai tujuh abad. Masjid ini dibangun tahun 1414 Masehi. Masih berdiri kokoh dan menjadi bukti sejarah Islam masa lampau.

Untuk mencapai Negeri Kaitetu dimana Masjid Tua Wapauwe berada, dari pusat Kota Ambon kita bisa menggunakan transportasi darat dengan menempuh waktu satu jam perjalanan. Bertolak dari Kota Ambon ke arah timur menuju Negeri Passo. Di simpang tiga Passo membelok ke arah kiri melintasi jembatan, menuju arah utara dan melewati pegunungan hijau dengan jalan berbelok serta menanjak. Sepanjang perjalanan kita bisa menikmati pemandangan alam pegunungan, dengan sisi jalan yang terkadang memperlihatkan jurang, tebing, atau hamparan tanaman cengkih dan pala hijau menyejukkan mata. 

Sebelum mencapai Kaitetu, kita terlebih dahulu bertemu Negeri Hitu, yang terletak sekitar 22 kilometer dari Ambon. Sebuah ruas jalan yang menurun, mengantarkan kita memasuki Hitu. Pada ruas jalan tersebut kita disuguhi panorama pesisir pantai Utara Pulau Ambon yang indah dengan hamparan pohon kelapa dan bakau. Dari situ juga, kita dapat melihat dengan jelas Selat Seram dengan lautnya yang tenang. Tiba di simpang empat Hitu, kita harus membelokkan kendaraan ke arah kiri, atau menuju arah barat menyusuri pesisir Utara Jazirah Hitu. Baru setelah kita menempuh 12 kilometer perjalanan dari situ, kita akan menemukan Negeri Kaitetu.

KONSTRUKSI PELEPAH SAGU

Masjid yang masih dipertahankan dalam arsitektur aslinya ini, berdiri di atas sebidang tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Letaknya di antara pemukiman penduduk Kaitetu dalam bentuk yang sangat sederhana. Konstruksinya berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yang kering) dan beratapkan daun rumbia tersebut, masih berfungsi dengan baik sebagai tempat ber-shalat Jumat maupun shalat lima waktu, kendati sudah ada masjid baru di desa itu. 

Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter. Typologi bangunannya berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak mempunyai serambi. Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.

Hal lainnya yang bernilai sejarah dari masjid tersebut yakni tersimpan dengan baiknya Mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada tahun 1590, dan juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.

Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan Nur Cahya adalah cucu Imam Muhammad Arikulapessy. Mushaf hasil kedua orang ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan 1995.

Selain Alquran, karya Nur Cahya lainnya adalah: Kitab Barzanzi atau syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, sekumpulan naskah khotbah seperti Naskah Khutbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah (peninggalan) serta manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun. 

Kesemuanya peninggalan sejarah tadi, saat ini merupakan pusaka Marga Hatuwe yang masih tersimpan dengan baik di rumah pusaka Hatuwe yang dirawat oleh Abdul Rachim Hatuwe, Keturunan XII Imam Muhammad Arikulapessy. Jarak antara rumah pusaka Hatuwe dengan Masjid Wapauwe hanya 50 meter.

RENOVASI

Masjid ini direnovasi pertama kali oleh pendirinya, Jamilu pada tahun 1464, tanpa merubah bentuk aslinya. Meski pernah mengalami dua kali pemindahan, bangunan inti masjid ini tetap asli. Bangunan ini mengalami renovasi kedua kali pada tahun 1895 dengan penambahan serambi di depan atau bagian timur masjid. 

Masjid berkali-kali mengalami renovasi sekunder setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1959, atap masjid mulai menggunakan semen PC yang sebelumnya masih berkerikil. Setelah itu terjadi dua kali renovasi besar-besaran, yaitu pada Desember 1990-Januari 1991 dengan pergantian 12 buah tiang sebagai kolom penunjang dan balok penopang atap. Pada tahun 1993 dilakukan pergantian balok penadah kasau dan bumbungan, dengan tidak mengganti empat buah tiang sebagai kolom utama. 

Pada tahun 1997, atap masjid yang semula menggunakan seng diganti dengan bahan (semula) dari nipah. Atap nipah diganti setiap lima tahun sekali. Meski pernah direnovasi berkali-kali, masjid ini tetap asli karena tidak merubah bentuk inti masjid sama sekali. Sehingga, dapat dikatakan bahwa masjid ini sebagai masjid tertua di tanah air yang masih terpelihara keasliannya hingga kini. Maret 2008 lalu, Masjid ini direnovasi kembali. Struktur atap yang terbuat dari pelepah sagu diganti yang baru.

WARISAN SEJARAH

Bukan suatu kebetulan, Masjid Wapauwe berada di daerah yang mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dari masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda. Kini gereja itu telah hancur akibat konflik agama yang meletus di Ambon tahun 1999 lalu. Selain itu, 50 meter dari gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng tua "New Amsterdam". Benteng peninggalan Belanda yang mulanya adalah loji Portugis. Benteng New Amsterdam terletak di bibir pantai ini dan menjadi saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).

"Masjid ini memiliki nilai historis arkeologis yang penting. Didalamnya terpancar budaya masa lalu sehingga perlu kita lestarikan," kata Pejabat Negeri Kaitetu, Yamin Lumaela, di rumah Raja Negeri Kaitetu. Lumalea berharap, keberadaan Masjid Wapauwe beserta beberapa peninggalan sejarah Islam lainnya yang sudah tua, bisa menjadi salah satu wilayah atau daerah tujuan wisata di Kepulauan Maluku.

"Sebelum kerusuhan banyak wisatawan yang datang kemari. Kondisinya berubah saat konflik. Sekarang pengunjungnya sangat kurang," ungkapnya. Berdirinya Masjid Wapauwe di Negeri Kaitetu tidak terlepas dari hikayat perjalanan para mubaligh Islam yang datang dari Timur Tengah membawa ciri khas kebudayaannya ke dalam tatanan kehidupan masyarakat yang mendiami bagian utara Pulau Ambon, yakni jazirah Hitu yang dikenal dengan sebutan Tanah Hitu. Ciri khas ini kemudian melahirkan satu peradaban yang bernuansa Islam dan masih bertahan dilingkungan masyarakat setempat hingga saat ini seperti, budaya kesenian (hadrat), perkawinan, dan khitanan.

Mulanya Masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Kedatangan Perdana Jamilu ke tanah Hitu sekitar tahun 1400 M, yakni untuk mengembangkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly, yang sebelumnya sudah dibawa oleh mubaligh dari negeri Arab. 

Masjid ini mengalami perpindahan tempat akibat gangguan dari Belanda yang menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada tahun 1580 setelah Portugis di tahun 1512. Sebelum pecah Perang Wawane tahun 1634, Belanda sudah mengganggu kedamaian penduduk lima kampung yang telah menganut ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Merasa tidak aman dengan ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan pada tahun 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 kilometer sebelah timur Wawane. Kondisi tempat pertama masjid ini berada yakni di Lereng Gunung Wawane, dan sekarang ini sudah menyerupai kuburan.

Dan jika ada daun dari pepohonan di sekitar tempat itu gugur, secara ajaib tak satupun daun yang jatuh diatasnya. Tempat kedua masjid ini berada di suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, artinya masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu.

Pada tahun 1646 Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda kemudian melakukan proses penurunan penduduk dari daerah pegunungan tidak terkecuali penduduk kelima negeri tadi. Proses pemindahan lima negeri ini terjadi pada tahun 1664, dan tahun itulah ditetapkan kemudian sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.

PINDAH SECARA GAIB

Menurut cerita rakyat setempat, dikisahkan ketika masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung menjadi negeri Kaitetu, Masjid Wapauwe masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, ketika masyarakat bangun dari tidurnya masjid secara gaib telah berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di tanah Teon Samaiha, lengkap dengan segala kelengkapannya. "Menurut kepercayaan kami (masyarakat Kaitetu, red) masjid ini berpindah secara gaib. Karena menurut cerita orang tua-tua kami, saat masyarakat bangun pagi ternyata masjid sudah ada," kata Ain Nukuhaly, warga Kaitetu. Sementara itu, kondisi Mushaf Nur Cahya beserta manuskrip tua lainnya tampak terawat meskipun sudah mengalami sedikit kerusakan seperti berlobang kecil, sebagian seratnya terbuka dan tinta yang pecah akibat udara lembab. 

Menurut Rahman Hatuwe, ahli waris Mushaf Nur Cahya, kerusakan tersebut akibat faktor kertasnya yang sudah tua, debu, kelembaban udara serta insek (hewan) kertas. Dia menambahkan, pihaknya pernah mendapat obat serbuk (tidak disebutkan namanya) untuk menjaga keawetan manuskrip-manuskrip tua ini, hanya saja obat tersebut sudah habis.

"Alquran Nur Cahya ini masih jelas, dan waktu-waktu tertentu saya masih sering membaca (ayat-ayat suci Alquran dari Mushaf ini, red) seperti pada waktu Ramadan sekarang ini," kata Rahman yang adalah keturunan VIII Imam Muhammad Arikulapessy. (detiknews.com).