Tampilkan postingan dengan label kesultanan deli. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kesultanan deli. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 April 2012

Masjid Raya Al Mashun, Medan - Sumatera Utara

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Masjid Raya Al Mashun atau Masjid Raya Medan atau kadang juga disebut Masjid Raya Deli, merupakan salah satu dari dua masjid yang pernah menjadi Masjid resmi kesultanan Deli pada masa jayanya. Masjid Raya Al Mashun juga merupakan masjid tertua ke tiga di kota Medan setelah Masjid Al Osmani di Labuan Deli yang juga merupakan masjid kesultanan Deli yang pertama dan Masjid Lama Gang Bengkok di Jalan Masjid Kesawan.

Al-Mashun yang berarti ‘dipelihara’, sesuai namanya hingga kini masih terpelihara dan terawat dengan baik. Tidak heran, karena masjid ini di masa silam merupakan Masjid Negara pada masa jayanya Kesultanan Melayu Deli, lokasinya berdiri hanya terpaut sekitar 200 meter dari Istana Maimun yang merupakan Istana kesultanan Deli. Pembangunan Masjid Raya Al Mashun dimulai pada tahun 1906, dan selesai pada tahun 1909. Secara keseluruhan biaya pembangunan masjid ditanggung sendiri oleh Sultan Maamun Al-Rasyid Perkasa Alamsjah, menghabiskan dana sebesar satu juta gulden Belanda.

Lokasi Masjid Raya Al Mashun Medan

Sisi timurMasjid Raya Al Mashun menghadap ke Jalan Sisingamangaraja sedangkan sisi utaranya menghadap ke Jalan Masjid Raya. Letaknya yang demikian membuat beberapa orang menulis alamat masjid ini berada di Jl. Sisingamangaraja yang lain nya menuliskannya berada di Jl. Masjid Raya. Namun yang pasti Masjid Raya Al Mashun ini berada di pusat kota Medan, tak jauh dari Istana Maimun yang sama sama peninggalan Kesultanan Melayu Deli.


Sejarah Singkat Kota Medan

Kota medan yang kini menjadi ibukota propinsi Sumatera Utara, pada mulanya adalah sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri yang didirikan oleh Guru Patimpus putra Karo bermarga Sembiring Pelawi pada 1 Juli 1590. Dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" atau "Orang Pintar", kata "Pa" adalah sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, lalu kata "Timpus" berarti bundelan, bungkus atau balut. Guru Patimpus bermakna seorang Tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Sebagai penghormatan kepada beliau Pemerintah Kota Medan membangun Monumen Guru Patimpus di sekitar Balai Kota Medan. Dan tanggal 1 Juli setiap tahun diperihati sebagai hari jadi kota Medan.

Karena letaknya yang berada di Tanah Deli, Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat di mana Sungai Deli bertemu dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata "Medan" itu sendiri. Dari catatan penulis-penulis Portugis dii awal abad ke-16, Kata Medan berasal dari nama "Medina", sumber lainnya menyatakan Medan berasal dari bahasa India "Meiden".

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Yang lebih kacau lagi ada sebagian masyarakat menyatakan Medan merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai medan pertemuan. Adapula yang mengatakan ketika saudagar Arab yang melihat tanah Medan mengatakan Median yang berarti datar atau rata dan memang pada kenyataannya Medan memiliki kontur tanah yang rata mulai dari pantai Belawan hingga daerah Pancur Batu. Dalam Kamus Karo-Indonesia yang ditulis Darwin Prinst SH: 2002, Kata "Medan" berarti "menjadi sehat" ataupun "lebih baik". Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan Guru Patimpus adalah seorang tabib yang memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Karo pada masanya.

Medan pertama kali ditempati suku Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan penduduk maupun kebudayaan. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698), terjadi perang kavaleri dan sejak itu Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli. Kesultanan Deli ini pula yang meninggalkan warisan sejarah termasuk dua masjid kesultanan di dua tempat berbeda di kota Medan, yakni Masjid Al Osmani di Labuhan Deli dan Masjid Raya Almashun di pusat kota Medan.

Sekilas Sejarah Kesultanan Melayu Deli

Kesultanan Melayu Deli pertama kali didirikan oleh Muhammad Dalik pada tahun 1653 (versi lain menyebut tahun 1630), sebagai negeri bawahan Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik adalah seorang pemuka yang menjadi laksamana di Kesultanan Aceh dikenal juga dengan nama Gocah Pahlawan bergelar Laksamana Khuja Bintan atau Laksamana Kuda Bintan. Beliau adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudra Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah sungai Lalang-Percut.

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan
menjadi Sultan Deli Ke 2, dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Setelah Mangkatnya Sultan Deli ke-3 Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli, sempat terjadi perebutan kekuasaan antara putra putranya dan menjadi awal berdirinya kesultanan Serdang.

Berdirinya Masjid Raya Al Mashun Medan

Di tahun 1728 Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, ke Kampung Alai [Labuhan Deli] Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Masjid Al Osmani yang merupakan masjid Kesultanan bagi Kesultanan Deli dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan ke-8) masih berdiri kokoh hingga kini menjadi saksi sejarah kesultanan Melayu Deli.

Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (Sultan Deli ke-9) kemudian memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar [pusat kota medan]. Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, ketika Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada tahun 1863 untuk ditanami tembakau Deli.

Sultan Al Rasyid di abadikan
dalam sebuah perangko tahun
emisi 2006
Di ibukota pemerintahan baru ini Kesultanan Deli berkembang pesat, setelah Deli lepas sama sekali dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Indrapura pada 1861. Meski masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam kemudian membangun Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891.

Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota medan dari etnis Thionghoa yang sejaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyd turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.

Pada awalnya Masjid Raya Al Mashun di rancang oleh Arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian proses-nya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Prancis. Mesjid Raya sedikit berbeda dengan masjid pada umumnya karana tidak banyak kaligrafi sini namun banyak terdapat ukiran bunga dan tanaman yang keseluruhanya di cat.

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Arsitektural Masjid Raya Al Mashun

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid masjid kebanyakan. Di ke empat penjuru masjid masing masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan art nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di dalam mesjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda dan jendela-jendela lengkung itu mengingatkan disain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah mesjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikitari empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Mesjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang mesjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara mesjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.

Masjid Raya Al Mashun Kota Medan.

Pengelolaan Masjid Raya Al Mashun

Secara tradisi turun temurun keluarga Sultan sangat berperan dalam pengelolaan masjid ini. Sejak era kemerdekaan, pemerintah kota Medan mengambil andil dalam perawatan dan pengelolaan masjid. Pengurus masjid sangat ketat menjaga masjid ini termasuk menjaga keaslian bangunan dengan tidak sembarangan melakukan perbaikan apalagi perombakan mengingat material yang dipakai untuk membangun masjid ini memang dari bahan bahan pilihan yang kini tidak mudah untuk didapatkan.

Sebagai bangunan tua, Pemkot Medan dan Pengelola Masjid Raya Al Mashun memberikan penangangan khusus terhadap masjid ini. Di sebuah papan yang berada dipintu gerbang masuk kompleks masjid misalnya, para pengunjung hendak memasuki masjid di”warning” agar tidak melakukan tujuh hal, yaitu dilarang masuk bagi segala jenis kendaraan, dilarang memakai alas kaki, dilarang berjualan di dalam kompleks, dilarang bermain segala jenis olahraga, dilarang meludah di atas lantai, dilarang membuang sampah sembarangan, dan dilarang merokok. Bagi yang melakukan ketujuh larangan tersebut, akan dituntut melanggar pasal 406 ayat 1 KUHP, dengan ancaman 2 tahun dan 8 bulan penjara.

Interior Masjid Raya Al Mashun.

Aktivitas Masjid Raya Al Mashun

Pada bulan Ramadhan, suasana di Masjid Raya ini menjadi jauh lebih semarak dibanding hari-hari biasa. Kegiatan ibadah tidak hanya berlangsung siang hari, melainkan juga malam hari hingga menjelang waktu sahur. Siang disisi dengan kegiatan muzakarah, diskusi tentang hukum sya’ri Islam, ceramah Ramadhan, dan berbagai kegiatan pengkajian Islam lainnya.

Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.***

Rabu, 18 April 2012

Masjid Al Osmani, Tertua di Kota Medan

Masjid Al-Osmani Labuan, Masjid Tertua di Kota Medan.

Dua puluh kilometer sebelah utara kota Medan, propinsi Sumatera Utara, di daerah Labuan, berdiri sebuah masjid tua bersejarah peninggalan kejayaan kesultanan melayu abad ke 19. Masjid bewarna kuning ini bernama Masjid Al Osmani. Karena lokasinya yang berada di daerah Labuan maka sebagian masyarakatpun menyebutnya dengan sebutan Masjid Labuan. Masjid ini adalah masjid tertua di kota Medan.

Masjid Al Osmani didominasi warna kuning, warna kebesaran kesultanan melayu. Masjid Osmani bahkan lebih dulu dibangun dibandingkan dengan Masjid Raya Al Mahsun di pusat kota medan, Sultan Osman Perkasa Alam, Sultan Deli ke 7 yang pertama kali membangun masjid ini pada tahun 1854. Putra beliau yang kemudian meneruskan tahtanya membangun masjid ini menjadi sebuah bangunan permanen yang masih berdiri kokoh hingga kini.

Lokasi Masjid Al Osmani

Masjid Al Osmani
Jl. Yos Sudarso 17,5, Kelurahan Pekan Labuhan
Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan
Sumatera Utara – Indonesia


Sejarah Masjid Al Osmani

Perpindahan Ibukota Kesultanan Deli

Sejarah Masjid Al Osmani bermula ketika Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu itu, ke Kampung Alai, sebutan untuk Labuhan Deli dan membangun Istana kerajaan yang lokasinya [dulu] berada di depan Masjid Al Osmani. Pemindahan itu dilakukan setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli (Raja Deli III) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian untuk empat putranya.

Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Mereka adalah :

[1] Sultan Deli ke-4 Tuanku Panglima Pasutan (berkuasa 1728-1761)
[2] Sultan Deli ke-5 Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805)
[3] Sultan Deli ke-6 Sultan Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850)
[4] Sultan Deli ke-7 Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1858)
[5] Sultan Deli ke-8 Sultan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873)
[6] Sultan Deli ke-9 Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924).

Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) merupakan Sultan Deli yang pernah bertahta di dua Istana. Pada masa pemerintahannya, beliau memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar dengan dibangunnya Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891. Diikuti pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada 1907 dan selesai pada 10 September 1909.

Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, yaitu ketika kerjaan itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada 1863 untuk ditanami tembakau Deli.

Masjid Kesultanan Deli yang pertama dinamai Masjid Al Osmani untuk mengenang Sultan yang membangunnya, disebut Masjid Labuhan Deli karena berada di Labuhan Deli, atau Masjid Kuning karena warnanya yang kuning terang sebagai warna kebesaran kesultanan melayu.


Dibangun Oleh Sultan Deli Ke-7

Pada tahun 1854 Sultan Deli ke tujuh, Sultan Osman Perkasa Alam membangun sebuah masjid kerajaan di depan istana Kesultanan Deli di Labuhan Deli. Pembangunan masjid kesultanan dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun permanen oleh putra-nya yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam [Sultan Deli ke-8].

Ketika itu rakyat dan kerajaan Melayu Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Rejeki yang berlimpah sebagian digunakan Sultan Mahmud Perkasa Alam, yang berkuasa pada saat itu, untuk menjadikan masjid itu sebagai bagunan megah. Masjid Al Osmani yang dibangun oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam inilah yang kini berdiri kokoh di Labuan Deli.

Masjid Al-Osmani tempo dulu. Rancangan masjid cordoba di Spanyol di citrakan kedalam rancangan masjid Al Osmani ini oleh perancangnya yang memang berasal dari Eropa, terlihat pada ornamen pada lengkungan lengkungannya


126 Tahun Tanpa Masjid ?

Bila kita menghitung jarak waktu antara perpindahan pusat pemerintahan dari Padang Datar [pusat kota Medan], ke Kampung Alai [Labuhan Deli] di tahun 1728 di masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan [Sultan Deli ke-4] hingga pendirian Masjid Al Osmani di tahun 1854 pada masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] terpaut waktu sekitar 126 tahun, waktu yang cukup lama bagi sebuah kesultanan berdiri tanpa kehadiran sebuah Masjid. Lalu, dimanakah para Sultan dan kerabatnya serta rakyat Deli menyelenggarakan sholat berjamaah selama 126 tahun sebelum masjid Al Osmani di bangun ?.

Sejarah hanya menyebutkan bahwa masjid Al Osmani dibangun oleh Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] tanpa menyebutkan apakah sebelumnya sudah ada tempat yang difungsikan sebagai masjid atau tidak. Boleh jadi sebelum Sultan Osman membangun masjid ini, sudah ada ruang khusus di Istana kesultanan Deli yang difungsikan sebagai mushola / masjid kerajaan yang digunakan untuk beribadah termasuk penyelenggaraan sholat Jum’at dan dua hari raya. Yang pasti butuh penelitian lebih jauh untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.

Masjid Al-Osmani, Labuan, Kota Medan.

Renovasi dan Pemugaran

Sebagai Masjid Kesultanan, dahulunya istana Kesultanan Deli pertama yang dibangun di depan masjid ini sehingga sultan cukup berjalan kaki jika ingin ke masjid. Sekarang setelah lebih dari 150 tahun berlalu istana itu sudah rata dengan tanah, berganti bangunan sekolah dasar. Ketika pertama kali dibangun, ukuran Masjid Al Osmani hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu. Fungsi utamanya sebagai masjid tempat sultan melaksanakan salat serta kegiatan keagamaan dan syiar Islam.

Pada tahun 1870, Sultan Deli ke-8, Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga dan kuningan bersegi delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton Sementara kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah tidak kalah indah dengan Masjid Raya Al Mashun.

Pemugaran berikutnya dilaksanakan pada tahun 1927 yang digagas Deli Maatschappij, perusahaan kongsi Kesultanan Deli dan Belanda. Lantas dilakukan lagi pada tahun 1964 oleh T Burhanuddin, Direktur Utama PT Tembakau Deli II. Rehabilitasi berikutnya dilakukan Walikota Medan HM Saleh Arifin pada tahun 1977. Terakhir, pemugaran dilakukan Walikota Medan Bachtiar Djafar pada tahun 1992.

Bentuk Kubah masjid Al Osmani mengingatkatkan kita pada bentuk kubah kubah masjid tua di Sumatera lainnya, sebut saja kubah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan Masjid Azizi Tanjungpura peninggalan Kesultanan Langkat.


Arsitektural Masjid Al Osmani

Beberapa kali pemugaran terhadap bangunan masjid ini telah dilaksanakan tanpa menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China. Terdapat tiga pintu utama berukuran besar yang berada di utara, timur, dan selatan masjid dan dulunya hanya digunakan oleh Sultan Deli beserta kalangan istana. Sedangkan rakyatnya masuk melalui empat pintu yang berukuran kecil yang berada di bagian utara dan selatan. Kedua pintu berukuran kecil itu mengapit pintu utama.

Di bagian dalam masjid ber-kapasitas 500 jamaah ini terdapat empat tiang besar dan kokoh berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lain. Empat penyangga itu juga mempunyai arti menjunjung empat sifat kenabian, yakni sidiq [benar], amanah [dapat dipercaya], fathonah [pintar], dan tabligh [menyampaikan].

Layaknya sebuah masjid tua dan milik kerajaan, pekarangan masjid ini juga dijadikan lahan pemakaman. Di pemakaman masjid ini terdapat lima makam Sultan Deli yang pernah berkuasa di Istana Labuhan Deli, mereka adalah : Tuanku Panglima Pasutan (Sultan Deli ke-4), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Sultan Deli ke-5), Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Sultan Deli ke 6), Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan Deli ke-7), dan Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli ke-8)

Interior Masjid Al-Osmani.

Masjid Al Osmani Kini

Kondisinya saat ini, masih menunjukkan kemegahan pada zamannya. Sebuah mimbar dari kayu berukir, jam dinding antik dan lampu gantung dari kristal menjadi ornamen yang memperindah bagian dalam masjid. Dominasi warna kuning dan hijau dinding bangunan menjelaskan entitas Melayu yang melekat pada masjid tersebut. Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan  hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan jemaah haji yang berasal dari wilayah Medan utara menuju pemondokan jamaah haji.

Kebesaran Masjid Al Osmani juga menarik para petinggi negara untuk singgah dan sholat disini. Diantara mereka tercatat Menteri Kehutanan RI Ir Zulkifli Hasan SE M dan Menteri Prekonomian RI Ir H Hatta Rajasa berkesempatan melaksanakan sholat Jum’at di masjid ini pada 27 Januari 2012 lalu dalam rangkaian acara safari Jum’at yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Medan, memasuki tahun 2012.***