Tampilkan postingan dengan label Masjid di Jakarta Selatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Jakarta Selatan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Januari 2017

Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru

Masjid Agung Al-Azhar pada saat masih berdiri sendirian tanpa pesaing gedung gedung disekitarnya memanglah nampak sebagai sebuah landmark tanpa tanding di masanya.

Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Kota Administrasi Jakarta Selatan, merupakan salah satu masjid yang begitu populer di tanah air sejak berdiri di tahun 1952 hingga saat ini. Meskipun dari sisi sejarah, masjid ini bukanlah masjid pertama di Jakarta bahkan di wilayah Jakarta Selatan sekalipun, bukan pula masjid dengan ukuran terbesar, namun banyak faktor yang membuat masjid ini begitu terkenal salah satunya adalah kemampuannya untuk mengembangkan masjid sebagai pusat aktivitas ummat, tidak saja sebagai pusat keagamaan namun juga merambah ke ranah pendidikan hingga perekonomian. Para pendiri masjid ini sejak awal sudah menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas, berupaya mengembalikan masjid sebagai pusat peradaban.

Masjid Agung Al-Azhar telah dikukuhkan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai salah satu dari 18 situs tapak sejarah perkembangan kota Jakarta. Selain itu, masjid ini dijadikan cagar budaya nasional per tanggal 19 Agustus 1993. Saat ini di komplek Masjid ini telah berdiri sekolah sekolah Islam dari Taman Kanak Kanak hingga Universitas dibawah pengelolaan Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar. Lokasi masjid ini juga sangat strategis, tak jauh dari terminal Bis Blok M, dan Bus Transjakarta (busway) juga telah membangun halte tepat di depan komplek masjid ini yang masuk dalam Koridor I rute blok M – Kota.

Masjid Agung Al-Azhar
Jl. Sisingamangaraja No.1, RT. 2, RW. 1, Selong
Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110



Sejarah Masjid Agung Al-Azhar

Masjid Agung Al-Azhar dibangun pada tahun 1952 atas usaha 14 orang tokoh tokoh Masyumi diantaranya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid, untuk memiliki sebuah masjid utama di kawasan Kebayoran Baru. Atas anjuran Mr Syamsudin, Menteri Sosial RI pada saat itu, maka oleh para tokoh tersebut didirikanlah Yayasan Pendidikan Islam (YPI), pada tanggal 7 April 1952.

Yayasan tersebut pada tanggal 19 November 1953 mulai mendirikan sebuah masjid di atas lahan seluas 43.755 meter2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili Walikota Jakarta Raya. Pembangunan masjid tersebut selesai dibangun pada tahun 1958 dan diresmikan dengan nama Masjid Agung Kebayoran. Pada saat itu Wilayah Jakarta Raya (kini Provinsi DKI Jakarta) masih di kepalai oleh seorang Walikota.

Manakala beca masih bebas beroperasi di Jakarta

Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan Rektor Universitas Al Azhar, Dr. Mahmoud Syaltout yang diundang memberikan ceramah umum di masjid ini. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Muhammad Abdul Karim atau yang lebih dikenal sebagai Hamka. Hamka pula yang mentradisikan aktivitas kuliah subuh, pegajian hari Ahad, dan kuliah Ramadhan di masjid ini.

Pada tahun 1962 dalam kiprahnya membina pemuda dan pemudi Islam, MAA mengadakan kegiatan Pramuka Gugus Depan dan sore harinya Pendidikan Islam Al-Azhar (PIA) sampai berahirnya masa orde lama dan mulainya orde baru, membawa angin segar bagi dakwah Islam khususnya bagi umat Islam. MAA mulai mendiirikan lembaga pendidikan formal (th 1967), diawali dengan TK Islam Al-Azhar dan seterusnya susul menyusul mendirikan SDIA, SMPIA, SMAIA dan pada akhirnya mendirikan Universitas Al Azhar Indonesia.

dan kini Masjid Agung Al-Azhar tampak mungil diantara gedung gedung jangkung kota Jakarta

Aktivitas Masjid Agung Al-Azhar

Kegiatan yang sudah mentradisi di masjid ini tentu saja adalah kuliah subuh, pegajian hari Ahad, dan kuliah Ramadhannya yang sudah terkenal sejak masa Buya Hamka. Selain itu kegiatan Majelis Taklim, Kursus Kader Mubaligh, Studi Islam, Kursus bahasa dan dakwah di Masjid Al Azhar sangat terbuka menerima jamaah dari daerah lain. Kegiatan di Masjid Agung Al Azhar ini bisa diikuti oleh seluruh masyarakat.

Kegiatan untuk remaja di masjid ini ditangani oleh Youth Islamic Study Club (YISC) saat Ramadan ini menggelar pesantren kilat untuk anak-anak dan remaja. Selama Ramadan, Masjid Agung Al Azhar sudah menyusun berbagai kegiatan keislaman baik yang rutin maupun nonrutin. Kegiatan rutin berlangsung mulai dari subuh hingga malam hari. Sebelum menunaikan salat subuh dan zuhur, serta sebelum berbuka puasa, jemaah Masjid Al Azhar mendapat pencerahan melalui program kuliah tujuh menit (kultum).

Interior Masjid Agung Al-Azhar

Masyarakat yang ingin memperbaiki cara membaca Alquran juga dapat mengikuti tadarus, tahsin, dan tadabbur Alquran. Panitia menyediakan tiga waktu setiap harinya, yakni sebelum salat zuhur, sebelum salat asar, dan bakda atau setelah salat tarawih. Tadabbur atau kajian tafsir Alquran dilakukan bakda tarawih setiap Senin dan Rabu. Bagi masyarakat yang belum bisa atau lancar dalam membaca Alquran, panitia menyediakan waktu belajar dasar membaca Alquran,

Kegiatan nonrutin yang diadakan di bulan Ramadan antara lain bazar Ramadan di lapangan parkir utara dan kampung Ramadan di lapangan hijau Masjid Agung Al Azhar. Acara buka puasa untuk anak-anak yatim dan duafa digelar di Aula Buya Hamka, Selain itu, Masjid Agung Al Azhar juga mengadakan berbuka puasa lokasi tak biasa yakni di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan negara (rutan) seperti di Rutan Pondokbambu, Lapas Anak Tangerang, dan Lapas Pemuda di Tangerang. sementara pengajian khusus untuk mereka yang sibuk dengan profesi dan pekerjaannya tersedia program pengajian lepas kerja. Selengkapnya tentang aktivitas di Masjid Agung Al-Azhar ini dapat dilihat di situs resmi Masjid Agung Al-Azhar.***

--------------------------------ooOOOoo--------------------------------

Artikel Masjid Jakarta Selatan Lain-nya


Senin, 16 April 2012

Masjid Al-Ikhlash Jatipadang, Masjid Pertama Bersertifikat ISO

Masjid Al-Ikhlas Jati Padang

Melihat bentuknya. Masjid Al Ihlas di Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini boleh dibilang biasa biasa saja. Masjid beton ber-arsitektur kontemporer dengan menara tunggal menjulang tinggi. Tapi istimewanya masjid ini adalah masjid sekaligus lembaga keagamaan pertama yang meraih sertifikat ISO 9001:2008 tidak saja di Indonesia tapi juga Asia Tenggara dan bahkan juga mungkin di dunia. Bila perusahaan menerapkan system ISO itu sudah biasa tapi ini masjid lho. Benar benar tak biasa. Tak hanya itu Masjid Al Ikhlas Jatipadang ini juga pernah meraih trofi sebagai Masjid Masyarakat Terbaik se-DKI untuk tahun 2009 yang diumumkan pada tahun 2010 lalu.

Sertifikat ISO 9001:2008 dari badan sertifikasi International Standard Certification (ISC) yang berpusat di Sydney, Australia. Diserahkan langsung oleh Mr. Rickman J Mather, Representative of International Standard Certification (ISC) pada tanggal 2 Juli 2011 lalu. Rickman mengakui, bahwa di di Australia sekalipun, dimana kepedulian masyarakat terhadap manajemen yang baik sudah cukup tinggi, ternyata belum ada satupun lembaga-lembaga keagamaan yang tergerak untuk menerapkan konsep ISO dalam manajemen lembaga mereka.

Loksi dan Alamat Masjid Al Ikhlas Jatipadang

 Masjid Al Ikhlas Jatipadang
Jl. Ragunan Raya, Jatipadang
Pasar Minggu,  Jakarta Selatan
DKI Jakarta  - Indonesia





Impelementasi system ISO di masjid ini bukan saja terasa aneh tapi benar benar menarik perhatian. Rickman J Mather sendiri sebagai konsultan auditor eksternal untuk ISO yang telah malang-melintang di berbagai penjuru dunia, awalnya megaku kaget dan terheran-heran, mengapa sebuah lembaga masjid mau menerapkan sistem ISO. Namun setelah ia mengunjungi secara langsung—dalam rangka mengaudit implementasi ISO 9001:2008 di Masjid al-Ikhlash Jatipadang—barulah ia memaklumi gagasan penerapan ISO tersebut.

Dalam acara Penyerahan Sertifikat ISO 9001:2008 tersebut, secara simbolik sertifikat diserahkan oleh pihak ISC dan diterima oleh Bp Supli Ali, SH mewakili Gubenur Provinsi DKI Jakarta, Fauzi Bowo. Selanjutnya, pada acara yang sama diserahkannya kepada Manajemen Masjid al-Ikhlash Jatipadang, yang diterima oleh Ketua Umumnya, Bapak Ir. Budi Suhirman MSc. MBA. Acara ini juga dihadiri oleh para petinggi Dewan Masjid Indonesia (DMI), antara Bp.H. Muh. Natsir Zubaidi (Sekjen PP DMI), KH Muh. Siddik Fauzie dari DMI Jakarta Selatan, serta dari kalangan Pemda DKI.

Dalam sambutan tertulisnya—dibacakan oleh Supli Ali, SH—Fauzi Bowo menyambut baik upaya Masjid al-Ikhlash Jatipadang untuk meraih Sertifikat ISO 9001:2008. Menurut beliau, peran masjid sangat relevan dengan konsep pembangunan kota Jakarta yang seimbang. Pihak DMI Pusat (Bp.H. Muh. Natsir Zubaidi ) juga menyampaikan ceramah singkat mengenai peran masjid di Indonesia, dan betapa pentingnya dan urgennya penerapan sistem manajemen yang baik dalam mengelola lembaga masjid.

Exterior Masjid Al-Ikhlas Jatipadang

Sejarah Masjid Al Ikhlas Jatipadang

Berawal Dari Sebuah Mushola Proyek Perumahan

Sejarah Masjid Al-Ikhlash Jatipadang dimulai dari proyek pembangunan komplek perumahan dinas kementrian pertanian di kawasan Jakarta Selatan oleh PT. Taruna Bangun selaku kontraktor di tahun 1965. Pihak kontraktor kemudian membangun sebuah mushola untuk keperluan karyawan muslim menunaikan ibadah. Namun mushola tersebut ternyata tidak hanya dipergunakan oleh karyawan tapi juga turut diramaikan oleh jemaah muslim warga sekitar proyek pembangunan. Ketika keseluruhan proyek pembangunan berahir di tahun 1967, mushola tersebut kemudian diserahkan kepada warga muslim Jatipadang.

Di tahun 1968, sebuah gedung yang biasa dipakai sebagai garasi kemudian direnovasidi jadikan gedung madrasah intidaiyah dan mushola tersebut juga di rombak ke ukuran yang lebih besar menjadi sebuah masjid yang kala itu diberi nama Masjid Panca Sakti. Pengelolaan madrasah ditangai oleh Bpk. H. Muhammad Ishak sedangkan pengelolaan masjid dikepalai oleh Bpk. Soejarwo di dukung oleh Bpk. Soelaiman sebagai perwakilan PT. Taruna Bangun.

Interior Masjid Al-Ikhlas Jatipadang

Diserahkan ke warga muslim jatipadang

Di tahun 1969 pengelolaan masjid dan madrasah sepenuhnya diserahkan kepada warga muslim Jatipadang. Masjid yang sebelumnya bernama Masjid Panca Sakti kemudian diganti nama menjadi Masjid Al Ikhlash dengan harapan bahwa semua amal bakti yang dilakukan untuk masjid tersebut dilandaskan kepada ke-ikhlasan dan semata mata mengharapkan ridho Alloh Subhanahuwata’ala.

Beberapa tokoh masyarakat yang aktif dalam pengembangan masjid tersebut diantaranya adalah Bpk. Soelaiman (PT Taruna Bangun – selaku pendiri masjid), Bpk. Soejarwo, SH (perwakilan dari kementrian pertanian), Ustadz Abdul Rahman, Bpk.  Lili Sadeli, Drh. Syamsu, Drh. ZB. Tafal, Drs. Salim Harun, Drs. Iwan Djuhata, Bpk. Djuri Kundori, Ustadz Mahruf Djaani, Ustadz Ridwan, Ustadz Syakubat, Bpk. Sinwani, Bpk. Sadi, dan Bpk. Nana.

Lahan tempat masjid dan madrasah ini berdiri merupakan lahan milik Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Masjid dan Madrasah tersebut yang sebelumnya sudah diserahkan kepada warga muslim Jatipadang, pernah diminta untuk dikembalikan ke kementrian pertanian oleh beberapa pejabat di kementrian tersebut. Namun demikian sejak tahun 1976 masjid dan madrasah tersebut berada di bawah Yayasan Mujahidin – sebuah organisasi nirlaba yang dibentuk sendiri oleh kementrian pertanian.

Penyerahan sertifikat ISO9001 versi 2008 kepada Pengurus Masjid Al-Ikhlas Jatipadang

Renovasi dan Perluasan

Masjid Al-Ikhlas Jatipadang telah mengalami serangkaian renovasi. Renovasi pertama dilaksanakan tahun 1981, dengan dana sepenuhnya dari pemerintah DKI Jakarta. Sedangkan renovasi terahir dilaksanakan pada tahun 1998 yang melibatkan perencanaan terintegrasi antara masjid dan madrasah. Peletakan batu pertama dilaksanakan oleh pelaksana tugas menteri pertanian DR. Muhammad Prakosa di tahun 2000 (10 Dzulhijjah 1421 H).  pendanaan proses renovasi tersebut berasal dari dana swadaya masyarakat serta bantuan dari beberapa institusi pemerintah dan swasta.

Di tahun 2006 Nama masjid ini kembali diubah mengingat begitu banyaknya masjid masjid yang bernama sama “Masjid Al Ikhlas” maka ditambahkan kata “Jatipadang” dibelakang nama masjid menjadi “Masjid Al Ikhlas Jatipadang”. Proses renovasi selesai dilaksanakan tahun 2007 dan secara resmi mulai digunakan pada 20 Desember 2007 bersamaan dengan sholat Idul Adha 1428H oleh menteri Pertanian H. Anton Apriantono, MS.

Altivitas Masjid Al Ikhlas Jatipadang

Masjid Al-ikhlash Jatipadang nyaris tak pernah sepi dari aktivitas rutin yang cukup semarak yang diselenggarakan di masjid ini. Acara rutin nya bahkan sudah menyentuh kajian harian. Secara rutin melakukan pengajian ba'da Shalat Subuh berjamaah. Pengajian ini dilakukan setiap hari Senin s/d Minggu setiap minggunya. Pokok pembahasan dalam pengajian ini meliputi Fiqih Ibadah, Aqidah Islam, Ilmu-Ilmu Al Quran, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqih dan Hikmahnya, Sirah Nabawiyah, dan Ahlaq Rasulullah SAW. Pengajian  dipandu oleh Ustadz-Ustadz Senior dari Masjid Al-Ikhlash Jatipadang.

Khusus untuk para Jamaah Muslimah (Wanita), Madjid Al-ikhlash Jatipadang  juga secara rutin melakukan pengajian ba'da Shalat Ashar. Pengajian ini dilakukan setiap hari Sabtu setiap minggunya. Pokok pembahasan dalam pengajian ini adalah Tahsin Al Quran. Pengajian  dipandu oleh Ustadz H. Sunardin dari Masjid Al-Ikhlash Jatipadang.
Interior Masjid Al-Ikhlas Jatipadang

Setiap hari sehabis Shalat Maghrib berjamaah, Madjid Al-ikhlash Jatipadang  juga secara rutin melakukan pengajian ba'da Shalat Maghrib. Pokok pembahasan dalam pengajian ini adalah Tahsin Al Quran beserta terjemahannya dan juga beserta Bahasa Arab. Pengajian  dipandu secara bergantian oleh oleh Ustadz M. Lalu Idham Kholid, Ustadz H Eddy Nurtadi, MTh, Ustadz H. Sunardin dan Ustadz Muslim Gunawan dari Masjid Al-Ikhlash Jatipadang.

Khusus di hari Ahad (Minggu) Madjid Al-ikhlash Jatipadang secara rutin melakukan pengajian ba'da Shalat Isya berjamaah. Pengajian ini dilakukan secara rutin dilakukan sepanjang tahun dengan Pokok pembahasan dadalah Tafsir Al Quran. Pengajian  dipandu oleh Ustadz H Ali Akhmadi MA dari Masjid Al-Ikhlash Jatipadang.

Secara rutin sehabis Shalat Shubuh berjamaah di hari Ahad (Minggu) di Minggu ke 1 setiap bulannya, Masjid Al-ikhlash Jatipadang  juga secara rutin mengadakan ceramah umum atau Tabliq Akbar. Ceramah umum atau Tabliq Akbar ini dibawakan secara bergantian oleh oleh Ustadz-Ustadz yang sudah terkenal di dalam Masyarakat Islam Jakarta dan sekitarnya.**

Minggu, 15 April 2012

Masjid Baitul Mughni, Jakarta

Masjid Baitul Mughni

Berdiri megah di tepian jalan Gatot Subroto, Jakarta, gambar masjid ini seakan akan tercetak pada diding kaca gedung Menara Global yang terletak di sebelahnya. Posisinya yang tak terlalu jauh dengan perempatan Kuningan membuatnya sering disebut Masjid Kuningan. Masjid Baitul Mughni, Jakarta, menempati areal 6.000-an meter persegi di lokasi amat strategis di Kavling 26 Jalan Gatot Subroto, Kuningan, Jakarta Selatan. Selain terdapat masjid tiga tingkat di komplek masjid ini juga berdiri megah dua gedung Sekolah Islam Al-Mughni, masing-masing lima lantai, Pusat Kajian Hadis, dan Al-Mughni Islamic Center.

Masjid Baitul Mughni merupakan wakaf dari Guru Mughni, ulama kondang Betawi tahun 1940-an, masjid tiga lantai ini kii dikepung pusat perkantoran dan sentra bisnis segitiga emas Jakarta: Gatot Subroto, Sudirman-Thamrin, dan Rasuna Said. Menara Jamsostek, Gedung Telkom, Hotel Kartika Chandra, Wisma Argo Manunggal, serta pusat bisnis Mega Kuningan mengelilingi kompleks Al-Mughni.

Lokasi dan Alamat Masjid Baitul Mughni

Masjid Baitul Mughni
Jl. Gatot Subroto Kav 26
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan, propinsi DKI Jakarta 12930 - Indonesia





Sejarah Masjid Baitul Mughni

Sejarah Masjid Baitul Mughni dimulai sejak tahun 1901. Ketika itu Guru Mughni baru pulang dari tanah Suci, kembali ke Batavia. Ia membeli lahan dan langsung mendirikan sebuah masjid kecil berukuran 13 x 13 meter yang pada awal pendiriannya belum memilki nama. Bahan bangunannya terdiri dari batu bata pada bagian dindingnya, lantainya berubin warna merah dengan beratapkan genteng. Bentuk masjid itu adalah empat persegi dengan mihrab di depan sebagai tempat imam memimpin shalat. Meski demikian, jika dibandingkan dengan bangunan yang ada di wilayah lain saat itu, bangunan masjid ini tergolong bangunan mewah.

Dengan bertambahnya jumlah jamaah, ukuran masjid ini pun diperluas, bagian belakangnya ditambah dengan bahan bangunan dari anyaman bambu. Bagian belakang ini dimanfaatkan sebagai tempat mengaji dan bermalam bagi murid-murid Guru Mughni yang datang dari tempat tempat yang jauh. Belum ada menara masjid pada waktu itu. Baru menjelang Guru Mughni wafat dibuat menara. Setelah itu menyusul renovasi demi renovasi berikutnya. satu-satunya peninggalan masjid lamanya ya pilar masjid bekas tiang penyangga masjid di sebelah dalam.


Seolah berkaca di cermin

Sejak pertama pendiriannya, Masjid Baitul Mughni berfungsi tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai tempat pendidikan dan penyebaran ilmu-ilmu agama, bahkan saat itu masjid ini juga sebagai pusat informasi Ru’yatul Hilal (penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal) bagi masyarakat Jakarta Selatan. Ketika itu, masjid ini melahirkan seorang tokoh ahli ilmu falak yakni K.H. Abdullah Suhaimi, yang juga menantu Guru Mughni sendiri. Ketika itu bisa dibilang masjid ini merupakan masjid rujukan bagi masjid-masjid kecil di sekitarnya. Seperti untuk menentukan kapan waktunya azan, biasanya masjid-masjid lainnya berpatokan pada masjid ini. Mereka tidak akan azan sebelum mendengar suara azan dari masjid ini.

Mengenal Guru Mughni

Guru Mughni memiliki nama lengkap Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qais. Lahir sekitar tahun 1860 di Kampung Kuningan, Jakarta dan wafat pada hari Kamis, 5 Jumadil Awwal 1354H, dalam usia 70 tahun. Beliau merupakan putra bungsu pasangan H. Sanusi dan Hj. Da`iyah binti Jeran. Saudara kandungnya yang lain adalah Romli, Mahalli dan Ghozali. Keluarganya merupakan keluarga yang sangat taat dalam menjalankan ajaran agama Islam. Guru pertamanya adalah Ayah-nya sendiri, H. Sanusi. Selain mengaji kepada ayahnya, beliau dan kakak-kakaknya juga mengaji kepada H. Jabir.

Kecerdasannya membuat Ayah-nya bertekad mengirim Guru Mughni belajar ke Makkah pada usia 18 tahun, tahun 1885, beliau sempat kembali ke tanah air. Namun, karena merasa belum cukup berilmu, beliau kembali lagi Makkah unuk mengaji selama lima tahun. Keilmuannya yang mendalam, membuat beliau pernah diminta untuk mengajar di Masjidil Haram bersama ulama Makkah lainnya.

Menara Masjid tampak dari kejauhan

Di antara guru-gurunya selama di Makkah antara lain: Syekh Sa`id Al-Babsor (Mufti Makkah), Syekh Abdul Karim Al-Daghostani, Syekh Muhammad Sa`id Al-Yamani, Syekh Umar bin Abi Bakar Al-Bajnid, Syekh Muhammad Ali Al-Maliki, Syekh Achmad Al-Dimyathi, Syekh Sayyid Muhammad Hamid, Syekh Abdul Hamid Al-Qudsi, Syekh Muhammad Mahfuz Al-Teramasi, Syekh Muhammad Muktar Athorid A-Bogori, Syekh Sa`id Utsman Mufti Betawi, Syekh Muhammad Umar Syatho, Syekh Sholeh Bafadhal, Syekh Achmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani Al-Jawi.

Setelah 14 Tahun di Makkah, beliau kembali ke Tanah Air. Dengan kapasitas ilmunya, orang datang berduyun-duyun untuk belajar dan menimba ilmu darinya. Sejak itulah beliau dikenal dengan panggilan “Guru Mughni”. Dari beberapa pernikahannya, beliau dikaruniai banyak anak. Namun walaupaun punya banyak anak, Guru Mughni sangat perhatian terhadap pembentukan kepribadian dan masa depan semua anak-anaknya. Guru Mughni memiliki visi agar anak dan keturunannya mengikuti jejaknya untuk menjadi ulama. Karenanya beliau tidak segan-segan mengirim putra-putrinya untuk bermukim dan menuntut ilmu agama di kota Makkah walau usia mereka masih muda belia.

Beliau ingin anak-anaknya menjadi pribadi yang mandiri namun berakhlak mulia dan memiliki ilmu yang mumpuni. Terbukti sekembalinya ke tanah air, anak-anaknya banyak yang berhasil menjadi ulama terkemuka, ulama yang mandiri, antara lain, yaitu: KH. Syahrowardi, KH. Achmad Mawardi, KH. Rochmatullah, KH. Achmad Hajar Malisi, KH. Ali Syibromalisi, KH. Achmad Zarkasyi, dan KH. Hasan Basri. 

Exterior Masjid Baitul Mughni

Selain anak-anaknya, cucu-cucunya ada yang menjadi ulama Betawi terkemuka, antara lain, yaitu KH. Abdul Rozak Ma`mun, Dr. KH. Nahrawi Abdus Salam, KH. Abdul Azim AS, KH. Abdul Mu`thi Mahfuz, dan KH. Faruq Sanusi. Selain anak dan cucunya, cicitnya pun, baik yang putri maupun putra, ada yang menjadi ulama Betawi terkemuka, salah satunya adalah Dr. KH. Lutfi Fathullah Mughni,MA yang pada masa kecilnya pernah berguru kepada salah seorang kakeknya, KH. Ali Syibromalisi.

Di halaqah atau majelis taklimnya, Guru Mughni mengajar ilmu fiqih, tauhid, tafsir, hadits, akhlak, dan bahasa Arab. Untuk pelajaran fiqh, beliau gunakan kitab Safinah An- Najah untuk tingkat murid dan kitab Fath Al- Mu`in untuk tingkat guru. Untuk pelajaran tauhid, beliau gunakan kitab Kifayah Al-Awam. Untuk pelajaran tafsir, beliau gunakan Tafsir Jalalain. Untuk pelajaran hadits, beliau gunakan kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim. Untuk pelajaran akhlak, beliau gunakan kitab Minhaj Al-Abidin. Untuk tata bahasa Arab, beliau gunakan kitab Alfiyah. Beliau tidak hanya mengajar, beliau juga menerjemahkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Syama`il dan disusunnya dalam satu kitab yang beliau beri judul Taudhih Al-Dala`il fi Tarjamat Hadits al-Syama`il.

Murid-muridnya yang menjadi ulama Betawi terkemuka di antaranya adalah Guru Abdul Rachman Pondok Pinang, KH. Mughni Lenteng Agung, Guru Naim Cipete, KH. Hamim Cipete, KH. Raisin Cipete, Guru Ilyas Karet, Guru Ismail atau Guru Mael Pendurenan, KH.Abdurrachim dan KH. Abdullah Suhaimi yang menjadi salah seorang guru dari Syekh. Dr. Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi.(JIS)

pada saat renovasi tahun 2012

Aktivitas masjid Baitul Mughni

Selain sebagai tempat Ibadah Masjid Baitul Mughni juga menyediakan fasilitas pendidikan dari tingkatan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah atas dengan nama sekolah Al-Mughni. Selain itu salah satu dari keturunan Guru Mughni, DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA, mendirikan sebuah lembaga kajian hadist yang diberi nama Pusat Kajian Hadist Al-Mughni lembaga ini menyediakan sebuah perpustakaan konvensional hingga perpustakaan digital khusus hadist. Berbagai kegiatan di selenggarakan oleh lembaga ini. klik untuk berkunjung ke Pusat Kajian Hadist Al-Mughni. Selain itu beliau juga mengelola sebuah situs bertajuk tanyalah al-qur’an.

Sekali dalam setahun di masjid ini diadakan acara haul Guru Mughni yang begitu ramai dihadiri oleh para jemaah dari berbagai daerah. Jemaah yang datang memadati masjid ini bahkan sudah hadir sejak sholat subuh dengan rata rata menggunakan pakaian putih. Mereka tidak lain adalah jama'ah Masjid Baitul Mughni dan para tamu undangan. Disetiap acara dihadiri tal kurang dari 1500 orang berbondong-bondong untuk ikut hadir dalam peringatan tahunan jasa-jasa ulama' betawi ini.

Setelah itu diadakan pengajian rutin bulanan yaitu Pengajian Bakhtsi wa Tahqiq, yang dihadiri oleh Alim Ulama se-DKI Jakarta. Acara ini diadakan setiap tahunnya pada bulan Rabi'ul Awwal, di panitiai oleh Pengurus Masjid Baitul Mughni dan para keturunan Keluarga besar Guru Mughni. Acara ini diadakan hanyalah sebuah tradisi mengenang jasa-jasa para Alim-Ulama di masa-masa dakwah zamannya, khususnya Guru Mughni sang Ulama Betawi yang menyebarkan Islam di Indonesia khususnya di DKI Jakarta. Acara tersebut turut dihadiri oleh para pejabat pemerintahan termasuk Gubernur DKI Jakarta Bapak Fauzi Bowo, dan da’I da’I kondanga tanah air seperti Ustadz Yusuf Mansur, beliau langsung hadir pada subuh hari, dan memberikan mau'idhahnya kepada jama'ah yang hadir.

Terlihat dari ruas jalan tol dalam kota

Pengelolaan Masjid Baitul Mughni

Kepengurusan Masjid Baitul Mughni sampai saat ini masih dilanjutkan oleh keturunan guru Mughni. Sumber dana Masjid Mughni selama ini masih menempuh cara konvensional. "Yang utama sumbangan dari jamaah, Jamaah salat dan pengajian rutin di masjid menyumbang lewat kotak amal. Saat salat Jumat, bisa terkumpul donasi minimal Rp 1 juta. Ada pula sumbangan lebih besar dari para donatur insidental dan sejauh ini, kebutuhan operasional masjid bisa tertangani.

Dengan model konvensional saja, masjid ini mampu menyediakan rumah sederhana bagi imam salat dan petugas azan, serta menggajinya secara layak. Kas masjid bahkan sering meminjami bagian pendidikan yayasan yang mengelola TK, SD, dan SMP Islam terpadu. Lebih-lebih bila dikelola secara profesional. Pengembangan unit usaha mulai disiapkan oleh pengurus masjid Baitul Mughni. di antaranya usaha simpan-pinjam, biro perjalanan, dan klinik. Kebetulan ada cicit Guru Mughni yang jadi dokter dan menjadi Kepala Puskesmas Mampang, sekalian ngabdi di yayasan.***

Minggu, 14 Agustus 2011

Masjid Hidayatullah – Setiabudi, Jakarta Selatan

Bertahan dihimpitan zaman dan belantara beton metropolitan Jakarta, Masjid Hidayatullah ini menjadi saksi bisu perkembangan kawasan tersebut sejak kali Krukut yang melintas di depan nya masih jernih, bersih dan bening sampai kalinya berubah hitam legam pekat dengan cemaran seperti saat ini. 

Bila anda sedang melintas di kawasan Karet, Setiabudi, Jakarta. Anda akan melintasi masjid tua berarsitektur unik ini terselip diantara belantara gedung gedung jangkung metropolitan Jakarta.  Masjid tua bersejarah yang pernah terancam akan digusur demi kepentingan kapitalis ini masih bertahan ditempatnya sejak pertama kali berdiri tahun 1921. Sebuah masjid yang mencerminkan perpaduan berbagai budaya dalam seni bangunannya, menambah khazanah seni arsitektural masjid masjid di tanah air.

Pada era kejayaannya, masjid ini menjadi kebanggaan warga Betawi di kawasan Karet. Namun kini masjid tua bersejarah ini benar benar terhimpit dan terhalang oleh gedung gedung pusat bisnis paling elit di Jakarta. Setiap jengkal lahan di kawasan ini sangat berharga sehingga tak mengerankan bila lahan masjid ini pernah menjadi incaran beberapa kalangan untuk diubah menjadi kawasan bisnis. Sebelum kemudian Masjid ini dimasukkan dalam daftar bangunan Cagar Budaya yang harus dilindungi. Kini setelah ratusan tahun berlalu masjid ini menjelma laksana oase yang menyejukkan jiwa ditengah kerasnya kehidupan Metropolitan Jakarta.

Alamat Masjid dan Lokasi Masjid

Jl. Masjid Hidayatullah (Karet Depan), RT 07/04, Karet Semanggi,
Setiabudi, Jakarta Selatan, 12930.





Sejarah Masjid Hidayatullah

Masjid Hidayatullah – Jakarta ini merupakan salah satu masjid dengan sentuhan budaya Thionghoa di Indonesia. Pertama kali dibangun pada tahun 1747 di atas lahan wakaf dari pengusaha Batik bernama Mohamad Yusuf yang tinggal didaerah Karet, lahan seluas tiga ribu meter persegi untuk masjid tersebut beliau dapat dari seorang Belanda bernama Safir Hands.

Ada dua versi tentang Muhammad Yusuf ini. sumber pertama menyebutkan bahwa beliau adalah seorang pengusaha Muslim Thionghoa, itu sebabnya arsitektur masjid ini kental dengan sentuhan budaya Thionghoa. Sementara sumber yang lain menyebutkan bahwa beliau adalah seorang pengusaha asli Betawi dan sentuhan Thionghoa pada bangunan masjid ini dikarenakan pada proses pembangunannya yang dilaksanakan secara bergotong royong oleh para jemaah termasuk jemaah muslim Thionghoa yang tinggal di kawasan tersebut kala itu.

Tak ada informasi tentang keberadaan makam Muhammad Yusuf, yang mewakafkan lahan untuk pembangunan masjid ini. Tidak jelas juga apakah memang tidak diketahui dengan jelas keberadaannya atau juga bisa jadi para pengurus masjid dan warga setempat memang menyimpan rapat rapat tentang keberadaan makam beliau guna menghindari dikultuskannya makam hamba Alloh yang sholeh tersebut dari tindakan kemusryikan para peziarah yang masih belum memahami esensi ziarah sesuai syariat.

Masjid Hidayatullah kini benar benar terhimpit diantara belantara beton kota Jakarta. Dua Penkakar langit kini mengapit masjid bersejarah ini, Gedung Sampoerna Strategic Square dan Menara Standard Chartered. 

Di sekitar masjid Hidayatullah memang terdapat begitu banyak makam kaum muslimin yang dirawat begitu apik, diantara rimbunan pepohonan rindang yang meneduhi kawasan ini. rerumputan hijau yang juga terawat dengan baik menghilangkan nuansa seram dan angker yang biasa hadir di sekitar komplek pemakaman apalagi pemakaman tua seperti makam makam disekitar masjid Hidayatullah ini.

Masjid Hidayatullah sudah tiga kali direnovasi, yaitu tahun 1921, 1948, dan 1996. Namun renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid. Pada tahun 1991 pengusaha swasta dan pejabat pemerintah pernah akan menggusur peninggalan sejarah ini, sehingga menimbulkan bentrokan antara warga setempat dengan aparat.  Pengurus masjid dibantu Museum Nasional DKI Jakarta berhasil mempertahankannya.

Saksi sejarah perjuangan

Masjid ini menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan saat melawan penjajah. Saat penjajahan dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.

Tampak seperti miniatur. Masjid Hidayatullah dilihat dari ketinggian gedung jangkung disekitarnya tampak begitu mungil seperti miniatur.

Bukti lain keterlibatan Masjid Hidayatullah dalam perebutan kemerdekaan adalah ditangkapnya salah seorang pengurus masjid, yaitu H. Saidi yang sempat dibuang ke Digul, sebelum akhirnya dikembalikan ke lingkungan tersebut. Pahlawan Betawi ini meninggal tahun 1950-an dan di makamkan di sekitar masjid.

Tanggal 15 November 1991, masjid itu kembali menjadi saksi bisu perjuangan para warga. Masyarakat berjuang untuk mempertahankan masjid yang semula akan digusur untuk dijadikan perkantoran.
Sempat terjadi kekisruhan kala itu. Namun atas izin Alloh dan perjuangan warga, rencana tersebut batal. Masjid Hidayatullah pun masih berdiri tegak hingga hari ini.

Tradisi dan Aktivitas di Masjid Hidayatullah

Jika ingin berbuka puasa dalam suasana khusyuk masjid tempo dulu, datang saja ke Masjid Hidayatullah di kawasan Karet, Setiabudi, Jakarta Pusat. Sejak 17 tahun lalu setiap Ramadhan pengurus masjid menyediakan tajil (makanan ringan untuk berbuka) serta nasi beserta lauk bagi para jemaah.

Aktivitas keagamaan masih dan Isnya Allah akan terus berlangsung di Masjid Hidayatullah dan semakin ramai selama Ramadhan. Selama bulan suci Ramadhan setiap hari pengurus masjid menyediakan 200 tajil untuk jamaah masjid. Dan dimalam takbiran masjid menyediakan menu ketupatSelain penduduk setempat, jamaah yang datang untuk berbuka di antaranya karyawan perkantoran di sekitar masjid atau pengguna jalan yang terjebak macet di Jalan Sudirman.

Bangunan lama Masjid Hidayatullah, Masjid terkonservasi dengan baik.

Tak hanya menjadi tempat ibadah, masjid ini juga menjadi tempat berjual beli. Semula para pedagang berjualan di depan masjid, namun atas usulan dari Sampoerna pedagang-pedagang tersebut pindah ke sebuah tempat yang jaraknya tak jauh dari masjid. "Kantin Masjid Hidayatullah namanya. Selain makan dan alat-alat sholat, ada pula pedagang yang menjajakan barang-barang lain. Seperti ikat pinggang, CD, bahkan pisau serba guna. Omset yang didapat pun terbilang bagus.

Arsitektur Masjid Hidayatullah Perpaduan Berbagai Budaya

Tampak dari luar Masjid yang sempat akan digusur ini terlihat seperti bangunan khas Thionghoa, dengan atap bersusun tiga melengkung. Sementara kehadiran dua menara yang simetris adalah ciri budaya Hindu yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah. Namun saat memasuki lingkungan masjid, jamaah dapat merasakan budaya lain. Pintu-pintu dan jendela yang ada menunjukan gaya Betawi.

Jendela kayu pada masjid tersebut yang berkisi terbuka dengan tirai setinggi separo jendela. Jendela dengan model itu sering kita jumpai pada rumah tradisional Betawi. Selain itu, pintu yang serba lebar sampai ukiran mawar yang menyatukan delapan tiang penyangganya di dalam masjid, semuanya berciri Betawi. Bangunan utama masjid diapit oleh dua buah menara dibagian depan. Pengaruh budaya Thionghoa tidak saja pada bentuk atap masjid tapi juga terlihat pada gaya ukir mimbar berupa hiasan flora dan fauna.

Jejeran makam di pekarangan masjid Hidayatullah.  

Luas lahan masjid sudah berkurang setengah dari aslinya. Hal tersebut disebabkan sebagian lahan yang ada dipergunakan untuk jalan. Namun, karena jumlah Jamaah semakin banyak, pihak masjid memutuskan untuk menambah beberapa ruangan dan tetap mempertahankan bangunan asli. 

Di kiri-kanan masjid terdapat puluhan makam yang masih terawat dengan baik. Selain itu terdapat pula pepohonan yang berusia puluhan tahun yang membuat suasana masjid menjadi semakin teduh.
Beberapa pohon yang tergolong langka di Indonesia juga tumbuh dan hidup di tempat ini, seperti pohon kurma tapi tidak berbuah, pohon malaka yang memiliki buah pahit dan bisa dimanfaatkan untuk obat serta pohon nangka yang sudah berusia ratusan tahun.

Menurut A. Heuken SJ dalam buku Masjid Masjid Tua Jakarta, kemungkinan masjid ini berawal dari sebuah bangunan mushola atau masjid kecil . dua menara kembar yang terdapat di bagian muka masjid bisa jadi merupakan gaya arsitektur yang sedang digandrungi di Jakarta ketika itu. Hal ini dapat dilihat dari adanya menara ganda pada bekas kantor imigrasi di Menteng (dibangun tahun 1913) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (dibangun tahun 1926). Aristektur menara kembar seperti ini menurut Heuken berasal dari Persia.

Sementara Iif Rahmat Faizi menyebutnya sebagai pengaruh budaya Hindu Jawa. Dalam buku panduan kecil Building, disebutkan bahwa pengaruh Mesopotamia (Irak) tepatnya gaya Babilonia, terasa lebih kuat. Desain menara kembar di atas podium terutama gerbang masuk tampaknya bermula dari pembangunan Ishtar gate pada masa Babilonia. Gaya ini kemudian berkembang memasuki era arsitektur yang lebih modern di awal abad 20.

Interior Masjid Hidayatullah

Tampaknya menara ini merupakan perpaduan antara dua menara yang khas arsitektur Babilonia dengan bentuk atap khas dari China. Gerbang masuk utama seperti ini terlihat disini memang mengingatkan pada gerbang masuk keraton keraton di Jawa yang merupakan pengaruh Hindu Jawa.

Salah satu kebiasaan elektik masyarakat Indonesia memang terasa sekali pada bangunan Masjid Hidayatullah ini. masih  menurut Iif Rahmat Fauzi, maka akan terbaca simbolisasi yang dimunculkan dalam masjid ini. Masyarakat Indonesia memang sangat senang dengan simbolisasi dalam rancang bangun arsitekturalnya. Dua menara kembar melambangkan dua kalimat syahadat. Delapan tiang penyanggah utama di dalam masjid menggambarkan 5 rukun Islam di tambah dengan 3 kepribadian Muslim yakni Iman, Islam dan Ikhsan.

Renovasi dan Perbaikan Masjid

Pada awal berdirinya, luas tanah masjid sekitar 3.000 m. Namun setelah mengalami penggusuran untuk proyek perluasan kali Krukut yang mengalir tepat di depan masjid, yaitu pada tahun 1972 dan pembuatan air limbah pada tahun 1980-an, saat ini luas tanahnya hanya tinggal 1.600 m. Sementara sampai saat ini, Masjid Hidayatullah sudah mengalami empat kali perbaikan.

Perbaikan pertama pada tahun 1921 dengan tidak merubah bentuk aslinya, namun hanya ditambah dengan bangunan samping. Perbaikan kedua pada 1948 dengan menambahkan porselen. Perbaikan ketiga pada 1972 dengan menambah internit dan perbaikan keempat tahun 1983 dengan memperluas bangunan luar.***

--------------------------------ooOOOoo--------------------------------