Tampilkan postingan dengan label masjid ki ageng henis laweyan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masjid ki ageng henis laweyan. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 September 2012

Masjid Ki Ageng Henis Laweyan – Surakarta (bagian 2)

Masjid Ki Ageng Henis Laweyan atau lebih dikenal dengan nama masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Surakarta. pertama kali dibangun oleh Ki Ageng Henis, seorang ulama/imam di keraton kesultanan Pajang pada masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir 

Arsitektural Masjid Laweyan

Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. Juga ada kentongan besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena digantikan dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang utama masjid dari kayu jati. Terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid. Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam, Iman dan Ihsan.

Wujud akulturasi budaya sangat terlihat pada arsitektur bangunannya beserta ornamen yang menghiasinya. Letak masjid berada di atas bahu jalan merupakan salah satu ciri dari pura Hindu. Pengaruh Hindu terlihat dari posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya. Saat ini, sejumlah ornamen Hindu memang tak lagi menghiasi masjid. Tetapi, ornamen Hindu seperti hiasan ukiran batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid.

Ekterior masjid Ki Ageng Henis atau Masjid Laweyan dari berbagai sumber ::: warisan budaya hindu terlihat dengan jelas diaplikasikan pada elevasi lantai masjid yang dibuat jauh lebih tinggi dari permukaan tanah disekitarnya, sementara peninggalan budaya hindu lainnya hanya dapat dinikmati di areal pemakaman kerajaan disebelah masjid ini.

Tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yakni ruang induk (utama) seluas 162 meter persegi dan serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri atas pendopo atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri. Serambi kanan menjadi kempat khusus putri atau pewastren, sedangkan serambi kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.

Ciri arsitektur Jawa ditemukan pula pada bentuk atap masjid, dalam arsitektur Jawa, bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Dinding masjid Laweyan terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding, baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid, sebagian menggunakan kayu. Bukti bahwa dinding awal Masjid Laweyan adalah kayu, ditunjukkan dengan adanya rumah pelindung makam kuno terbuat dari kayu. Cungkup (rumah) di makam kuno yang terbuat dari kayu semua membuktikan bahwa Masjid Laweyan semula berbahan kayu.

Interior masjid Ki Ageng Henis atau Masjid Laweyan ini sangat bernuansa Jawa. dengan empat sakaguru di bagian tengah, mihrab yang menjorok ke dalam buka ke bagian luar, mimbar ukir dari kayu, atap tinggi tanpa plafon dan tentu saja tak ketinggalan sebuah beduk ditambah dengan kentongan.

Di makam ini terdapat tumbuhan langka pohon nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Batari Durga. Keberadaan makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura.

Kompleks Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta. Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat. Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu di antaranya adalah : Kyai Ageng Henis, Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.

Anggota TNI, POLRI, masyarakat dan pelajar membersihkan makam Ki Ageng Henis di kompleks MasjId Laweyan, Solo, Rabu (23/11/2011). Kegiatan Karya Bhakti TNI yang digelar rutin tersebut sekaligus menyambut ulang tahun Hari Juang Kartika yang jatuh pada tanggal 15 Desember. 

Lalu ada makam dari Permaisuri Paku Buwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II & Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta, Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanaran, Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX, Dalang Keraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di Laut Selatan dan Kyai Ageng Proboyekso, yang menurut legenda merupakan Jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.

Mata air Sunan Kalijaga

Salah satu peninggalan unik di Masjid Laweyan yang sering menjadi sasaran pengunjung adalah mata air sumur yang berada di sekitar kompleks masjid. Konon sumur tersebut muncul dari injakan kaki Sunan Kalijaga. Hingga saat ini airnya tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau. Oleh sebab itu, banyak pengunjung yang memanfaatkan air tersebut untuk pengobatan.

Kompleks Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta. Gerbang ini khusus dibuat untuk Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat. 

Kepengurusan Masjid Laweyan

Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan. Bila semasa pemerintahan Kesultanan Pajang, masjid ini menjadi pusat pembelajaran. Saat ini hanya menjadi tempat ibadah biasa, namun demikian pengunjung dan peneliti dari luar daerah tetap terus berdatangan.

Kembali ke Bagian 1

Masjid Ki Ageng Henis Laweyan – Surakarta (bagian 1)

Masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis, dulunya merupakan sebuah pura miliki ke ageng Beluk , kemudian berubah fungsi menjadi masjid pertama di kawasan ini setelah Ki Ageng Beluk masuk Islam di masa ke emasan kesultanan Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya.

Berdiri di atas Bekas Pura

Akulturasi budaya budaya Islam dan Hindu merupakan fakta sejarah di Pulau Jawa, bukti multikulturalisme itu bisa dilihat pada Masjid Ki Ageng Henis atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan. Di kota Solo, Jawa Tengah. Masjid Laweyan berada di Kampung Batik Laweyan Solo ini menjadi bukti sejarah akulturasi Budaya Islam-Hindu, masjid itu sebelumnya merupakan bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit ditemukan, karena Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali. Masjid Laweyan merupakan masjid tertua di Solo. Pendiri masjid ini merupakan sosok cikal bakal penerus takhta di tiga kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Nama masjid ini diambil dari nama pendirinya, Ki Ageng Henis yang merupakan penasihat spiritual kesultanan Pajang. Pada masa nya Masjid Ki Ageng Henis merupakan pusat pembelajaran agama Islam bagi Kesultanan Pajang. Meski masjid ini merupakan masjid bersejarah milik Keraton Kasunanan Surakarta, namun saat ini kepengurusan hingga pemanfaatan masjid ini lebih di dominasi oleh jemaah masjid. Ritual ritual keratonpun jarang diselenggarakan di masjid ini. mengingat sejarahnya sebagai Masjid pertama di wilayah Surakarta, tak salah bila disebut bahwa masjid ini merupakan pintu masuknya Islam ke Surakarta.

Lokasi dan Alamat Masjid Laweyan

Masjid Ki Ageng Henis
Jl. Liris No1. Pajang Laweyan, Kampung Batik Laweyan
Dusun Belukan RT 4 RW 4, Kelurahan Pajang
Kecamatan Laweyan, Surakarta
Jawa Tengah – Indonesia





Nama Kampung belukan itu sendiri berasal dari kata beluk yang berarti asap. Konon dengan banyaknya rakyat yang memeluk agama Islam berdirilah sebuah pesantren yang pengikutnya banyak, karena banyaknya santri yang menjadi pengikut, maka pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi dan selalu keluarlah asap dari dapur pesantren.

Kampung Batik Laweyang hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat kota Surakarta atau dari Jalan Slamet Riyadi. Lokasi yang mudah dijangkau dari arah manapun, menjadikan Kampung Laweyan mendapat tempat tersendiri dari para pengunjung. Sebutan Laweyan berasal dari kata "lawe", yang artinya benang dari pilinan kapas. Saat itu lawe banyak dihasilkan petani di daerah Pedan, Juwiring, dan Gawok. Daerah-daerah itu terletak di selatan Kerajaan Pajang.

Sebagai kawasan cagar budaya, dilokasi tersebut banyak ditemukan situs-situs bersejarah antara lain Masjid Laweyan, makan Laweyan, Langgar Merdeka, Langgar Makmoer, dan rumah H. Samanhudi (pendiri Serikat Dagang Islam). Kampung Laweyan didesain sedemikian rupa sebagai upaya untuk mempercantik kawasan dan nyaman bagi para pengunjung yang datang ke Kampung Laweyan.

Sejarah Masjid Laweyan

Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis (kakek dari Pakubuwono II) yang bersahabat baik dengan Ki Beluk, seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari agama Islam yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits. Ki Ageng Henis sendiri yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga

foto ekterior dan interior masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis, yang merupakan masjid pertama dan tertua di Surakarta sekaligus sebagai pintu masuknya Islam ke kota tersebut. 

Setelah itu, Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan mengikrarkan diri memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan pura yang sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan ke Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (mushola). Dalam perkembangannya, langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.

Masjid Laweyan berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan Pajang jauh sebelum berdirinya Surakarta (1745M). Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal kesultanan Mataram yang kemudian pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Ngayogyakarta. (sejarah singkat kesultanan Mataram dapat dibaca di posting Masjid Agung Mataram Kotagede).

Masjid Laweyan atau Masjid Ki Ageng Henis ::: Bangunan masjidnya bukanlah bangunan masjid mewah dan modern bukan pula masjid dengan ukuran besar. Masjid Laweyan memiliki sejarah yang tak ternilai harganya, peninggalan dari masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau biasa dikenal luas dengan nama Jaka Tingkir 

Ki Ageng Henis adalah Imam di keraton Kesultanan Pajang dimasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram.

Kawasan Laweyan memang terkenal sebagai sentra batik sejak masa kesultanan Pajang. Ketika Sultan Hadiwijaya berkuasa beliau mengangkat Danang Sutawijaya sebagai Syahbandar. Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya. Sungai Sungai Kabanaran yang hanya beberapa meter dari masjid ini, kala itu menjadi urat nadi perdagangan kesultanan Pajang. Dan Masjid Ki Ageng Henis ini merupakan masjid resmi kesultanan Pajang.

Bersambung ke bagian 2