Tampilkan postingan dengan label Masjid di Jawa Tengah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Jawa Tengah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 April 2019

Masjid Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 3)

Simetrical Masjid Agung Demak.

Refleksi Sejarah

Sejarah Kesultanan Demak dimulai pada tahun 1475 dengan diangkatnya Raden Fatah sebagai Adipati Natapraja di Glagahwangi Bintoro Demak oleh Raja Majapahit Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) yang tak lain adalah ayah kandung dari Raden Fatah sendiri. Pengangkatan beliau sebagai adipati juga diberikan beberapa hadiah termasuk 8 pilar yang kini digunakan sebagai pilar penopang serambi masjid agung dan dampar kencana yang kini dipakai sebagai mimbar khutbah di masjid agung.
 
Hampir dapat dipastikan bahwa hadiah pilar pilar berukir adalah untuk keperluan pembangunan keraton, dan Dampar Kencana untuk singgasana sang Adipati, bila memang untuk pembangunan keraton artinya pada saat itu, Demak belum memiliki Keraton. Dapat difahami karena memang pada saat itu Demak sendiri masih berstatus sebagai sebuah Kadipaten di wilayah Majapahit.
 
Dikemudian hari delapan pilar berukir itu nyatanya justru dipakai untuk pembangunan serambi Masjid Agung Demak oleh Sultan Yunus (Pati Unus) memunculkan dugaan bahwa keraton Demak tidak pernah benar benar dibangun, bahwa kemungkinan para Sultan Demak tinggal di kediaman mereka diantara kediaman masyarakat umum yang juga difungsikan sebagai Keraton.

Atap tajuk atau atap limas atau atap berbentuk piramida dibangun sangat mirip antara atap Masjid Agung Demak (bagian belakang foto) dan atap yang menaungi Makam Raden Fatah dan Keluarga yang berada di belakang Masjid Agung Demak. 

Proklamasi Demak sebagai sebuah Kesultanan Merdeka dari Majapahit terjadi setelah Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma atau Bhre Kertabhumi ada juga yang menyebutnya sebagai Brawijaya V yang merupakan Ayah kandung dari Raden Fatah dikudeta oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Bhre Keling (Brawijaya VI) dari tahta Majapahit pada 1478.
 
Girindrawardhana atau Brawijaya VI merupakan menantu Brawijaya V atau ipar Raden Fatah yang justru merebut takhta mertuanya itu. Situasi ini membuat peluang Raden Fatah untuk menjadi raja Majapahit penerus ayahnya pun pupus. Berahirnya kekuasaan Brawijaya V terjadi tiga tahun setelah Kadipaten Glagahwangi (Demak) berdiri sekaligus menjadi awal berdirinya Kesultanan Demak sebagai sebuah negara merdeka.
 
Benang merah Jakarta, Cirebon dan Demak
 
Sejak masa kekuasaan kerajaan hingga kesultanan, tanah Jawa tak pernah bersatu di bawah satu pemerintahan. Pada masanya Majapahit berkuasa dibagian timur dan Kerajaan Sunda menguasai bagian barat pulau Jawa. Dua kerajaan besar yang pernah terlibat dalam perang besar dan kemudian menjadi sebab melemahnya kedua kerajaan itu.

Makam para Sultan Demak. 

Girindrawardhana atau Brawijaya VI merupakan menantu Brawijaya V atau ipar Raden Patah yang justru merebut takhta mertuanya itu. Situasi ini membuat peluang Raden Patah untuk menjadi raja Majapahit penerus ayahnya pun pupus. Berahirnya kekuasaan Brawijaya V terjadi tiga tahun setelah kesultanan Demak berdiri.

Benang merah Jakarta, Cirebon dan Demak

Sejak masa kekuasaan kerajaan hingga kesultanan, tanah Jawa tak pernah bersatu di bawah satu pemerintahan. Pada masanya Majapahit berkuasa dibagian timur dan Pajajaran menguasai bagian barat pulau Jawa. Dua kerajaan besar yang pernah terlibat dalam perang besar dan kemudian menjadi sebab melemahnya kedua kerajaan itu.

Sampai tiba suatu masa, Demak berdiri sebagai sebuah kesultanan di tahun 147*, dan menjadi titik balik kejayaan kerajaan Majapahit. Sementara di bagian barat pulau Jawa, tak lama setelah itu Kesultanan Cirebon berdiri memerdekakan diri dari kekuasaan Pajajaran. Demak dibangun oleh Raden Fatah Anak Prabu Brawijaya V Raja ke 11 Majapahit, sedangkan Cirebon dibangun oleh Syarif Hidayatullah cucu dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi Raja Pajajaran pemersatu dan penerus kerajaan Sunda.

Dibagian atas mihrab (pengimaman) jauh di bagian depan diantara dua sokoguru anda dapat melihat lambang Surya Majapahit bewarna kuning dengan warna dasar hijau.

Anda akan menemukan lambang ‘mirip” Surya Majapahit di Masjid Agung Demak, dan anda juga akan menemukan lambang yang ‘mirip’ Surya Majapahit di atas mihrab Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Anda dengan mudah menemukan hal hal beraroma Majapahit di Masjid Agung Demak dan anda juga akan menemukan hal hal yang berkaitan erat dengan Pajajaran di Keraton Kasepuhan hingga ke Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.
 
Dan sejarah mencatat dengan indah kedua kesultanan itu kemudian bersatu padu menyerbu kekuasaan Portugis yang mulai bercokol di Sunda Kelapa, serbuan yang berjaya dan menjadi titik awal berdirinya Kesultanan Jayakarta yang sekian abad setelah itu, kota yang dididirkan oleh para penerus dua kerajaan besar tanah Jawa itu menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia.
 
Suatu saat bila saja anda mau sedikit merenung di silang Monas, anda akan menemukan ruh masa lalu Nusantara di Ibukota Negara, dimana sebuah alun alun besar menjadi titik pusat kekuasaan dikelilingi dengan Masjid Agung, Pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Semua mengingatkan kita bahwa kita adalah bangsa yang besar dengan sejarah yang teramat panjang, dan jangan pernah sekali sekali melupakan sejarah. Wallahuwa’lam bisshawab.*** SELESAI.
 
[dari berbagai sumber, data diolah, telah diupdate pada 4 Mei 2025]

Sabtu, 06 April 2019

Masjid Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 2)

Ba'da Subuh di Masjid Agung Demak.

Arsitektur Masjid Agung Demak

Bangunan asal yang dibangun pada era Raden Fatah kini menjadi bangunan induk tempat mihrab, mimbar dan maksurah berada. Bangunan induk tersebut kemudian ditambah dengan bangunan Serambi pada masa pemerintahan Adipati Unus atau Pati Unus atau dikenal juga dengan nama Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak ke dua (1518-1521).
 
Pembangunan masjid Agung Demak melibatkan langsung para wali yang masih hidup di masa itu. Sejarah menyebutkan bahwa para wali tersebut yang membuat langsung empat sokoguru atau pilar penopang utama masjid ini. Tiga pilar dibuat dari kayu jati utuh berukuran besar sedangkan satu pilar dibuat dari serpihan serpihan kayu dari tiga pilar tersebut.
 
Sokoguru yang berada di barat laut (kanan depan) didirikan Sunan Bonang, di barat daya (kiri depan) karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara (kiri belakang) buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut (kanan belakang) karya Sunan Kalijaga yang dibuat dari serpihan kayu, masyarakat Demak menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.

Empat sokoguru didalam Masjid Agung Demak.

Ke empat sokoguru tersebut terbuat dari kayu jati tua dan kini masih berdiri kokoh ditempatnya. Upaya konservasi terhadap empat tiang bersejarah tersebut dilakukan dengan menambahkan pelapis di bagian luar juga dengan kayu jati berukuran tebal melapisi seluruh masing masing tiang tersebut dibagian luar.

Pemugaran Tahun 1987
 
Masjid Agung Demak pernah direnovasi dimasa pemerintahan Presiden Suharto. Renovasi dilakukan untuk mempertahankan Masjid Agung Demak yang sudah termakan usia. Renovasi saat itu dilakukan dengan tetap menjaga keaslian bentuk Masjid Agung Demak. Penggantian dan perbaikan bagian bagian yang sudah lapuk seiring berjalannya waktu.
 
Sokoguru yang kini berdiri merupakan sokoguru dari masa renovasi tersebut, sedangkan sokoguru aslinya kini disimpan digedung museum Masjid Agung Demak yang dibangun dipelataran depan masjid. Penggantian sokoguru dilakukan karena kondisinya yang sudah sangat mendesak, bagian atas sokoguru diketahui sudah benar benar lapuk termasuk akibat cairan hewan malam yang seringkali hinggap disana

Pemugaran terhadap Masjid Agung Demak pernah dilakukan di masa pemerintahan Presiden Soeharto dan diresmikan pada tanggal 21 Maret 1987.

Peresmian masjid Agung Demak setelah renovasi dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 1987 oleh Presiden Suharto. Turut hadir dalam upacara peresmian tersebut diantaranya adalah Ibu Tien Suharto, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan, Menteri Dalam Negeri Suparjo Rustam, dan Ibu E.N. Soedharmono
 
Hal yang memprihatinkan terjadi pada sokotatal yang dibuat oleh Sunan Kalijogo, saat ini soko tatal tersebut tinggal tersisa lebih kurang satu meter saja, selain memang sudah lapuk pada saat diganti, tapi ternyata juga menjadi objek “pencongkelan” para pengunjung museum untuk dijadikan semacam “oleh-oleh” atau lainnya, sebelum kemudian seluruh empat sokoguru tersebut diproteksi oleh pengelola museum dengan dinding kaca.

Beberapa bangunan dan fasilitas ditambahkan ke masjid Agung Demak ini dikemudian hari termasuk penambahan bangunan pawastren atau tempat sholat khusus Jemaah wanita dibangun pada masa K.R.M.A.Arya Purbaningrat 1866 M. Menara masjid ini pun dibangun jauh setelah pembangunan masjid, dibangun di abad ke 20 di prakarsai para ulama seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin.

Presiden Suharto dan rombongan di Masjid Agung Demak saat peresmian Pemugaran Masjid Agung Demak Pada 21 Maret 1987.

Pembangunan fasilitas penunjang dan perbaikan komplek masjid terus belanjut hingga ke masa kemerdekaan termasuk pembangunan termpat wudhu, kantor takmir dan pengurus juga pembangunan museum masjid Agung Demak yang menyimpan berbagai artifak sejarah yang berhubungan dengan Masjid Agung dan kesultanan Demak.

Duplikasi Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak secara utuh kemudian di tiru oleh para tokoh masyarakat dan Ulama kesultanan Banjar (Kalimantan Selatan) saat mereka membangun Masjid Jami’ Martapura (1897 M), utusan dari Kesultanan Banjar sengaja datang ke Demak untuk melihat Masjid Agung Demak dan membuat maket masjid tersebut lengkap dengan skala demi keperluan pembangunan masjid Jami’ kesultanan Banjar. Masjid Jami’ Martapura yang asli kini sudah berganti menjadi sebuah masjid yang begitu megah dan modern bernama Masjid Agung Al-Karomah Martapura.

Bentuk masjid beratap Joglo seperti ini tak hanya ditemui pada masjid masjid yang dibangun setelah era Masjid Agung Demak, tapi pada masjid masjid yang dibangun sebelum Masjid Agung Demak berdiri pun sudah memakai struktur demikian. Seperti contoh pada masjid tertua di Indonesia Masjid Saka Tunggal(1288) di Banyumas yang menggunakan atap joglo bertiang tunggal, itu sebabnya disebut masjid saka tunggal. Lebih jauh ke timur kita akan temukan bentuk yang sama pada Masjid Wapauwe (1414) Masjid tua Maluku Tengah.

Dari sudut ini hampir keseluruhan Masjid Agung Demak tampak dalam satu frame. Saat saat menjelang pagi hari, ketika para peziarah sudah mulai bergerak dari masjid menuju komplek pemakaman para Sultan Demak di bagian belakang masjid ini.

Kita akan menemukan pola yang sama pada masjid masjid tua Indonesia diberbagai daerah seperti contoh, Masjid Sultan Suriansyah (1526) di Banjarmasih Kalimantan Selatan, Masjid Al-Hilal Katangka (1603) di kampung halaman nya Shekh Yusuf di Kabupaten Gowa, Sulsel. Dan Masjid Tua Palopo(1604) peninggalan Kesultanan Luwu di Kota Palopo, SuIawesi Selatan. Masih ada lagi Masjid Djami Keraton Landak (1895) di Kabupaten Landak, Kalimantan barat serta Masjid Agung Air Mata - Kupang (1806). Arsitektural masjid dengan atap joglo atau bentuk limas ini menyebar di seluruh tanah air dari pulau sumatera di barat hingga ke wilayah timur Indonesia.

Yang lebih menarik kemudian bahwa arsitektural  masjid asli Nusantara ini juga dipakai di masjid masjid tua di negeri serantau, seperti contohnya adalah dua masjid tua di Kota Malaka, Malaysia yakni Masjid Kampung Keling Malaka, Malaysia (1748M) dan Masjid Kampung Hulu Malaka, Malaysia (1728M). 

Para peziaran dari berbagai daerah memadati area komplek pemakaman para Sultan Demak di komplek Masjid Agung Demak ini. Mereka yang datang dari berbagai daerah menggunakan berbagai moda kendaraan menginap di masjid Agung dan dibimbim oleh para pembimbingnya masing masing menuju ke komplek pemakaman ini melalui koridor disebelah kanan masjid. 

Tak hanya masjid masjid tua yang menggunakan rancangan masjid warisan kejayaan Majapahit itu. Arsitektur Masjid dengan atap Joglo bersusun tiga ini seperti sudah menjadi ciri khusus masjid khas Indonesia. Bila anda masih ingat dengan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yayasan yang didirikan oleh Alm. Pak Harto semasa masih berkuasa, setiap masjid yang dibangun dengan dana dari yayasan ini selalu menggunakan atap limasan (joglo) bersusun tiga dengan 4 sokoguru pada masjid masjid yang dibangun.

Masjid masjid megah yang di beberapa kota tanah air yang didirikan di abad ini pun tak sedikit yang masih mengadopsi arsitektur tradisional asli Indonesia ini, meski dengan sentuhan modern dan berteknologi terkini, beberapa juga dibangun tanpa 4 sokoguru. Seperti contoh Masjid Raya Batam yang dibangun tahun 1997 dan bagian bangunan perluasan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II di kota Palembang, Sumatera Selatan yang menggunakan struktur atap limas untuk tetap memberikan harmonisasi dengan atap limas bersusun tiga pada bangunan masjid asli yang masih terjaga dengan baik di bagian paling depan dari keseluruhan komplek Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II. [telah di update pada 4 Mei 2025]

(Bersambung ke bagian 3, ahir)

Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
------------------------------------------------------------------


Senin, 31 Desember 2018

Masjid Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara

Awal hari yang cerah di Masjid Agung Demak.

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia dan di Nusantara, sekaligus juga merupakan masjid pertama yang dibangun sebagai masjid kesultanan di Nusantara. Lokasinya berada di desa Kauman, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.

Sejak dibangun, masjid agung Demak telah menjadi rujukan pembangun masjid masjid kesultanan lainnya di wilayah Nusantara, baik yang kini menjadi wilayah Republik Indonesia hingga ke wilayah Negara tetangga termasuk Malaysia dan Brunai Darussalam.

Masjid Agung Demak dipercaya sebagai tempat berkumpulnya Walisongo untuk membahas dakwah agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan di Nusantara pada umumnya. Sejarah pembangunan masjid ini berkaitan erat dengan sejarah berdirinya Kesultanan Demak sebagai Kesultanan pertama di Nusantara melepaskan diri secara menyeluruh dari pengaruh kerajaan Majapahit.



Kesultanan Demak berdiri dengan dukungan dari para wali yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertamanya. Raden Fatah sendiri diketahui merupakan salah satu putra dari Prabu Brawijaya, Raja Majapahit yang berkuasa pada saat berdirinya Kesultanan Demak di abat ke 15 miladiah.

Raden Fatah atau juga dikenal dengan Sultan Fatah wafat dan dimakamkan di sebelah barat komplek Masjid Agung Demak bersama dengan sultan Demak yang lain beserta keluarga dan para abdinya.

Lokasi Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak terletak di Desa Kauman, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. berjarak lebih kurang 26 km dari Kota Semarang, atau 25 km dari Kabupaten Kudus, dan 35 km dari Kabupaten Jepara.

Dibangun disisi barat alun alun Demak, Masjid Agung Kesultanan Demak masih berdiri kokoh hingga kini dengan bentuk aslinya, lengkap dengan satu menara yang dibangun jauh setelah masjid ini berdiri.

Masjid Agung Demak berada di tengah kota disisi sebelah barat alun-alun. Sebagai Kesultanan pertama di tanah Jawa dan Nusantara, tata letak masjid Agung Demak ini menjadi rujukan tata kota lainnya di Nusantara dengan ciri khususnya adalah adanya alun alun berukuran cukup luas di pusat kota dilengkapi dengan Masjid Agung disisi sebelah barat, begitupun dengan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian yang dibangun tak jauh dari alun alun kota.

Namun demikian keberadaan keraton kesultanan Demak masih menjadi misteri hingga kini. Meskipun banyak pihak menduga bahwa bekas keraton Kesultanan Demak berada di sebelah selatan alun alun Demak.

Sejarah Masjid Agung Demak

Raden Fatah membangun Masjid Agung Demak di tahun 1401 Saka atau 1477 Miladiyah, atau dua tahun setelah beliau diangkat sebagai adipati Glagahwangi (Demak) di tahun 1475M sebagai sebuah kadipaten didalam lingkup kerajaan Majapahit. Ditahun 1478 dengan dukungan para wali beliau dinobatkan sebagai Sultan Demak bergelar Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Munculnya nama Palembang dalam gelar beliau karena beliau memang lahir dan besar di Palembang (Sumatera Selatan) dari Ibu nya yang berasal dari Campa.
 
Sebelumnya Demak merupakan bagian dari wilayah kesatuan kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) yang tak lain adalah ayah kandung dari Raden Fatah. Sebagai putra raja Majapahit, Raden Fatah memang dibentangkan karpet merah ke wilayah kekuasaan. Tak mengherankan jika sebelum menjadi Sultan Demak beliau telah dianugerahi jabatan oleh ayah-nya sebagai Adipati Natapraja di Glagahwangi (Demak) di tahun 1475 M. 

Di dalam ruang utama Masjid Agung Demak.

Beliau juga menerima hadiah 8 pilar berukir dari ayahnya yang dikemudian hari digunakan sebagai pilar penopang di serambi Masjid Agung Demak dimasa pemerintahan Adipati Yunus (Pati Unus). Pilar pilar tersebut masih dapat kita lihat keberadaannya hingga kini dan disebut dengan pilar Majapahit.
 
Proklamasi Demak sebagai sebuah Kesultanan Merdeka dari Majapahit terjadi setelah Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) raja Majapahit yang merupakan Ayah kandung dari Raden Fatah dikudeta oleh Dyah Ranawijaya dari tahta Majapahit.
 
Tak pelak, berdirinya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam dan melepaskan diri dari pengaruh Majapahit mengundang kemarahan pihak keraton Majapahit yang kemudian mengirimkan pasukan untuk menyerang Demak. Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh pasukan Demak. Disebutkan bahwa salah satu dari pimpinan pasukan Majapahit bernama Raden Sepat bahkan kemudian mengikrarkan ke-Islaman nya dan bergabung dengan kesultanan Demak.
 
Raden Sepat yang kemudian terlibat langsung dalam proses merancang Masjid Agung Demak dengan, kemungkinan besar beliau merupakan bagian dari pasukan zeni tempur Majapahit sehingga memiliki kemampuan arsitektur yang cukup memadai.
 
Tidak dapat dipungkiri bahwa warisan seni arsitektur Majapahit sangat kental dalam rancang bangun Masjid Agung Demak ini, dengan menerapkan bentuk bangunan aula luas beratap limasan bertingkat sebagaimana lazimnya sebuah bangunan besar di era Majapahit.

Serambi Masjid Agung Demak, perhatikan pilar pilar Majapahit yang indah terbuat dari kayu jati berukir.

Masjid Agung Demak dibangun dibangun di lokasi bangunan pondok pesantren Glagahwangi, tempat Raden Fatah menimba ilmu agama dibawah asuhan Sunan Ampel. Wajar bila kemudian para wali mendukung penuh berdirinya kesultanan Demak. Pesantren Glagahwangi didirikan oleh Sunan Ampel ditahun 1466 Miladiyah, sekaligus berfungsi sebagai Masjid.

Pembangunan Masjid Agung Demak tersebut kemudian diabadikan dalam sebuah prasasti yang ditempatkan di dalam ruang mihrab dan dikenal sebagai Condro Sengkolo Memet. Sebuah prasasti berbentuk bulus (kura kura) yang berarti “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”.

Gambar bulus terdiri dari ; satu kepala yang berarti angka satu, empat kaki berarti angka empat, badan bulus yang bulat berarti angka nol, satu ekor bulus berarti angka satu, yang bermakna tahun 1401 Saka yang kemudian disepakati tahun tersebut bertepatan dengan tahun 1477 Miladiyah.

Masjid agung Demak dari arah komplek makam para Sultan Demak, sesaat setelah waktu sholat subuh.

Berdirinya Kesultanan Demak ini dikemudian hari diikuti dengan berdirinya kesultanan Cirebon yang selanjutnya diikuti dengan berdirinya Kesultanan Banten dan berbagai Kesultanan lainnya di wilayah Nusantara.

Disebutkan bahwa Raden Sepat yang mengarsiteki pembangunan masjid Agung Demak juga terlibat dalam proses rancangan Masjid Agung Sang Ciptarasa di Kesultanan Cirebon dan Masjid Agung Banten di Kesultanan Banten.

Sehingga anda akan dengan mudah menemukan kemiripan diantara tiga masjid tersebut. Bahkan beberapa penulis tak segan menyebut ketiga masjid tersebut sebagai tiga masjid kembar. Beberapa menyebutkan masjid Agung Demak sebagai kembaran Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. (semua foto dari akun instagram @hendrajailani). [Telah di Update pada 3 mei 2025].

(Bersambung ke Bagian 2)
.
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
------------------------------------------------------------------


Sabtu, 23 September 2017

Masjid Sunan Bonang Rembang

Masjid Sunan Bonang di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Masjid Sunan Bonang adalah masjid yang dipercaya dibangun oleh Sunan Bonang. Sunan Bonang atau Maulana Makdum Ibrahim lahir pada tahun 1465 Masehi, salah satu dari sembilan Walisongo yang menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa khususnya pesisir timur pantai utara. Lebih tepatnya di Desa Bonang Kecamatan Lasem Rembang Jawa Tengah.

Masjid Sunan Bonang berada di desa Bonang yang terletak dalam wilayah Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang, masjid ini menjadi salah satu bukti dan peninggalan dari perjalanan dakwah Sunan Bonang di Rembang dan sekitarnya. Lokasi masjid ini saat ini sekitar 50 meter disebelah selatan makam Sunan Bonang.

Sebelum menjadi desa daerah ini merupakan sebuah hutan yang terkenal dengan sebutan Alas Kemuning. Di awal awal dibangunnya masjid ini, masyarakat setempat tidak menyebutnya masjid namun menyebut bangunan ini sebagai Omah Gede atau Rumah Besar karena bentuknya yang berupa sebuah bangunan berukuran besar. Masyatakat setempat kala itu merasa heran karena bangunan masjid ini disebut sebut berdiri secara tiba tiba ditengah hutan.

Masjid Sunan Bonang
Bonang, Lasem, Kabupaten Rembang
Jawa Tengah 59271. Indonesia


Bisa jadi karena memang sunan Bonang kala itu tinggal menyendiri di tengah hutan dan jauh dari masyarakat sekitar, sehingga tidak ada masyarakat yang mengetahui proses pembangunan masjid ini sampai kemudian mereka menemukan atau melihat bangunan tersebut pada saat sudah jadi, rampung atau sudah selesai sehingga terkesan terjadi dengan tiba tiba.

Dengan berdiriya sebuah masjid yang mereka sebut sebagai Omah Gede secara tiba tiba itu mereka menganggap terjadi karena karena kekramatan seorang wali kekasih Allah, menjadikan masyarakat sekitar menjadi heran, sebab dipandang sebagai kejadian yang aneh, sehingga masyarakat Bonang sangat ingin datang untuk melihat adanya masjid tersebut.

Namun demikian cerita tutur yang berkembang menyebutkan bahwa Sunan Bonang membangun masjid ini dalam waktu satu malam dan kekramatan beliau sehingga begitu banyak yang datang belajar dan berguru kepada beliau baik dari bangsa manusia maupun bangsa Jin.

Kala itu Sunan Bonang termasuk orang yang dituakan, sehingga rakyat disitu sangat tunduk dan menghormati akan kepribadian Kanjeng Sunan Bonang. Kesempatan yang baik itu beliau gunakan untuk bertabligh dan mengajarkan tentang maksud agama Islam. Mulai saat itulah para santri-santri berdatangan, baik mereka yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur atau Jawa Barat untuk berguru dan menimba ilmu dari Sunan Bonang.

Makam Sunan Bonang di Desa Bonang, Lasem

Keterbatasan sumber sumber tertulis terkait sejarah masjid ini, sehingga sampai saat ini belum diketahui dengan pasti tentang tarikh pendirian masjid ini. Sebagian besar sumber sejarah masjid ini beserta sejarah Sunan Bonang di Lasem berupa kisah tutur yang disampaikan turun temurun dari generasi ke generasi.

Makam Mbah Jejeruk

Masjid Sunan Bonang di Desa Bonang ini dipercaya sebagai masjid pertama yang dibuat oleh Sunan Bonang setelah beliau mendapatkan kewaliannya. Dari sekian banyak murid murid beliau yang datang dari berbagai penjuru Nusantara, salah satunya adalah Sultan Machmud, Raja Minangkabau (di provinsi Sumatera Barat) belajar agama di masjid ini, sampai beliau wafat. Oleh masyarakat Bonang, Sultan Machmud dimakamkan di daerahnya. Sekarang, makam itu lebih dikenal dengan sebutan makam Mbah Jejeruk.

Masjid Keramat

Masjid Sunan Bonang di kecamatan Lasem ini sudah beberapa kali dipugar, namun demikian sisa-sisa kekeramatannya masih terlihat. Sumur yang ada di samping masjid, dikabarkan masih asli. Di dekat masjid itupun ada makam yang dipercaya sebagai makam Mbah Sarido, imam masjid tersebut beserta keluarganya.

Menurut cerita, keangkeran masjid ini dapat dirasakan oleh sejumlah penduduk, sehingga tidak ada yang berani berbuat seenaknya sendiri. Kabarnya, seorang jemaah masjid pernah tidur di dalam masjid ini. Namun, ketika ia bangun, ia sudah berada di dekat salah satu makam yang ada di samping masjid. Berdasarkan penuturan masyarakat, jemaah masjid ini bukan hanya kalangan manusia. Konon, banyak pula bangsa jin yang menjalankan ibadahnya di masjid Sunan Bonang. Agaknya, mereka pun ingin mendapatkan karomah dari masjid ini.

Masjid Sunan Bonang

Menurut keterangan juru kunci makam Sunan Bonang, masjid ini memiliki dua bagian. Serambi depan direhab dengan arsitektur modern, untuk menampung jumlah jama'ah. Sedangkan bagian utama tetap dibiarkan asli tanpa perubahan. Namun tetap dirawat secara teratur.

Mimbar di Teras Masjid

Di teras masjid Sunan Bonang di Lasem, terdapat sebuah mimbar berukuran cukup besar dari kayu jati dan berukir indah. Menurut cerita, mimbar ini merupakan sumbangan dari seorang donator dari kabupaten Jepara untuk menggantikan mimbar lama di masjid Sunan Bonang.

Namun (masih menurut cerita) meskipun telah di ukur sedemikan rupa pada saat pembuatannya, dan di ukur berulang kali pada saat akan ditempatkan di tempatnya, mimbar baru ini ternyata tidak bisa masuk ke lokasinya di samping mihrab di dalam Masjid Sunan Bonang, itu sebabnya hingga kini mimbar baru tersebut diletakkan di teras masjid.

Mengenal Sunan Bonang

Nama lengkap Sunan Bonang adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim beliau adalah putra dari Raden Rochmat (Sunan Ampel) dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati) putri dari Raden Arya Tedja, salah satu tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Raden Makdum Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465 M.

Raden Maulana Makdum Ibrahim sudah dikirim ayahnya untuk belajar ke Mesir sampai beliau berusia dewasa dan kembali ke tanah air. Beliau kemudian mengabdikan ilmunya di pondok pesantren yang dipimpin oleh ayahnya. Sampai kemudian beliau memulai memulai kehidupan baru dengan membuka hutan belantara Alas Kemuning yang kini dikenal dengan nama Desa Bonang.

Masjid Sunan Bonang

Di Alas Kemuning beliau membina pengajaran Islam kepada masyarakat setempat sampai kemudian nama beliau dikenal hingga ke berbagai daerah, santri berdatangan untuk berguru kepada beliau. Disebutkan juga bahwa beliau juga pernah belajara agama di kerajaan Samudera pasai di masa kejayaan Majapahit, itu sebabnya beliau juga dikenal sebagai tokoh yang mulai memasukkan pengaruh Islam di kalangan bangsawan Majapahit.

Raden Ibrahim Sunan Bonang menjadi Muballigh dan Imam di wilayah pesisir sebelah utara, mulai dari Lasem sampai Tuban. Disanalah Sunan Bonang mendirikan pondok-pondok sebagai tempat penggemblengan para santri dan muridnya. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau wafat, tetapi dalam riwayat lain menyebutkan bahwa R. Ibrahim Sunan Bonang menikah dengan Dewi Hirah putri dari R. Jaka Kandar serta mempunyai keturunan satu yang bernama Dewi Rukhil.

Dewi Rukhil menikah dengan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dari pernikahan Ja’far Shodiq dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R. Amir Khasan yang wafat di Karimunjawa dalam status jejaka. Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang wafat tahun 1525M, dalam usia kurang lebih 60 tahun, dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura.***

Baca Juga


Jumat, 17 Juni 2016

Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah

Perpaduan tradisional dan modern di Masjid Menara Kudus

Salah Satu Masjid Tertua di Indonesia

Masjid Menara Kudus sebenarnya bernama Masjid Al-Aqso, merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Bangunan aslinya masih bisa dijumpai hingga kini meski sudah mengalami perbaikan dan perluasan berkali kali sejak pertama kali dibangun sekitar tahun 1549 oleh Sunan Kudus, sekitar sepuluh tahun lebih dulu dari Masjid Mantingan Jepara (1559) yang dibangun oleh Sultan Hadiri, atau sekitar 70 tahun setelah Masjid Agung Demak (1479) yang dibangun pada masa Raden Fatah, atau kira kira sezaman dengan Masjid Kesultanan Banjar di Banjarmasin yang dibangun oleh Sultan Suriansyah (1526-1550).

Kudus Berasal dari kata Al-Quds

Menurut antropolog dari Universitas Udayana - Bali, mendiang Prof. Purbacaraka, nama kota Kudus berasal dari bahasa Arab, “Al-Quds” (kini Jerusalem - Ibukota Palestina). Sedangkan para sejarawan Islam percaya bahwa pelaut muslim arab-lah yang memberikan nama tersebut untuk mengenang tanah kelahiran mereka di Al-Quds – Palestina. Tak mengherankan bila kemudian masjid tua di kota kudus yang terkenal dengan menara berbentuk candi-nya itu pun kemudian diberi nama Masjid Al-Aqso, sebagaimana nama masjid suci ketiga Ummat Islam di kota Al-Quds.

Foto tua masjid Menara Kudus

Masjid Al Aqsa dan Menara Kudus merupakan tempat bersejarah peninggalan salah satu Walisongo, Ja’far Shodiq atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus yang makamnya terdapat di komplek itu. Tempat tersebut kini menjadi destinasi andalan wisata reliji kota Kudus, terutama bagi para peziarah, disamping makam Sunan Muria yang berada di kawasan wisata Colo, Kecamatan Dawe Kudus, pegunungan Muria. Nama Jafar Shodiq terukir pada batu di atas mihrab masjid ini. konon batu bertulis tersebut berasal dari Al-Quds (Baitul Maqdis) di Palestina.

Lokasi Masjid Menara Kudus

Masjid menara kudus berada di pusat kota Kudus. Secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Kauman Kulon kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah. Lingkungan yang mengelililingi masjid menara kudus ini berupa rumah rumah penduduk desa Kauman kulon yang sudah tidak jelas lagi batas batas yang memisahkan antara rumah penduduk dengan komplek masjid karena antara dinding komplek masjid dengan rumah penduduk telah menjadi satu.



Sebelumnya Adalah Candi ?

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Masjid ini sebenaranya bernama Masjid Al-Aqso sebagaimana tertulis di papan nama masjid yang diletakkan di gerbang utama masjid dengan aksara arab. Hanya saja masyarakat luas lebih mengenalnya sebagai Masjid Menara Kudus merujuk kepada bangunan menaranya yang unik itu. Pendapat umum dan cerita tutur yang beredar luas menyebutkan bahwa Masjid Menara Kudus sebelumnya adalah sebuah candi yang kemudian di konversi (di alih fungsi) menjadi sebuah masjid. Benarkah Masjid Menara Kudus ini merupakan konversi dari sebuah Candi ?, Apa nama candi itu sebelumnya ?. Menjadi menarik untuk sekedar bertanya.

Sudah di fahami secara umum bahwa metoda da’wah yang dijalankan para wali dalam menyebarkan Islam di Nusantara termasuk di tanah Jawa dengan melalui pendekatan budaya. Mereka tidak serta merta menentang atau menghapus budaya yang sudah berkembang di dalam masyarakat namun secara perlahan melakukan editing secara cermat dengan memasukkan ajaran Islam kedalam setiap pernik budaya yang sudah ada. Perubahan yang perlahan namun pasti mengubah wajah budaya menjadi sesuatu yang Islami.

KEBANGGAAN NASIONAL. Gambar Masjid Menara Kudus diabadikan di uang kertas pecahan lima ribu Rupiah.

Tidak hanya di masa para wali, di masa kini pun metoda yang memiliki kemiripan diterapkan oleh kaum muslimin minoritas yang tinggal di wilayah non muslim. Seperti contoh pada saat saudara saudara kita itu akan membangun masjid mereka tidak memaksakan diri untuk membangun masjid dengan bentuk masjid umumnya yang memiliki kubah dan menara serta kumandang azan dari menara. Misalnya saja Muslim di Estonia yang minoritas membangun masjid dengan bentuk yang serupa dengan gedung gedung bertingkat disekitarnya, dan sama sekali tidak seperti masjid yang biasa kita kenal yang memiliki kubah besar, simbol bulan sabit di ujung kubah dan menara serta kumandang azan berpengeras suara dari menara-nya. Tidak hanya di Estonia yang berada di Eropa sana, saudara saudara muslim di Tolikara pun membangun masjid mengikuti bentuk bangunan disekitarnya agar tidak terlalu mencolok demi toleransi.

Menilik hal hal yang demikian, bukan tidak mungkin toh, bila dulu Ja’far Shodiq dan kaum muslimin awal di Kudus membangun masjid dengan mengikuti bentuk / arsitektur tempat ibadah ummat mayoritas yang ada disana. Bukankah tata letak bangunannya pun sudah persis menghadap kiblat, termasuk tata letak bangunan menaranya. Bukankah sejarah mencatat bangunan yang awal sekali dibangun sudah mengalami beberapa kali perluasan, menunjukkan bahwa bangunan awalnya memang tidak terlalu besar, dan pembangunan masjid sudah barang tentu sesuai dengan kebutuhan jemaah nya, alias disesuaikan dengan jumlah jemaahnya. Wallohuwa’lam.

DA GAPURA DI DALAM MASJID. Ini salah satu keunikan yang ada di Masjid Menara Kudus, ada gapura / gerbang paduraksa di dalam masjid, tak ada di masjid lain.

Keunikan yang Menarik Perhatian

Ke-unikan arsitektural menjadi daya tarik utama masjid ini. Sejauh ini Masjid Menara Kudus merupakan satu satunya masjid dengan paduan arsitektural bangunan candi dengan bangunan masjid modern sebagaimana biasa dikenal. Telah difahami secara umum bahwa masjid ini sebelumnya memang merupakan bangunan candi yang kemudian di alih fungsi menjadi masjid seiring dengan telah muslim nya masyarakat disana. Menara setinggi 17 meter yang berada di sisi kiri gerbang utama masjid ini yang berbentuk bangunan candi dibangun dengan susunan bata merah tanpa semen, berdiri megah hingga kini dengan bentuk aslinya, dengan fungsi sebagai menara masjid lengkap dengan perangkat pengeras suara terpasang disana. Gaya arsitektur Menara masjid ini disebut sebut menyerupai candi-candi di Jawa Timur pada masa Majapahit dan juga memiliki kemiripan dengan Menara Kukul di Bali.

Menara ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, tubuh dan puncak. Kaki menara berbentuk bujur sangkar berukuran 6.3 meter. Sedangkan puncak menara berupa ruangan mirip pendopo berlantai papan. Di atas menara di beri atap tumpang bertingkat dua dari sirap. Menurut G.F. Pijpet dan A.J. Bernet Kemperes, menara masjid kudus ini mirip dengan menara Kul Kul di Bali dan pada awalnya bukanlah menara masjid melainan sebuah bangunan candi pada masa Hindu yang kemudian disesuaikan kegunaannya sebagai menara masjid ini. Beberapa peneliti lain seperti Soekmon, Syafwandi dan Parmono atmadi menghubungkan bentuk menara masjid Kudus dengan candi candi di Jawa Timur seperti candi jago dan candi singasari berkaitan dengan bentuk arsitektural dan ragam hiasnya.

Restorasi menara
Keunikan bangunan masjid ini tidak hanya pada menaranya. Beberapa bagian kuno dari bangunan masjid ini masih dapat ditemui dengan pola dan bahan bangunan yang sama, termasuk empat bangunan gapura (gerbang), terdiri dari dua gerbang berbentuk paduraksa dan dua gerbang berbentuk candi bentar. Gerbang gerbang tersebut tetap di konservasi keberadaan dan keasliannya meski kini sudah berada di dalam bangunan masjid. Bentuk dan keberadaannya yang tak biasa di dalam masjid membuat gerbang gerbang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.

Gerbang gerbang tersebut sejatinya merupakan pembatas antar halaman di komplek masjid ini. komplek masjid menara kudus ini terbagi menjadi sebelas halaman yang dibatasi dengan pagar dan gapura dari bata yang berbentuk candi bentar maupun padureksa. Fitur dari masa lalu yang tak kalah menarik yang masih bisa dijumpai, terdapat disebelah selatan masjid, ada kolam berwudhu kuno yang cukup unik, ada delapan pancuran dihiasi ukiran batu berbentuk kepala kala. Sekarang pancuran tersebut ditambah dengan keran untuk memudahkan Jemaah berwudhu.

Terhimpit. Masjid Menara Kudus dari udara terlihat terjepit diantara padatnya rumah penduduk di sekitarnya.

Pembangunan dan Perluasan Masjid Menara Kudus

Sejak dibangun oleh Ja’far Shodiq alias Sunan Kudus pada tahun 956 Hijriah atau 1549 M. Masjid menara kudus sudah beberapakali mengalami perbaikan dan perluasan. Pada awal tahun 1918 sampai ahir tahun 1919 telah diadakan pembongkaran dibeberapa bagian masjid. Tahun 1925 bagian depan masjid ditambah dengan serambi untuk menampung jemaah khususnya di hari Jum'at yang semakin membludak. Tahun 1933 serambi tersebut diperluas dengan serambi tambahan menyebabkan gapura kori agung atau gapura lawang kembar menjadi ternaungi atap serambi depan masjid. Di atas serambi itupun dibangun kubah. Perubahan terahir tahun 1960 saat terjadi pergantian mustaka.

Bagian yang masih asli di masjid ini berupa tembok sisi timur, sebagian tembok sisi utara dan selatan, gapura paduraksa, tembok luar mihrab, delapan buah pancuran tempat wudhu serta menara. Seperti  bangunan lainnya di komplek masjid ini, tembok timur masjid juga dibangun dari batu bata tanpa perekat. Pada tembok sisi timur ini terdapat empat buah gapura, dua buah gapua berbentuk candi bentar dan dua gapura berbentuk paduraksa.

Pintu menuju menara

Legenda Masjid Menara Kudus

Dikisahkan bahwa pada waktu Sunan Kudus berhaji beliau terserang penyakit kudis. karena penyakitnya itu beliau di hina dan disingkirkan dari pergaulan sehari hari, Sunan kudus pun membalas dengan kesaktiannya dan timbullah wabah penyakit yang menimpa negeri arab. Berbagai upaya dilakukan oleh pera pemuka negeri arab untuk mengatasi wabah tersebut namun tak membuahkan hasil. Ahirnya sunan kudus diminta mengatasi wabah tersebut. Atas jasanya para pemuka negeri arab tersebut memberikan berbagai hadiah menarik tapi sunan kudus menolaknya dan justru memilih batu yang kemudian digunakan untuk memperingati pendirian masjid menara kudus. Batu tersebut kini ada di mihrab masjid bertuliskan nama Sunan Kudus.

Banyu Panguripan

Masih menurut cerita tutur, dahulu dibawah bangunan menara terdapat dua buah sumber air. oleh penduduk sumber air itu disebut sumber banyu panguripan. Disebut demikian karena apabila seseorang meminum air itu maka orang itu akan hidup abadi. Sunan Kudus sangat khawatir jika khasiat air sumber panguripan itu disalahgunakan oleh orang orang berwatak jahat. 


Oleh karenanya sumber air itu ahirnya ditutup dan di atasnya didirikan bangunan menara. Dari legenda ini jelas disebutkan bahwa bangunan menara tersebut dibuat atas perintah atau setidaknya atas prakarsa Sunan Kudus. Bisa jadi legenda itu sebenarnya adalah potongan cerita dari proyek pembangunan Masjid di tempat itu yang kini dikenal sebagai Masjid Menara Kudus.

Tradisi Beduk Dhandhang

Ada kebiasaan unik Sunan Kudus dalam berdakwah dengan mengadakan beduk dhandhang yakni tradisi memukul beduk bertalu talu menjelang ramadhan untuk mengundang jemaah datang ke masjid. Setelah jamaah berkumpul, Sunan Kudus pun mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa. Beduk sendiri merupakan salah satu pernik tradisi Nusantara, sama halnya dengan kentongan atau pun digunakan berpadanan. Namun kemudian diserap menjadi salah satu tradisi Islam Nusantara.***

----------ooo000ooo----------

Artikel Masjid Masjid Tertua Di Nusantara Lainnya
Masjid Saka Tunggal