Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Februari 2022

Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya, Aceh

Masjid Agung Baitul Ghafur

Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya, atau biasa juga diebut dengan Masjid Agung Blangpidie merupakan masjid agung bagi kabupaten Aceh Barat Daya (Abya) yang berlokasi di Gampong Seunaloh, kecamatan Blangpidie, kabupaten Aceh Barat Daya, provinsi Aceh. Sejak diresmikan masjid ini telah menjadi salah satu destinasi Wisata Religi. 

Masjid milik Pemkab Abdya ini berdiri megah ditepi ruas jalan alternatif dari Kota Blangpidie menuju Guhang-Cot, Manee, Kecamatan Jeumpa, arah ke Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat. Lokasi masjid ini hanya terpaut sekita 150 meter dari Jembatan Jembatan Kreung Beukah yang menjadi penghubung dua sisi kota kecamatan Blangpidie di dua sisi sungai Krueng Beekah.
 
Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya
Seunaloh, Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh 23763   

Meski berstatus sebagai masjid agung kabupaten, masjid Agung Baitul Ghafur ini tidak berada di komplek kantor bupati Aceh Barat Daya, tempat nya berdiri terpisah sekitar 5km dari komplek kantor bupati yang berada disisi selatan Sungai Krueng Bekah sedangkan Masjid Agung ini berada di sisi utara sungai tersebut.
.
Fasilitas Masjid
 
Berdiri di atas lahan seluas 2,4 hektar, bangunan utama Masjid Agung Baitul Ghafur berukuran 60x80 meter, dibangun dua lantai, ruang sholat berada dilantai dua yang mampu menampung 45 shaf Jemaah atau sejumlah lebih kurang 4200 jemaah sekaligus.
 
Sedangkan lantai dasar masjid, sebagian difungsikan sebagai aula. Aula ini sebagai tempat aktivitas aktivitas Remaja Masjid Agung Baitul Ghafur. Selanjutnya masjid ini akan dilengkapi dengan penginapan para musafir diatas lahan yang masih tersedia dalam kompleks masjid.
 
Sebagian lantai dasar lainnya difungsikan menjadi Kantor Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah, Sekretariat UPTD Majid Agung, Baitul Mal dan Badan Kemakmuran Masjid (BKM), termasuk Kantor Bank ‘Gala’ Abdya.

Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Halaman masjid terhampar luas, permukaannya sudah dipasang batu granit. Halaman masjid ini juga terdapat air mancur yang dilengkapi dengan pencahayaan warna warni. Pancaran air warna-warni menjadi daya tarik pengunjung/jamaah untuk berlama-lama di halaman masjid.

Pembangunan Masjid Agung Baitul Ghafur
 
Masjid Agung Baitul Ghafur diresmikan oleh Bupati Akmal Ibrahim SH pada 11 Februari 2020, sekitar 10 tahun sejak pembangunannya dimulai tahun 2010. Waktu yang cukup panjang untuk membangun sebuah masjid agung.
.
Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 2010 dimasa pemerintahan pertama Bupati Akmal Ibrahim SH yang menjabat antara tahun 2010-2012, dengan membangun pondasi dan tiang masjid dan menelan adana sekitar 10 miliar Rupiah. Setelah itu pembangunan terhenti.
.
Pembangunannya dilanjutkan kembali setelah Akmal Ibrahim SH terpilih kembali  sebagai Bupati Abdya Masa Jabatan kedua tahun 2017-2022 yang kemudian mengalokasikan anggaran untuk lanjutan pembangunan masjid mencapai Rp 33 miliar. Sampai dengan tahun 2020 pembangunan masjid ini telah menghabiskan anggaran mencapai 48 miliar Rupiah.

Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Tahun 2021, Pemkab Abdya kembali mengalokasikan anggaran sekitar Rp 2 miliar untuk pemasangan pagar teralis dari besi pengamanan teras sekeliling lantai dua masjid serta pagar pengaman taman masjid.
.
Sedangkan ditahun 2022 alokasi anggaran Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya tahun 2022 akan diluncurkan sebesar  Rp 4 miliar, antara lain untuk membangun penginapan para musafir diatas lahan yang masih tersedia dalam kompleks masjid. Hingga total keseluruhan anggaran yang sudah dan akan dikucurkan untuk pembangunan masjid ini secara keseluruhan mencapai sekitar 54 miliar Rupiah.
.
Pengurus Masjid Agung Baitul Ghafur Abya
.
Susunan Pengurus Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya, terdiri Dewan Penasehat dengan Ketua Akmal Ibrahim SH (Bupati Abdya), beranggotakan seluruh anggota Forkopimkab Abdya.
 
Ketua Dewan Pembina adalah Drs Thamrin (Sekda Abdya) beranggotakan sembilan orang. Anggota dewan pembina terdiri dari unsure MPU, organisasi keagamaan, tokoh masyarakat dan BKM.

Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Dewan Imam, beranggotakan 16 orang dengan Imam Besar, Tgk Muhammad Dahlan (Ketua MPU Abdya), sebelumnya posisi imam besar dijabat alm Tgk H Abdurrahman Badar, yang berpulang bulan Februari 2021.
 
Dewan imam Masjid Agung Abdya dipilih dari para hafiz oleh tim seleksi yang khusus didatangkan dari Provinsi Aceh.
 
Pengelolaan MABG Abdya dipercayakan kepada Badan Kemakmuran Masjid (BKM) saat ini dipimpin, Salman Alfarisi ST.
 
Didampingi Wakil Ketua Bidang Idarah, Ikhwan Alian SAg, Wakil Ketua Bidang  Imarah, H Husani Haji SPd, Wakil Ketua Bidang Ri’ayah, Roni Guswandi SPi.
 
Sekretaris, Saleh Amin SPd, Wakil Sekretaris, Khairul Huda SHI, Bendahara, Faizin Lc, Kepala Bidang Umum dan Operasional, M Jamaluddin, Bagian Kebersihan, drh Hj Cut Hasnah Nur, Bagian Pemeliharaan, Agus Kaisaria, Bagian Keamanan, Muhammad Isa.
 
Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Kepala Bidang Humas dan Publikasi, Drs H Zainun Yusuf, Bagian Hubungan Antarmasjid, Tgk Safrijal Puri, Bagian Media dan Teknologi Informasi, Zulharman SKom.
 
Kepala Bidang Dakwah dan Peribatan, Tgk T Marzan MAg, Bagian Kajian dan Majelis Taklim, Ustad Roni Haldi Lc, Bagian Muallaf dan Konsultasi, Ustad Syahrurrazi SHI, Bagian Peribadatan, H Bustami, Bagian PHBI, Mawardi Yahya, Bagian Remaja Masjid, Nurda Alamsyah, SKel.
 
Kepala Bidang Usaha dan Perekonomian, Abdul Haris SIP, Bagian Jasa Penyewaan, Berry Primadona SE, Bagian Perparkiran, Hamzah, Bagian Pernikahan dan Nazar, Sanusi, Bagian Zakat, Infaq Sadakah dan  Waqaf, Mulyadi.
 
Kepala Bidang Pendidikan, Ustad Salman, Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak, Hanisah SPd, Sekolah Dasar, Putri Rahayu SPd, Sekolah Menengah Pertama, Ustad Riswan SHI, Taman Pendidikan Al-Quran  dan Pelatihan, Asmanita SPd.
 
Pengurus Remaja Masjid Agung Baitul Ghafur, masing-masing Ketua Umum, Nurda Alamsyah SKel, Wakil Ketua I, Agus Sarmadi SPd, Wakil Ketua II, Fikri Nurul Ramadhan, Sekretaris Umum,  Hari Safrizal ST, Wakil Sekretaris I, Novi Abdi Masrizal AMd, Wakil Sekretaris II, Yessy Ariska SPd.
 
Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Bendara Umum, Sofiyuna SSosI,Wakil Bendahara I, Rahma Nafisah dan Wakil Bendahara II, Yulizar. Kepengurusan remaja masjid
  dilengkapi sejumlah depantemen.
 
Menu Bukber Khas Abdya
 
Sebagaimana masjid masjid agung lainnya, selama bulan puasa masjid Agung Baitul Ghafur Adya ini juga menyediakan buka puasa bagi para musafir dan muslim setempat untuk berbuka puasa di masjid ini. Selain itu, masjid ini juga menyediakan makan sahur.
 
Untuk menu berbuka puasa atau takjil di masjid ini cukup unik dengan menyediakan kue kue dan minuman dari air tebu dilanjutkan dengan makanan nasi yang dikemas dalam kotak dengan menu khusus kuah beulagong, masakan khas Aceh.
 
Dan menariknya, menu kuah beulagong dengan bahan daging kambing, itik, ayam dan ikan segar dimasak langsung di kompleks masjid. Paket nasi dan satu kancah kuah beulagong disediakan Pemkab Abdya melalui Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah setempat.***
 
------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
------------------------------------------------------------------
 
Baca Juga
 

Minggu, 12 Agustus 2012

Masjid Rahmatullah Lampu’uk, Lhoknga, Aceh Besar

Bertahan dari terjangan tsunami 2004. Masjid Rahmatullah Lampu'uk, Lhoknga, Aceh Utara, Nangroe Aceh Darussalam. Salah satu masjid yang mampu berdiri kokoh sendirian diantara bangunan dan seluruh kawasan Lampu'uk yang rata dengan tanah oleh bencana tsunami Aceh dan kawasan Samudera Hindia 26 Desember 2004 silam. Pertama kali dibangun tahun 1990 dan direnovasi tahun 2004.

Memang terlalu sulit untuk membayangkan dan mengirangira bagaimana mungkin masjid satu ini bisa selamat dari terjangan dasyatnya tsunami yang menyapu daratan Aceh dan kawasan Samudera Hindia 26 Desember 2004 silam padahal lokasinya hanya terpaut sekitar 500 meter dari bibir pantai, sementara seluruh bangunan disekitarnya luluh lantak menyisakan puing puing berserakan. Lampu’uk dan seluruh kota Lhoknga rata dengan tanah, tak hanya meluluhlantakkan Lhoknga tanpa sisa, dahsyatnya tsunami itu telah merenggut ribuan jiwa penduduk Lhoknga dari awalnya lebih dari 6000 jiwa, paska tsunami tersisa hanya sekitar 700 jiwa saja. 250 ribu orang meninggal dunia dengan sekejap di seluruh Aceh dan Nias. Infrastruktur yang berada 3-4 km dari garis pantai hancur total dilanda tsunami yang datang dengan kecepatan mencapai 600 km/per jam itu.

Tak mengherankan bila kemudian para penulis, jurnalis, reporter, relawan hingga masyarakat dalam dan luar negeri menyebut masjid ini dan masjid masjid lainnya yang selamat dari tsunami Aceh sebagai masjid Ajaib. Siapapun yang melintas di daratan, lautan ataupun wilayah udara Lhoknga paska tsunami hanya dapat menyaksikan bangunan masjid ini sebagai satu satunya bangunan yang masih berdiri di hamparan puing puing kota Lhoknga yang terdiam dalam sunyi selama berbulan bulan sampai kemudian proses pemulihan kawasan tersebut dimulai dan denyut kehidupanpun kembali berdetak di kawasan itu.  Nyatanya nama masjid ini nyatanya tak sekedar nama tapi benar benar sebuah doa yang di ijabah sebagai masjid yang dirahmati Allah.

dulu dan sekarang ::: foto atas ketika tsunami menghajar Aceh, Masjid Rahmatullah menjadi satu satunya spot yang masih utuh berdiri meski seluruh kawasan disekitarnya tak bersisa dihantam gelombang tsunami. Foto bawah, kondisi saat ini di kawasan Lampu'uk di abadikan dari salah satu dari dua menara Masjid Rahmatullah.

Masjid Rahmatullah bukanlah satu satunya masjid yang masih berdiri sendirian diantara puing puing kehancuran tsunami Aceh, selain Masjid Rahmatullah ada sekitar 25 masjid lainnya di seantero Aceh yang mengalami keajaiban serupa termasuk diantaranya adalah Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja Banda Aceh, Masjid Baiturrahim di Ulee Lheue, Masjid Raya Teuku Cik Maharaja Ghurah di Peukan Bada, Masjid dekat makam Syah Kuala, Masjid di Ujung Karang, Meulaboh, dan beberapa masjid lain di sejumlah tempat di Nangroe Aceh Darussalam.

Alamat dan Lokasi Masjid Rahmatullah

Mesjid Rahmatullah Lampu’uk
Jalan Banda Aceh – Meulaboh, Desa Lhonga km 2.1
Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam - Indonesia



Catatan Sejarah Masjid Rahmatullah Lampu’uk

Bila berkunjung ke Masjid Rahmatullah kita akan menemukan tiga prasati pembangunan sekaligus yang menorehkan sejarah masjid Rahmatullah sejak pertama kali dibangun hingga kemudian mengalami proses renovasi besar besaran paska tsunami oleh Bulan Sabit Merah Turki yang tidak saja melakukan renovasi masjid ini tetapi juga membangun kota baru di sekitar Masjid Rahmatullah lengkap dengan fasilitas pendukungnya bagi penduduk Lhoknga yang selamat. Kawasan baru tersebut dinamai dengan “perkampungan Bulan Sabit Merah Turki - Turkish Red Crescent Village”

Sebagaimana dijelaskan dalam prasasti pertama bahwa Masjid Rahmatullah Lampu’uk pertama kali dibangun pada tahun 1990M (1410H), ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan masjid oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar, Drs. H. Sanusi Wahab, pada tanggal 21 Sya'ban 1410H bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1990.

Empat prasasti peringatan pembangunan masjid Rahmatullah.

Proses pembangunan masjid selesai dilaksanakan dan diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, Prof. DR. H. Syamsuddin Mahmud Pada tanggal 10 Jumadil Awal 1818H bertepatan dengan tanggal 12 September 1997M. sebagaimana dijelaskan dalam prasasti kedua.

Prasasti ketiga dibuat dalam tiga bahasa yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Turki, menjelaskan pembangunan masjid ini paska tsunami 2004. Teks lengkapnya berbunyi sebagai berikut :

“Pekerjaan perbaikan mesjid Rahmatullah yang rusak akibat gempa dan tsunami pembangunan dua unit menara dan pagar keliling oleh Bulan Sabit Merah Turki”

“Rahmatullah Caminin Tsunamide hasar gormus kisimlari, minateleti ve cevre duvarlari Turkiye Kizilay Dernegi Tarafindan Yapilmistir”

“The parts damaged by tsunami, the minarets and the sorounding walls of Rahmatullah Mosque mosque were constructed by Turkish Red Crescent Society”

2004 - 2012 ::: foto atas adalah kondisi masjid Rahmatullah setelah dihantam tsunami 26 Desember 2004, sedangkan foto bawah adalah kondisi masjid Rahmatullah saat ini, selain seluruh bangunan sudah direnovasi total oleh Bulan Sabit Merah Turki, tapi kini jugda dilengkapi dengan dua menara. menara kembar seperti ini merupakan arsitektur khas Turki meski bentuknya sudah disingkronisasi dengan bentuk bangunan induk.

Sedangkan prasasti ke empat menjelaskan perjalanan singkat sejarah masjid Rahmatullah dalam Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

“Meuseujid Rahmatullah Lampu'uk geupeudong bak uroe 19 Maret 1990. Bak waree tsunami 26 Desember 2004, cit meung Mesuseujid nyoe sagai bangonan nyang seulamat di dairah Lampu'uk.”

“Masjid ini pertama kali dibuka untuk umum pada 19 Maret 1990. Ketika tsunami 26 Desember 2004 terjadi mesjid ini merupakan satu satunya bangunan yang tetap berdiri dari daerah Lampu'uk.”

“This Mosque was first opened to the publik in 19 March 1990. at the time of tsunami on 26 December 2004, this mosque was the only building left standing in the Lampu'uk area.”

Lampu'uk dulu dan kini ::: 8 Tahun Paska tsunami kini Lampu'uk sudah kembali normal, kawasan yang hancur dan benar benar terkikis habis di Lampu'uk seperti foto atas kini berdiri Perkampungan Bulan Sabit Merah Turki.

Bantuan dan Jejak Turki di Tanah Rencong, Serambi Mekah

Pemerintah Turki melalui Bulan Sabit Merah Turki memberikan dukungan luar biasa bagi pemulihan Aceh paska tsunami. Hubungan sejarah yang begitu erat di masa lalu memang membangkitkan semangat persaudaraan sesama muslim di Turki untuk memberikan segala bantuan yang diperlukan bagi muslim Aceh Korban tsunami. Hari Selasa 26 Desember 2006, dua tahun paska bencana tsunami Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Ali Sahin datang langsung ke Lampu’uk mewakili pemerintah dan rakyat Turki untuk meresmikan berbagai fasilitas yang dibangun oleh Bulan Sabit Merah Turki di Aceh dalam sebuah acara yang dipusatkan di halaman Masjid Rahmatullah Lampu’uk.

Berbagai pejabat negara datang ke tempat acara yang dipusatkan di halaman Masjid Rahmatullah Lhok Nga itu. Termasuk (ketika itu masih calon gubernur NAD) Muhammad Nazar yang hadir duduk membaur diantara para tamu sampai kemudian panitia menyadari kehadirannya dan meminta beliau duduk bersama para tamu kehormatan di acara tersebut. Termasuk juga Irawadi Yusuf (pasangan M. Nazar dalam Pilkada Aceh Pertama).

Rangkaian sejarah Masjid Rahmatullah sejak tsunami, renovasi dan penambahan dua menara  hingga ke bentuknya saat ini lengkap dengan gerbang bertuliskan nama masjid dalam 3 bahasa, Bahasa Indonesia, Turki dan Inggris.

Dua tahun paska tsunami memang bukan waktu yang lama. Tapi perubahan dratis kini 'me 'menyulap' Serambi Makkah termasuk desa Lampu’uk di Lhoknga. Kawasan Lhoknga yang dahulu rata dengan tanah, pun mulai hidup kembali. Jalanan sudah teraspal rapi. Masjid Rahmatullah megah berdiri setelah direnovasi. 1.052 rumah dengan tipe 45 yang dibangun dengan biaya Rp 92 juta per unit, fasilitas umum, dan empat gedung sekolah. serta perbaikan pemakaman prajurit Turki di kampung Bitai, dan sebuah masjid di dirikan di depannya. Pemakaman tersebut merupakan komplek pemakaman prajurit Turki yang dikirim ke Aceh untuk membela Aceh dari serbuan Kolonial Portugis empat ratus tahun silam.

Kedahsyatan bencana tsunami Aceh, menurut Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Ali Sahin, langsung mengusik rakyat Turki dengan segera membuka rekening dompet bencana `Asia Menangis'. Hasilnya, lebih dari dua juta warga negara yang mayoritas Muslim di daratan Eropa itu, terketuk hatinya. Sebesar 260 juta dolar AS kemudian disumbangkan ke Aceh. Empat ratus tahun silam Turki pernah mengirimkan bantuan untuk mengusir penjajah Portugis dari Aceh. Sultan Selim dari Mesir memberangkatkan 15 kapal perang ke Aceh. Bahkan sebagian dari prajurit Turki itu kemudian menjadi warga Aceh dan dimakamkan di Kampung Bitai, Sebagai bukti dari hangatnya hubungan Aceh-Turki.

Gerbang Masjid Rahmatullah ::: Rahmatullah Camii ::: Rahmatullah Mosque

Dari cerita orang kampung, jasad yang dimakamkan itu adalah para ahli meriam dan strategi perang. Salah satu murid asuhannya adalah Laksamana Malahayati. Tentara Turki ini yang mengajari Aceh bagaimana membangun sebuah angkatan laut yang baik. 'Jasa mereka memang besar. Bahkan, sebelum bencana ada dua meriam peninggalan mereka yang dipajang di depan kompleks makam, namun ikut hilang dibawa tsunami. Pakar sejarah Islam Universitas Indonesia, Dr Muhammad Zafar Iqbal, menyatakan beberapa ratus tahun lalu 300 orang prajurit Turki didatangkan ke Aceh. 'Sultan Al Kohar yang berkuasa di Aceh memang meminta bantuan Sultan Turki untuk melawan Portugis.

Masjid Rahmatullah Kini

Hampir 6 bulan, kesan kehancuran masih tampak kental di kawasan ini. Hanya sekitar 700 orang yang selamat dari enam ribu lebih penduduknya yang terdiri dari kebanyakannya pekerja PT Semen Andalas Indonesia (SAI) Lampu’uk, guru, doktor, petani dan nelayan. Sebelum tsunami Lampu’uk mempunyai pantai yang indah sehingga merupakan salah satu tempat rekreasi bagi masyarakat Banda Aceh dan daerah sekitarnya. Paska tsunami seluruh kawasan rata dengan tanah, termasuk pabrik PT. SAI. Sedimen pasir dan tanah telah menutup kawasan itu berpuluh puluh sentimeter dari permukaan aslinya.

Salah satu sudut Masjid Rahmatullah

Meski masih berdiri kokoh sebagai satu satunya bangunan yang tersisa di Lampu’uk dan Lhoknga, Masjid Rahmatullah memang tidak benar benar utuh dari terjangan tsunami tersebut, kerusakan cukup parah menerpa beberapa bagian masjid ini. setelah mengalami proses renovasi total dan penambahan berbagai fasilitas penunjang masjid Rahmatullah kini kembali pulih dan siap melayani muslim Lampu’uk dan muslim manapun yang sedang melawat ke masjid ini. satu sudut ruang dalam masjid sengaja dibiarkan tak diperbaiki dari kerusakan sebagai pengingat bencana kemanusiaan itu. Sekeliling area tersebut dipagar kaca tembus pandang lengkap dengan berbagai koleksi foto foto bencana tsunami. Dan selembar tulisan berbahasa Turki, Indonesia dan Inggris “Tsunami Yi Unitma - Jangan Lupakan Tsunami – Don’t Forget Tsunami”.

Kawasan Pantai Lampu’uk telah populer sejak tahun 90-an. Tiap akhir pekan atau pada masa liburan, pantai ini selalu padat dikunjungi wisatawan. Sekitar lokasi pantai merupakan tempat hunian bagi ribuan warga yang lengkap dengan fasilitas pemukiman kelas menengah atas.  Tahun 2012 ini, delapan tahun sejak terjadinya tsunami, Pantai Lampu’uk telah berbenah. Berbagai fasilitas pelengkap seperti banana boat dan cottage telah tersedia seiring makin banyaknya wisatawan yang berkunjung. Masjid Rahmatullah yang populer karena keutuhan bangunannya setelah diterjang tsunami akhirnya juga menjadi salah satu tujuan wisata orang-orang yang berkunjung ke Pantai Lampu’uk.

Salah satu sudut interior Masjid Rahmatullah ini dengan sengaja tidak direnovasi  sebagai pengingat bagi peristiwa besar yang mengguncang Aceh tersebut.
Pemandangan kawasan Lampu'uk dari menara masjid Rahmatullah, pandangan jauh hingga ke garis langit. Disebelah kiri foto adalah Perkampungan Bulan Sabit Merah Turki untuk masyarakat Lampu'uk
Khas Aceh ::: Kubah dan fasad masjid Rahmatullah ini serupa dengan kubah dan fasad masjid masjid lainnya di Aceh, seperti juga pada Masjid Raya Baiturrahman, kutaraja - Banda Aceh.
Interior Masjid Rahmatullah, lampu'uk
Mimbar dan Mihrab Masjid Rahmatullah, Lampu'uk
Masjid Rahmatullah Lampu'uk ini dibangun dengan kubah lebih dari satu menghasilkan suasana interior yang lega berikut ventilasi cahaya alami di jendela jendela kecil di bawah kubahnya.
------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
------------------------------------------------------------------

Sabtu, 25 Desember 2010

Masjid Jami' Indrapuri, Aceh

Masjid Jami’ Indrapuri pada mulanya merupakan sebuah bangunan candi yang dibangun pada abad ke 12 Miladiyah dan diperkirakan dialih fungsi menjadi masjid pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).  

Masjid Jami’ Indrapuri, Masjid tua yang diduga dibangun di atas bekas sebuah candi, ketika masyarakat di sekitar daerah tersebut sudah memeluk agama Islam. Masjid tua yang masih dijaga dengan baik hingga kini dan masih berfungsi dan dimanfaatkan oleh kaum muslimin di Indrapuri. Selain menjadi kebanggaan muslim Indrapuri, masjid tua ini juga suda menjadi bangunan tua yang dilindungi Undang undang.

Kini masjid Jami’ Indrapuri selalu ramai oleh jemaah. Di bulan suci Ramadhan masjid ini senantiasa masuk dalam agenda tujuan safari Ramadhan para petinggi kabupaten maupun provinsi, yang ingin bersilaturrahmi dengan warga nya. Kendatipun ukurannya relatif kecil serta letaknya tidaklah di ibukota kabupaten apalagi ibukota provinsi.

Lokasi Masjid Jami’ Indrapuri

Masjid Indrapuri berada di berlokasi di poros jalan Banda Aceh-Medan, masuk ke dalam Desa Indrapuri pasar, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Tak sulit menjangkau Masjid Indrapuri. Dari Banda Aceh, Anda bisa menyewa mobil travel menuju masjid yang atapnya berseng hijau.

Masjid Jami' Indrapuri
Desa Indra Puri, Kecamatan Indrapuri
Kabupaten Aceh Besar, Aceh 23373
Koordinat : 5°24'55"N   95°26'47"E


Sejarah Masjid Jami’ Indrapuri

Masjid Jami’ Indrapuri pada mulanya merupakan sebuah bangunan candi yang dibangun pada abad ke 12M di kerajaan Indrapuri. Jauh sebelum berdirinya Kesultanan Aceh darussalam di abad ke 15M.  Sultan pertama Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah dinobatkan sebagai Sultan pada   hari Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Pengaruh Kesultanan Aceh menyebar di pulau Sumatera hingga ke wilayah semenanjung Malaya.

Manakala Islam kemudian masuk ke wilayah Indrapuri dan kemudian mengubah peradaban disana ke peradaban Islam, fungsi candi Indrapuri pun kemudian berubah menjadi sebuah masjid. Konon perubahan itu terjadi semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam tahun 1607M hingga 1636M.  Sultan Iskandar Muda juga lah yang kemudian membangun masjid Indrapuri menggantikan Candi di lokasi tersebut.

Masjid Jami Indrapuri, dibangun dibekas sebuah kuil di dalam benteng yang kokoh.

Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Aceh, Dahlia, bahwa masjid berkonstruksi kayu ini didirikan di atas reruntuhan bangunan benteng yang diperkirakan bekas peninggalan Hindu yang pernah dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan di masa pendudukan Portugis dan Belanda. Setelah Islam masuk dan berkembang pesat di Aceh, benteng yang semua tempat peribadatan Hindu, dindingnya dihancurkan dan digantikan dengan masjid. Begitu juga dengan ornamen asli penghias bangunan dalam, ditutup plester mengingat ajaran Islam melarang adanya penggambaran makhluk bernyawa. Hal senada tentang sejarah Masjid ini juga disampaikan oelh Rektor UIN Lampung, Prof Dr Musa Said dalam ceramah tarawihnya di masjid ini di bulan Ramadhan (agustus) 2009 yang lalu.

Kenyataan tersebut membantah pendapat yang mengatakan bahwa masjid Jami’ Indrapuri lebih tua dari Masjid Agung Demak, mengingat bahwa Sultan pertama Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah baru dinobatkan sebagai Sultan tahun 1507. Kemudian Sultan Iskandar Muda sendiri berkuasa di Kesultanan Aceh tahun tahun 1607M hingga 1636M. Jauh lebih muda dari usia Masjid Agung Demak yang berdiri tahun 1477. Lain halnya bila ternyata bahwa masjid Jami’ Indrapuri ini dibangun di masa kekuasaan Samudera Pasai (1267-1521) yang merupakan kerajaan Islam Pertama di Indonesia.

Sultan Muhammad Daud Syah

Memang agak sulit menentukan tahun berdirinya Masjid Indrapuri ini dengan pasti, karena ketiadaan catatan tahun pendirian masjid yang dijumpai di lokasi tersebut dalam bentuk prasasti ataupun plakat pendirian sebagaimana kita jumpai di beberapa masjid masjid tua tanah air.

Peristiwa penting terakhir yang berlangsung di Masjid Jami’ Indrapuri adalah pelantikan Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh ke 35 pada tahun 1874. pelantikan itu juga menjadikan Indrapuri sebagai ibukota Kesultanan Aceh, Namun hal itu tak berlangsung lama karena Sultan Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Aceh terahir setelah beliau ditangkap oleh Belanda tanggal 10 Januari 1903 kemudian diasingkan ke Ambon lalu dipindahkan ke Batavia sampai wafatnya pada tanggal  6 Februari 1939.

Dari sudut ini terlihat jelas 4 tembok benteng yang mengelilingi Masjid Indrapuri

Sekilas Kerajaan Indrapuri

Menurut penuturan Imam besar Masjid Jami’ Indrapuri, Tengku Imam Syafi’i (65thn) kepada waspada medan, Indrapuri adalah kerajaan yang didirikan oleh ummat Hindu di Aceh. Kerajaan ini berawal dari adik perempuan Putra Harsha dari India yang suaminya terbunuh dalam peperangan yang dilancarkan oleh bangsa Huna pada tahun 604 M lalu melarikan diri dari kerajaannya ke Aceh. Sesampainya di Aceh, adik perempuan Putra Harsha ini mendirikan kerajaan yang diduga dan besar kemungkinan adalah Indrapuri sekarang.

Hal ini didasari fakta bahwa di dekat Indrapuri terdapat perkampungan orang Hindu, yaitu di Kampung Tanoh Abei. Di sini juga banyak dijumpai kuburan orang Hindu. Selain mendirikan kerajaan, ummat Hindu kala itu juga mendirikan Candi diberi nama Indrapuri, yang artinya Kuta Ratu. Selain itu, ia juga mendirikan Kerajaan Indrapatra di Ladong, disekitar Pelabuhan Malahayati. 

Struktur Masjid Indrapuri seluruhnya dari kayu beratap seng. Tidak ada dinding selain tembok benteng yang mengelilinginya.

Bekas Candi masih terlihat pada tapak sekeliling Masjid. Menurut Prof. H. Ali Hasjmy (alm), diperkirakan keseluruhan tapak/bekas Candi tersebut hampir sama besarnya dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Profesor Ali Hasjmy menambahkan, bila bangunan ini digali diperkirakan patung-patung Hindu banyak terdapat di dalamnya. Bahkan menurut Yunus Djamil, dalam bukunya Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh menyebutkan, Indrapuri merupakan bagian Kerajaan Hindu Indrapurwa, termasuk Indrapatra dan Indrapurwa.

Arsitektur Masjid Indrapuri

Masjid Tua Indrapuri menempati areal tanah seluas 33.875 meter, Masjid berkonstruksi kayu didirikan di atas reruntuhan bangunan berkonstruksi batu berspesi kapur dan tanah liat yang pernah difungsikan sebagai benteng pertahanan pada saat pendudukan Portugis dan Belanda di Aceh.

Interior Masjid Jami Indrapuri dominasi bahan kayu menghasilkan pemandangan klasik khas Nusantara yang sangat kental.

Dinding benteng yang juga berfungsi sebagai pondasi masjid berdenah persegi empat, berdiri di atas tanah seluas 4.447 meter. Bangunan ini berundak empat dan pada setiap undakannya memiliki dinding keliling sekaligus jadi pembatas halaman. Kaki dan puncak dinding benteng dilengkapi oyif, yaitu bidang sisi genta.

Masjid Kuno Indrapuri berdenah bujursangkar berukuran 18,80 m x 18,80 m dengan tinggi bangunan 11,65 m. Bangunan ini dikelilingi oleh tembok undakan keempat setinggi 1,48 m. Pintu masuk terletak di sebelah timur, dan untuk mencapainya harus melalui pelataran yang merupakan halaman luar masjid. Di atas halaman kedua terdapat bak penampungan air hujan, yang juga berfungsi untuk mensucikan diri.

Tembok benteng yang berlapis dilihat dari atas, menghasilkan teras teras di sekeliling bangunan masjid.

Bentuk masjid ini merupakan perpaduan mesjid dan benteng. Pagar tembok tebal dan tinggi mengelilingi masjid. Hanya ada satu jalan masuk menuju masjid, yaitu jalan depan. Melewati tembok pertama, merupakan tempat parkir, tempat wudhu’ dan sekretariat remaja mesjid. Dari lokasi sini, masjid hanya nampak sedikit karena terhalang tembok kedua yang agak tinggi.

Menaiki tangga menuju ke tembok kedua, di sana ada sebuah bangunan kecil yang dibawahnya ada kolam air tempat mencuci kaki, sebelum masuk ke masjid, jemaah masjid memasukkan kakinya terlebih dahulu ke dalam kolam itu sehingga masuk ke dalam mesjid dalam keadaan benar benar bersih. Luas halaman dalam pagar kedua ini sekitar 10 meter mengelilingin mesjid. Tembok tebal sekitar 1 meter mengelilingi masjid. Hanya ada satu jalan masuk, yaitu di hadapan kolam tadi.

Mihrab dan mimbar di Masjid Indrapuri

Tembok ketiga masih belum masuk ke dalam masjid, tapi berupa halaman 4 meter yang mengelilingi mesjid. Halaman ini, sama dengan tembok kedua tadi juga dibatasi dengan tembok lainnya. Dan, diseberang tembok tersebut berdiri mesjid bersejarah Masjid Jami’ Indrapuri.

Kayu-kayu besar kekar menompang atap mesjid, Atap masjid ini terdiri dari Atap limas bersusun tiga., menggunakan seng sebagai penutup. Secara keseluruhan Masjid Jami’ Indrapuri di topang oleh 36 tiang kayu, masing masing 6 tiang dalam 6 jejeran. Jarak antar tiang kira kira dua shaf shalat. Tidak ada dinding, yang ada adalah tembok setinggi 1 ½ m yang mengelilingi masjid. Tembok yang tidak langsung menempel di kayu sebelah luar mesjid. Mesjid benar-benar sebagai sebuah bangun tersendiri di atas lantai yang tidak memiliki dinding.

Benteng dan masjid Indrapuri sebagai peninggalan sejarah

Mimbar masjid ini berupa tangga setiggi tiga anak tangga, dilengkapi dengan mimbar dari papan berbentuk setengah lingkaran. Sebagaimana masjid masjid tua di Indonesia, masjid Jami’ Indrapuri juga tidak memiliki menara. Pengeras suara masjid diletakkan di bawah atap limas paling atas, pengeras suara yang lebih kecil dipasang di dalam masjid. Ada enam kipas angin besar yang tersebar di dalam mesjid dan satu kipas angin kecil di tiang dekat imam. Sebuah jam klasik tergantung di tiang depan dekat mimbar. Di sudut kanan depan ada beberapa lemari, tempat inventaris masjid. Sebuah papan bertuliskan kaligarfi tergantung di depan mihrab.

Arsittektur masjid yang terbuka ini menjadikan suasananya terasa dekat dengan alam saat berada di masjid tua itu. Selain itu karena masjid ini dibangun diketinggian membuat angin semilir menusuk dari setiap sudut masjid plus tingkahan sedikit riak sungai Krueng Inong yang tak jauh dari lokasi masjid.

Upaya Pelestarian

Kini untuk menyelamatkan dan melestarikan peninggalan sejarah dan purbakala, Pemkab Aceh Besar sejak beberapa tahun lalu sudah memasang papan pengumuman dan imbauan di areal komplek bangunan Masjid Lama Indrapuri berbunyi: ‘Dilarang merusak mengambil atau memindahkan. Dilarang mengubah bentuk dan memisahkan keadaan atau kesatuan benda cagar budaya yang berada di dalam situs dan lingkungannya (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1992). Barang siapa yang melanggar larangan ini akan dikenakan sanksi pidana (Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1992).

Foto foto Masjid Jami’ Indrapuri

Walaupun ukuran masjid ini tidak terlalu besar, namun memiliki pelataran yang cukup luas untuk menampung jemaah yang tak tertampung di dalam masjid.
Tembok Benteng Masjid Indrapuri sempat menjadi benteng pertahanan pasukan Aceh melawan Portugis dan Belanda
Diantara pohon kelapa