Tampilkan postingan dengan label Masjid di Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Aceh. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Februari 2022

Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya, Aceh

Masjid Agung Baitul Ghafur

Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya, atau biasa juga diebut dengan Masjid Agung Blangpidie merupakan masjid agung bagi kabupaten Aceh Barat Daya (Abya) yang berlokasi di Gampong Seunaloh, kecamatan Blangpidie, kabupaten Aceh Barat Daya, provinsi Aceh. Sejak diresmikan masjid ini telah menjadi salah satu destinasi Wisata Religi. 

Masjid milik Pemkab Abdya ini berdiri megah ditepi ruas jalan alternatif dari Kota Blangpidie menuju Guhang-Cot, Manee, Kecamatan Jeumpa, arah ke Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat. Lokasi masjid ini hanya terpaut sekita 150 meter dari Jembatan Jembatan Kreung Beukah yang menjadi penghubung dua sisi kota kecamatan Blangpidie di dua sisi sungai Krueng Beekah.
 
Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya
Seunaloh, Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh 23763   

Meski berstatus sebagai masjid agung kabupaten, masjid Agung Baitul Ghafur ini tidak berada di komplek kantor bupati Aceh Barat Daya, tempat nya berdiri terpisah sekitar 5km dari komplek kantor bupati yang berada disisi selatan Sungai Krueng Bekah sedangkan Masjid Agung ini berada di sisi utara sungai tersebut.
.
Fasilitas Masjid
 
Berdiri di atas lahan seluas 2,4 hektar, bangunan utama Masjid Agung Baitul Ghafur berukuran 60x80 meter, dibangun dua lantai, ruang sholat berada dilantai dua yang mampu menampung 45 shaf Jemaah atau sejumlah lebih kurang 4200 jemaah sekaligus.
 
Sedangkan lantai dasar masjid, sebagian difungsikan sebagai aula. Aula ini sebagai tempat aktivitas aktivitas Remaja Masjid Agung Baitul Ghafur. Selanjutnya masjid ini akan dilengkapi dengan penginapan para musafir diatas lahan yang masih tersedia dalam kompleks masjid.
 
Sebagian lantai dasar lainnya difungsikan menjadi Kantor Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah, Sekretariat UPTD Majid Agung, Baitul Mal dan Badan Kemakmuran Masjid (BKM), termasuk Kantor Bank ‘Gala’ Abdya.

Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Halaman masjid terhampar luas, permukaannya sudah dipasang batu granit. Halaman masjid ini juga terdapat air mancur yang dilengkapi dengan pencahayaan warna warni. Pancaran air warna-warni menjadi daya tarik pengunjung/jamaah untuk berlama-lama di halaman masjid.

Pembangunan Masjid Agung Baitul Ghafur
 
Masjid Agung Baitul Ghafur diresmikan oleh Bupati Akmal Ibrahim SH pada 11 Februari 2020, sekitar 10 tahun sejak pembangunannya dimulai tahun 2010. Waktu yang cukup panjang untuk membangun sebuah masjid agung.
.
Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 2010 dimasa pemerintahan pertama Bupati Akmal Ibrahim SH yang menjabat antara tahun 2010-2012, dengan membangun pondasi dan tiang masjid dan menelan adana sekitar 10 miliar Rupiah. Setelah itu pembangunan terhenti.
.
Pembangunannya dilanjutkan kembali setelah Akmal Ibrahim SH terpilih kembali  sebagai Bupati Abdya Masa Jabatan kedua tahun 2017-2022 yang kemudian mengalokasikan anggaran untuk lanjutan pembangunan masjid mencapai Rp 33 miliar. Sampai dengan tahun 2020 pembangunan masjid ini telah menghabiskan anggaran mencapai 48 miliar Rupiah.

Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Tahun 2021, Pemkab Abdya kembali mengalokasikan anggaran sekitar Rp 2 miliar untuk pemasangan pagar teralis dari besi pengamanan teras sekeliling lantai dua masjid serta pagar pengaman taman masjid.
.
Sedangkan ditahun 2022 alokasi anggaran Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya tahun 2022 akan diluncurkan sebesar  Rp 4 miliar, antara lain untuk membangun penginapan para musafir diatas lahan yang masih tersedia dalam kompleks masjid. Hingga total keseluruhan anggaran yang sudah dan akan dikucurkan untuk pembangunan masjid ini secara keseluruhan mencapai sekitar 54 miliar Rupiah.
.
Pengurus Masjid Agung Baitul Ghafur Abya
.
Susunan Pengurus Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya, terdiri Dewan Penasehat dengan Ketua Akmal Ibrahim SH (Bupati Abdya), beranggotakan seluruh anggota Forkopimkab Abdya.
 
Ketua Dewan Pembina adalah Drs Thamrin (Sekda Abdya) beranggotakan sembilan orang. Anggota dewan pembina terdiri dari unsure MPU, organisasi keagamaan, tokoh masyarakat dan BKM.

Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Dewan Imam, beranggotakan 16 orang dengan Imam Besar, Tgk Muhammad Dahlan (Ketua MPU Abdya), sebelumnya posisi imam besar dijabat alm Tgk H Abdurrahman Badar, yang berpulang bulan Februari 2021.
 
Dewan imam Masjid Agung Abdya dipilih dari para hafiz oleh tim seleksi yang khusus didatangkan dari Provinsi Aceh.
 
Pengelolaan MABG Abdya dipercayakan kepada Badan Kemakmuran Masjid (BKM) saat ini dipimpin, Salman Alfarisi ST.
 
Didampingi Wakil Ketua Bidang Idarah, Ikhwan Alian SAg, Wakil Ketua Bidang  Imarah, H Husani Haji SPd, Wakil Ketua Bidang Ri’ayah, Roni Guswandi SPi.
 
Sekretaris, Saleh Amin SPd, Wakil Sekretaris, Khairul Huda SHI, Bendahara, Faizin Lc, Kepala Bidang Umum dan Operasional, M Jamaluddin, Bagian Kebersihan, drh Hj Cut Hasnah Nur, Bagian Pemeliharaan, Agus Kaisaria, Bagian Keamanan, Muhammad Isa.
 
Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Kepala Bidang Humas dan Publikasi, Drs H Zainun Yusuf, Bagian Hubungan Antarmasjid, Tgk Safrijal Puri, Bagian Media dan Teknologi Informasi, Zulharman SKom.
 
Kepala Bidang Dakwah dan Peribatan, Tgk T Marzan MAg, Bagian Kajian dan Majelis Taklim, Ustad Roni Haldi Lc, Bagian Muallaf dan Konsultasi, Ustad Syahrurrazi SHI, Bagian Peribadatan, H Bustami, Bagian PHBI, Mawardi Yahya, Bagian Remaja Masjid, Nurda Alamsyah, SKel.
 
Kepala Bidang Usaha dan Perekonomian, Abdul Haris SIP, Bagian Jasa Penyewaan, Berry Primadona SE, Bagian Perparkiran, Hamzah, Bagian Pernikahan dan Nazar, Sanusi, Bagian Zakat, Infaq Sadakah dan  Waqaf, Mulyadi.
 
Kepala Bidang Pendidikan, Ustad Salman, Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak, Hanisah SPd, Sekolah Dasar, Putri Rahayu SPd, Sekolah Menengah Pertama, Ustad Riswan SHI, Taman Pendidikan Al-Quran  dan Pelatihan, Asmanita SPd.
 
Pengurus Remaja Masjid Agung Baitul Ghafur, masing-masing Ketua Umum, Nurda Alamsyah SKel, Wakil Ketua I, Agus Sarmadi SPd, Wakil Ketua II, Fikri Nurul Ramadhan, Sekretaris Umum,  Hari Safrizal ST, Wakil Sekretaris I, Novi Abdi Masrizal AMd, Wakil Sekretaris II, Yessy Ariska SPd.
 
Masjid Agung Baitul Ghafur Abya.

Bendara Umum, Sofiyuna SSosI,Wakil Bendahara I, Rahma Nafisah dan Wakil Bendahara II, Yulizar. Kepengurusan remaja masjid
  dilengkapi sejumlah depantemen.
 
Menu Bukber Khas Abdya
 
Sebagaimana masjid masjid agung lainnya, selama bulan puasa masjid Agung Baitul Ghafur Adya ini juga menyediakan buka puasa bagi para musafir dan muslim setempat untuk berbuka puasa di masjid ini. Selain itu, masjid ini juga menyediakan makan sahur.
 
Untuk menu berbuka puasa atau takjil di masjid ini cukup unik dengan menyediakan kue kue dan minuman dari air tebu dilanjutkan dengan makanan nasi yang dikemas dalam kotak dengan menu khusus kuah beulagong, masakan khas Aceh.
 
Dan menariknya, menu kuah beulagong dengan bahan daging kambing, itik, ayam dan ikan segar dimasak langsung di kompleks masjid. Paket nasi dan satu kancah kuah beulagong disediakan Pemkab Abdya melalui Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah setempat.***
 
------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
------------------------------------------------------------------
 
Baca Juga
 

Minggu, 26 Februari 2017

Mesjid Besar Bujang Salim Krueng Geukuh, Aceh Utara

Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh benar benar menorehkan bentuknya di Masjid Besar Bujang Salim di Krueng Gekeuh, ibukota kabupaten Aceh Utara ini.

Masjid Besar Bujang Salim merupakan masjid pertama yang dibangun dikawasan yang kini dikenal dengan kecamatan Dewantara, kabupaten Aceh Utara. Pembangunan masjid ini diprakarsai dan dibangun di atas tanah seorang bangsawan kerajaan Nisam, Teuku Rhi Bujang alias Teuku Bujang Slamat bin Rhi Mahmud yang kemudian dikenal dengan nama Bujang Salim. Semasa hidupnya beliau juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, dan nama masjid ini merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada beliau.

Masjid Besar Bujang Salim ini seringkali disebut sebagai kembarannya Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja Banda Aceh karena kemiripan diantara keduanya. Namun demikian kedua masjid ini tidaklah benar benar serupa meski memang pembangunan masjid Bujang Salim ini meniru gaya masjid Raya Baiturrahman. Sekilas pandang kedua masjid ini memanglah tampak serupa. Namun demikian, bila Masjid Raya Baiturrahman memiliki tujuh buah kubah, Masjid Besar Bujang Salim ini hanya memiliki lima kubah saja.

Masjid Budjang Salim
Jl. Ramai Keude Krueng Geukueh
Ds. Beringin Dua, Kec. Dewantara, Kab. Aceh Utara
Provinsi Aceh, Indonesia


Masjid Percontohan Nasional 2016

Masjid Besar Bujang Salim meraih penghargaan sebagai juara satu lomba masjid percontohan kategori Ri’ayah (pembangunan/pemeliharaan) tingkat nasional tahun 2016 yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) RI. Pada awal 2016, Masjid Besar Bujang Salim terpilih menjadi masjid besar percontohan di Aceh, menjadikannya sebagai wakil provinsi Aceh untuk mengikuti lomba masjid tingkat nasional yang diadakan Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Proses penilaian diawali dengan verifikasi oleh tim Kemenag RI pada September 2016. Tim yang turun langsung ke lokasi masjid ini, menilai idarah (manajemen), imarah (kemakmurah/peribadatan), dan ri’ayah. Aspek penilaian bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga sarana dan kegiatan di masjid. Hasil verifikasi lapangan ini diperiksa kembali dalam sidang yang melibatkan Dewan Majelis Indonesia (DMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), panitia lomba, serta organisasi masyarakat Islam.

Pada 13 Desember 2016, Kabid Imarah Bujang Salim Tgk M Katsir Syamsyuddin memenuhi undangan panitia untuk mempresentasikan profil masjid tersebut di hadapan para guru besar dari berbagai universitas dan unsur lainnya, yang menjadi dewan juri, di Lumire Hotel Pasar Senen, Jakarta Pusat. Setelah melewati proses panjang dan perbandingan dengan masjid-masjid lain dari seluruh Indonesia, dewan juri sepakat menetapkan Masjid Besar Bujang Salim sebagai juara satu masjid percontohan untuk kategori Ri’ayah (pembangunan/pemeliharaan). Sementara juara kedua diraih oleh Masjid Asmaul Husna Banten dan juara tiga Masjid Baitul Makmur, Kepulauan Riau.

Fitur interior Masjid Besar Bujang Salim

Tropi dan piagam penghargaan yang diteken Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, diserahkan Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, Prof Dr Muhammadiyah Amin. Tropi itu diterima Ketua Badan Kesejahteraan Masjid Besar Bujang Salim Tgk Jalaluddin Ibrahim, didampingi Tgk M Katsir Syamsyuddin dan Kasi Kemasjidan Kantor Wilayah Kemenag Aceh Rizal Mulyadi MA, di Lumire Hotel, Jakarta. Selain tiga masjid tersebut, juga diberikan piagam penghargaan kepada 9 masjid lain di Indonesia dalam kategori percontohan iradah, imarah, dan paripurna.

Sejarah Masjid Bujang Salim

Masjid Bujang Salim dibangun pada tahun 1921 dengan semangat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kala itu, belum ada masjid di kawasan yang kini masuk wilayah Kecamatan Dewantara, sehingga masyarakat setempat harus melaksanakan shalat jamaah di rumah masing-masing atau di meunasah dengan kondisi yang terbatas. Kondisi ini mendapat perhatian serius dari bangsawan kerajaan Nisam Teuku Rhi Bujang alias T Bujang Slamat bin Rhi Mahmud. Pria pemberani yang kerap menentang kolonial Belanda ini merupakan pahlawan perintis kemerdekaan RI yang berasal dari Nisam.

Teuku Bujang Slamat memprakarsai pembangunan masjid, di atas tanahnya yang berada pusat Keude Krueng Geukueh dengan ukuran 20 x 15 meter. Namun, sebelum dapat meletakkan batu pertama pendirian masjid tersebut, tahun 1921 Teuku Bujang diasingkan ke Papua, karena menentang Kolonial Belanda. Bahkan, untuk menghilangkan pengaruhnya dari negeri ini, Bujang Slamat diasingkan hingga ke Australia. Kendati demikian, pembangunan masjid yang digagasnya terus dilanjutkan oleh masyarakat setempat.

Jemaah sholat jum'at di dalam Masjid Besar Bujang Salim

Pembangunan masjid ini dilanjutkan Uleebalang asal Dewantara, Ampon Hanafiah. Hingga kemudian berhasil dibangun masjid sederhana dengan ukuran 20x15 meter. Dalam perjalanannya, masyarakat setempat sepakat menambalkan nama Teuku Bujang Slamat menjadi nama masjid Jamik tersebut, yaitu dengan nama Bujang Salim.

Tahun 1980 dibawah pimpinan tokoh masyarakat, Tgk H A Gani masjid ini diperluas dari ukuran 20 x 15 meter menjadi 40 x 30 meter. Tahun 1990 statusnya menjadi Masjid Besar Bujang Salim, karena selain karena masjid pertama yang didirikan di Dewantara juga karena lokasinya berada di pusat kecamatan serta sudah banyak masjid jami lainnya di sekitar kawasan tersebut.

Perluasan masjid tersebut kembali dimulai pada 1996 atas usulan masyarakat yang dipimpin Camat Dewantara kala itu, Drs H Marzuki M Amin. Masjid yang sebelumnya berukuran 40 x 30 meter menjadi 60 x 30 m. Perluasan juga dilakukan untuk pekarangan masjid, dari ukuran 50 x 30 meter menjadi 95 x 80 meter dan pembangunan menara, Taksiran dana yang digunakan untuk membangun masjid itu sudah mencapai Rp 12 miliar.

Mimbar dan Mihrab Masjid Besar Bujang Salim

Aktivitas Masjid Besar Bujang Salim

Masjid Besar Bujang Salim tidak saja memiliki ukuran yang besar namun juga memiliki keindahan tersendiri baik ekterior maupun interiornya. Masjid Bujang Salim memiliki luas 1650 meter persegi dan mampu menampung hingga 2500 jemaah sekaligus. Pembangunannya di danai oleh masyarakat muslim setempat serta bantuan dari beberapa perusahaan seperti PT AAF, PT PIM, PT Arun, Pemda Aceh Utara, dan Pemerintah Aceh.

Tak hanya salat lima waktu dan salat Jumat, Masjid Bujang Besar Salim juga digunakan untuk pengajian rutin saban malam yang diasuh sejumlah ulama. Kecuali Senin malam dan Jumat malam karena pada Senin malam pengurus masjid masjid ini mengikuti pengajian di Abu Paloh Gadeng (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Utara, pimpinan dayah di Paloh Gadeng). Di masjid ini, ada pula majelis taklim dari kelompok pemuda, pengajian kaum ibu, dan pengajian anak-anak. Selain dari semua itu, masjid Besar Bujang Salim ini juga memiliki aula dan Stasiun Radio sendiri.

Genset di masjid ini memiliki cerita unik tersendiri. Adalah Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf atau Mualem, dalam satu kesempatan ber i’tikaf dalam masjid tersebut seusai Magrib, tiba-tiba listrik padam. Dan sebulan kemudian di awal tahun 2013 beliau memberikan bantuan generator set (genset) otomatis berukuran besar untuk masjid Besar Bujang Salim.

Teuku Bujang bin Teuku Rhi Mahmud (1891-1959) Pahlawan Pergerakan Kemerdekaan asal Aceh yang belum menjadi Pahlawan Nasional.

Siapakah Bujang Salim ?

Bujang Salim (1891-1959) atau Teuku Rhi Bujang Selamat atau Bujang Salim Bin Rhi Mahmud dikenal sebagai salah seorang Pahlawan Perintis Pergerakan Kebangsaan / Kemerdekaan). Beliau dilahirkan pada tahun 1891 di Nisam, Kecamatan Keude Amplah, Kabupaten Aceh Utara. Putra Uleebalang Nanggroe Nisam.

Pada tahun 1912 beliau menyelesaikan kelas 5 (lima) Kweekschool dan Osvia di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan kemudian kembali ke Aceh. Tahun 1913 menjabat sebagai Zelfbsrtuurdier Nanggroe Nisam, namun pada tanggal 8 Februari 1920 beliau dipecat dan dibuang ke Mearuke (Papua) akibat dari aktifitasnya di bidang politik dan keagamaan, yang mengundang kekhawatiran pihak penjajah Belanda.

Selama di sana, Bujang Salim juga melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan yang merupakan suatu kegiatan bertentangan dengan kebijakan Belanda ketika itu dan lagi lagi beliau dibuang ke Tanah Merah (Digul) pada 5 April 1935. Semasa penjajahan Jepang, pada 11 Mei 1942, Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan, kemudian dikembalikan lagi ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia kembali dibawa pulang ke Tanah Merah. Pertengahan tahun 1943, atas anjuran Van Der Plas pemerintahan interniran Belanda, mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Tiba di Mackay, Australia, 5 Juni 1943.

Masjid Besar Bujang Salim. 

Akhir tahun 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke masing-masing tempat asal. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan rombongan eks buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu dan tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946. Ia dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.

Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda pada 31 Juli 1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng gunung Slamet (Jawa Tengah) selama enam bulan.

Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan (Sumatera Utara), tiba 20 April 1948. Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh, yang saat itu merupakan bagian dari Nanggroe Nisam. Bujang Salim meninggal dunia pada Rabu, 14 Januari 1959 dan dikebumikan di Krueng Geukuh, di dekat Masjid Besar Bujang Salim yang beliau prakarsai pembangunannya. Selama hidup, beliau dikaruniai 8 (delapan) orang putra dan putri.***

Minggu, 11 Desember 2016

Masjid Agung At-Taqwa Kutacane Aceh Tenggara

Masjid megah seperti masjid masjid Eropa. Masjid Agung At-Taqwa Kutacane menjadi landmark baru bagi kabupaten Aceh Tenggara.

Kutacane adalah ibukota kabupaten Aceh Tenggara di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Wilayah Aceh Tenggara berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Secara geografis, Kabupaten Aceh Tenggara di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues, di sebelah timur dengan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Provinsi Sumatera Utara, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Selatan.

Di Kutacane sejak tahun 1956-1962 sudah berdiri sebuah Masjid Agung At-Taqwa yang berada di komplek pelajar Babussalam di pusat kota Kutacane yang dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat muslim disana. Kini masjid tersebut sudah bermetamarfosis menjadi sebuah masjid agung modern dengan rancangan yang sangat apik menghadirkan sebuah masjid bergaya Eropa dengan sentuhan seni islami Aceh yang sangat kental.

Lokasinya yang strategis di tengah-tengah kota dan terlihat jelas jika memasuki Ibu Kota Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara apalagi di lihat dari dataran tinggi di pegunungan Mbarung dan puncak Gunung Pokhkisen (TNGL) di ketinggian 2828 mdpl. Pada waktu malam hari masjid agung At-Taqwa terlihat lebih indah dan memukau dengan tata cahaya nya yang memang diatur dengan baik sejak proses perencanaannya.

Masjid Agung At-Taqwa Kutacane
Jl Cut Nyak Dhien, Kute Kutacane Kecamatan Babussalam,
Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh 24651.
Indonesia



Masjid Agung At-Taqwa sudah berdiri sejak masa pemerintahan yang pada saat itu daerah Tanah Alas dan Gayo Lues masih merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Tengah. Untuk wilayah Tanah Alas dan Gayo Luwes ditunjuk seorang Kepala Perwakilan Kabupaten Aceh Tengah yang dijabat oleh Letkol Syahadat selama sebelas tahun.

Pembangunan Masjid Agung At-Taqwa hampir bersamaan dengan pembangunan Komplek Pelajar Babussalam tahun 1956-1962. Pembangunan tersebut dipimpin oleh Letkol Syahadat (patih) sebagai Kepala Perwakilan Kabupaten Aceh Tengah bersama Mayor Amin Komandan Sektor VII (Kodim) kemudian komplek pelajar Babussalam tersebut di resmikan oleh Gubernur Kepala Daerah (KDH) Istimewa Aceh Ali Hasjmy pada tanggal 9 Juli 1962. Prasasti peresmiannya terdapat di tugu Kampung Pelajar Babussalam.

METAMORFOSIS Masjid Agung At-Taqwa Kutacane. Gambar 1 adalah foto Masjid Jami di Kutacane pada masa penjajahan Belanda, Gambar 2 : Masjid Agung At-Taqwa pada masa Letkol Syuhada, gambar 3 : Masjid Agung At-Taqwa Kutacane pada masa Bupati T. Johan Syahbudin SH, Gambar 4 : Masjid Agung At-Taqwa Kutacane saat ini.

Jauh sebelum pembangunan Masjid Agung At-Taqwa di masa Letkol Syahadat, dalam rekaman sejarah koleksi Topen Museum Belanda, wilayah Aceh Tenggara telah memiliki Masjid ber-arsitektur masjid khas Nusantara dengan atap limas bertingkat. Perubahan arsitektur masjid ini dari masa ke masa cukup signifikan hingga ke bentuknya saat ini, namun bila mencermati bentuk terahir masjid ini sebelum di bangun ke bentuknya saat ini ada beberapa kemiripan meskipun sedikit.

Pada saat dibangun dimasa pemerintahan Letkol Syahadat sekitar tahun 1956-1962, berupa Masjid sederhana yang dibangun di atas tanah yang tidak begitu luas dan dari dahulu berdekatan dengan Lapangan Jenderal Ahmad Yani, karena lokasi masjid tersebut adalah tempat yang strategis di tengah-tengah kota, pusat pemerintahan dan perekonomian daerah dan pusat perdagangan.

Kabupaten Aceh Tenggara dibentuk pada tahun 1974 berdasarkan Undang Undang nomor 4/1974 dengan pusat pemerintahan di Kutacane. Peresmian Kabupaten Aceh Tenggara dilakukan oleh menteri dalam negeri, Amir Machmud pada tanggal 26 Juni 1974. Pada hari itu juga Gubernur Daerah Istimewa Aceh A. Muzakkir Walad melantik Syahadat sebagai Pejabat Bupati Kabupaten Aceh Tenggara. Pada tanggal 24 Juli 1975 Syahadat secara definitif diangkat sebagai Bupati Aceh Tenggara yang pertama. Pembangunan infrastruktur penunjang sebagai daerah Otonomi Baru pun dilaksanakan di berbagai sector termasuk pembangunan Masjid Agung At-Taqwa Kutacane sebagai Masjid Agung Kabupaten Aceh Tenggara.

Aerial View Masjid Agung At-Taqwa Kutacane 

Bupati Aceh Tenggara T. Johan Syahbudin SH. melakukan perluasan dan membangun Masjid tersebut. Berbagai sumber danapun di galang guna untuk membangun masjid At-Taqwa, salah satunya bantuan dari presiden Soeharto, pada tanggal 31 Maret 1985 melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono, SH, menyerahkan bantuan Presiden untuk pembangunan Masjid Agung At-Taqwa di Kutacane, Aceh Tenggara. Bantuan sebesar Rp 250 juta itu diterima oleh Bupati Aceh Tenggara, T. Johan Syahbudin, SH. (Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 307-308).

Masjid Agung Attaqwa saat ini

Pada bulan Oktober tahun 2009 dimasa pemerintahan Bupati H. Hasanuddin B, Masjid Agung At-Taqwa mulai dibangun ulang di atas lahan seluas 1,5 hekar, lokasinya kini sudah berada di pusat perkantoran Kabupaten Aceh Tenggara. Peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan oleh Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Pembangunan masjid ini menelan dana sebesar Rp 72 miliar, dari berbagai sumber dana termasuk dari sumbangan Gubernur Aceh sebesar Rp 10 miliar, APBK Rp 7,5 miliar, sumbangan dari pengusaha Abu Rizal Bakhrie Rp 500 juta, pengusaha Lukman CM Rp 200 Juta, bantuan dari dana aspirasi anggota DPRA Rp 465 Juta dan sumbangan masyarakat Rp 56 Juta.

Masjid Agung At-Taqwa Kutacane diresmikan pada hari Jum’at tanggal 8 April 2016 oleh Sekretaris Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Dermawan bersama DPR RI, Ade Komaruddin, Bupati Aceh Tenggara, Ir. H. Hasanuddin dan dihadiri ribuan tamu undangan dari berbagai daerah di Aceh. Peresmian ditandai dengan pemukulan beduk dan penandatangan prasasti.

Interior Masjid Agung At-Taqwa Kutacane

Dalam sambutannya Sekda Aceh berharap agar Masjid Agung tersebut dapat memacu perkembangan ilmu pengetahuan, dakwah dan syiar Islam di Aceh Tenggara. Sementara itu, Ketua DPR RI, Ade Komaruddin mengatakan, Mesjid yang begitu megah ini merupakan wujud dari kerja keras pemerintah di Aceh dan warga Aceh Tenggara yang telah bersama-sama menyumbang dalam pembangunan masjid tersebut.  Setelah peresmian, masjid tersebut sepenuhnya dikelola oleh sebuah UPTD dari Dinas Syariat Pemerintah Aceh Tenggara yang secara  khusus bertugas untuk pemeliharaan bangunan tersebut.

Arsitektur Masjid Agung At-Taqwa

Gaya Eropa rasa Aceh, sepertinya kalimat yang tepat untuk menyebut arsitektur Masjid Agung At-Taqwa Kutacane ini. Bangunan masjid tinggi besar dan megah dengan kubah besar di atapnya merupakan ciri dari masjid masjid dinasti Usmaniyah Turki yang berpusat di Istambul. Rancangan geometris kotak kotak seperti rancangan pada Menara dan kisi kisi jendela merupakan ciri khas bangunan bertema minimalis.

Bentuk kisi kisi pada jendela masjid ini mengingatkan pada bentuk yang sama dengan bangunan masjid sebelumnya. beberapa bentuk dasar bangunan masjid ini memang terasa memiliki kesamaan dengan bangunan sebelumnya. Denah bangunan masjid dibuat simetris dengan empat bentuk beranda di ke empat sisinya yang masing masing beranda di lengkapi dengan satu kubah lebih kecil di bagian atapnya, sehingga secara keseluruhan menampilkan bangunan masjid megah dengan multi kubah di bagian atap dan empat Menara di ke empat penjuru bangunan masjid.

Peresmian Masjid Agung At-Taqwa Kutacane oleh Sekda Provinsi Aceh, Dermawa

Sentuhan Aceh sangat terasa dari ornamen hias yang ditempatkan sebagai garis horizontal pada dinding luar bagian atas masjid, rasa Aceh juga terdapat pada ragam hias kaca patri jendela dan ragam hias interiornya. Penggunaan warna gelap pada bagian dinding luar membuat warna emas pada kubah kubah masjid ini tampak begitu menonjol begitupun dengan putihnya kisi kisi jendela pada bangunan utama dan pada bagian bawah kubah kubahnya.

Interior masjid dikerjakan dengan cukup detil dan teliti menyajikan ragam kaligrafi bewarna emas di tembok dinding bagian dalam pada serta beragam ornamen lainnya yang turut memperindah tampilan interior masjid ini. tema minimalis moderen mendominasi interior masjid ini dengan penggunaan warna warna natural, bukaan jendela jendela kaca yang begitu banyak di sisi bawah kubah dan jendela jendela besar dan tinggi hampir di sekeliling bangunan memberikan pencahayaan alami ke dalam ruangan.

Masjid Agung At-Taqwa memiliki luas bangunan 2.675 m, berdiri di atas area seluas 14.118 meter persegi (1,5 hektare) dengan kapasitas mencapai 4.000 jamaah, menjadikan masjid ini sebagai masjid terbesar dan termegah di kabupaten Aceh Tenggara. Masjid ini juga dirancang tahan gempa dan diperkirakan mampu bertahan secara alami hingga 300 tahun dan tahan terhadap gempa berkekuatan hingga 9,0 Skala Richter.***


Kamis, 16 Agustus 2012

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh, Aceh Barat

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam 

Masjid Termegah di Pantai Barat Aceh

Meulaboh merupakan kota kelahiran pahlawan nasional Teuku Umar Johan Pahlawan, di kota ini kini berdiri megah Masjid Agung Baitul Makmur yang merupakan salah satu masjid terbesar dan termegah di pantai barat Nangroe Aceh Darussalam. Masjid yang sangat menonjol dengan perpaduan arsitektur Timur Tengah, Asia, dan Aceh ini dibalut dengan warna cokelat cerah dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid. Masjid Agung Baitul Makmur diresmikan tanggal 1 Juni 1999 dengan daya tampung mencapai 7000 jemaah sekaligus, dan terus mengalami penyempurnaan dan perluasan hingga mencapai bentuknya seperti saat ini.

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh ini sempat menjadi titik berkumpul warga Meulaboh saat terjadi peristiwa gempa dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004 lalu dan juga menjadi dropping point bahan makanan dan bantuan kemanusian dari udara melalui helikopter yang mendarat di halaman masjid Baitul Makmur. Masjid Agung Baitul Makmur ini disebut sebut sebagai salah satu dari 100 masjid terindah di Indonesia dalam buku yang disusun oleh Teddy Tjokrosaputro & Aryananda terbitan PT Andalan Media, Agustus 2011.

Lokasi dan Alamat Masjid Baitur Makmur

Masjid Agung Baitur Makmur
Jl.Imam Bonjol No. 100 Desa Seuneubok
Kecamatan Johan Pahlawan, Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam - Indonesia


Letak Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh ini sangat strategis karena berada di persimpangan yang membelah beberapa kabupaten. Bagian timur masjid terletak di persimpangan Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, masing-masing menuju Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Aceh Selatan atau Singkil. Di sebelah barat terdapat persimpangan Aceh Jaya menuju Banda Aceh, sementara di bagian selatan diapit Lautan Hindia dengan pelabuhan kota Meulaboh menuju Kabupaten Simeulu.

Sejarah singkat Kota Meulaboh

Meulaboh adalah ibu kota Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Berada sekitar 175 km sebelah tenggara Kota Banda Aceh. Meulaboh adalah kota kelahiran Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan. Meulaboh merupakan kota terbesar di pesisir barat Aceh dan salah satu area terparah akibat bencana tsunami yang dipicu oleh gempa bumi Samudra Hindia 26 Desember 2004.

7 Januari 2005 di Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh ::: Sebuah Helikopter HH-60H Seahawk dari skuadron helikopter anti kapal selam “Golden Falcons” (HS-2), mengirimkan bantuan kepada masyarakat Meulaboh di halaman Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh paska bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004. Helikopter ini merupakan bagian dari Carrier Air Wing Two (CVW-2) kapal induk USS Abraham Lincoln (CVN 72) yang ditugaskan dalam misi kemanusiaan di Aceh. Kapal induk ini lego jangkar di Samudera Hindia lepas pantai perairan Indonesia dan Thailand. Foto ini sendiri direkam oleh anggota AL Amerika yang sedang bertugas dalam misi tersebut.

Meulaboh dahulu dikenal sebagai Negeri Pasi Karam, nama yang kemungkinan ada kaitannya dengan peristiwa terjadinya tsunami di Kota Meulaboh pada masa lalu, dan terulang pada tanggal 26 Desember 2004 lalu. Meulaboh sudah ada sejak 4 abad di masa kekuasaan Sultan Sultan Saidil Mukamil (1588-1604) naik tahta di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Mulai dibuka perkebunan merica, di Meulaboh tapi belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk memuat kemenyan dan kapur barus. Dimasa pemerintahan Sultan Djamalul Alam perkebunan merica diperluas dan  untuk mengelola kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar.

Meulaboh didirikan oleh tiga orang Datuk yang kemudian menghadap Sultan Aceh, Mahmudsyah (1830-1839) untuk memperkenalkan diri dengan membawa satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang (hulubalang) Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

rancangan Timur Tengah di Meulaboh ::: kubah masjid dengan warna nya yang cerah serta bentuknya itu mengingatkan kita pada bangunan bangunan di dongeng 1001 malam yang bertebaran di seantero kota Bagdad, nuansa Timur Tengah memang sangat kental di masjid ini.

Secara berturut turut kemudian Sultan Aceh menempatkan wakilnya di Meulaboh atas permintaan para Hulubalang di Meulaboh, mulai dari masa pemerintahan Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) yang menempatkan Wazir Teuku Tjiek Lila Perkasa, sebagai wakil Sultan penerima upeti. Menyusul kemudian ditempatkan Penghulu Sidik Lila Digahara menjadi penghulu Meulaboh pertama untuk mengurusi perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Dan terahir ditempatkan Teuku Tjut Din seorang ulama besar bergelar Almuktasim-billah sebagai Kadhi kesultanan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh kemudian masuk dalam Federasi Kaway XVI, sebuah fedrasi yang dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am, yang diketuai oleh Ulee Balang Ujong Kalak.

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh dirancang dengan multi dome, dengan bentuk kubah yang serupa dan seirama. dua menara tingginya itu dibangun belakangan.  

Silsilah Raja Meulaboh

Raja-raja yang pernah bertahta di kehulu-balangan Kaway XVI hanya dapat dilacak dari T. Tjik Pho Rahman, lalu digantikan anaknya yang bernama T.Tjik Masaid, hingga ke hulubalang terahir-nya, T.Tjiek Ali Akbar yang dibunuh oleh pasukan Jepang bersama dengan Teuku Ben, Keujreun Polem. Jenazah kedua tokoh Meulaboh tersebut baru ditemukan tahun 1978 di bekas Tangsi Belanda (sekarang menjadi Asrama tentara Desa Suak Indrapuri). Setelah itu Meulaboh diperintah para Wedana dan para Bupati sebelum kemudian pecah menjadi kabupaten Aceh Selatan, Simeulue, Nagan Raya, dan Aceh Jaya.

Arsitekrural Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh

Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasatmata adalah tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua kubah sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia. Masjid juga dilengkapi dua menara baru di sisi mihrab. Masjid Agung Baitul Makmur juga dilengkapi dengan gerbang masjid yang berdiri sendiri dengan jarak beberapa meter dari masjid.

Bangunan Gerbang utama masjid khas Asia Tengah digunakan di Masjid Agung Baitul Makmur ini menghadirkan keindahan tembahan untuk keseluruhan masjid Baitul Makmur, sementara rancangan lengkungan khas Andalusia mendominasi interior masjid. Sentuhan budaya Aceh dapat dirasakan pada seni ukir dan detil ornamen interior masjid ini.

Di dalam masjid terlihat dua konsep ruang yang berbeda. Pertama, pengunjung disambut oleh ruangan yang memiliki banyak tiang penyangga lantai dua. Di bagian tengah terdapat ruang lapang yang terasa sangat lega dengan ornamen lampu hias menggantung di tengah ruangan. Inspirasi gaya Timur Tengah terlihat dari bentuk mihrab yang didominasi warna cokelat dan nuansa keemasan khas material perunggu dengan ornamen khas Islam.

Selain sebagai tempat ibadah, masjid memiliki fungsi pendidikan, lengkap dengan Madrasah Tsanawiyah, Ibtidaiyyah, Dinniyyah, TK Al-Quran. Masjid Agung Baitul Makmur diresmikan tanggal 1 Juni 1999 dengan daya tampung mencapai 7000 jemaah sekaligus. Bangunan Masjid Agung Baitul Makmur ini seluas 3500 meter persegi di atas lahan seluas 6000 meter persegi. Proses rancang bangun-nya ditangani oleh arsitek Ir. Alwin dan Profesor Dr. H. Idris.***

Selasa, 14 Agustus 2012

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh

Masjid Agung Lampriet, Banda Aceh.

Nangroe Aceh Darussalam, propinsi bergelar Serambi Mekah ini memang memiliki sejumlah masjid masjid indah, syarat sejarah bahkan beberapa diantaranya digelari sebagai masjid ajaib karena mampu selamat dari terjangan bencana tsunami yang teramat dasyat di penghujung tahun 2004 yang lalu. Beberapa diantaranya sudah di ulas dalam posting posting terdahulu termasuk Masjid Raya Baiturrahman BandaAceh, Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, dan Masjid Rahmatullah Lampu’uk diLhoknga. Namun dari sekian banyak masjid yang tetap kokoh berdiri tersebut, Masjid Agung Lampriet merupakan salah satu masjid yang mengalami kerusakan parah akibat gempa dan tsunami 26 Desember 2004 tersebut.

Masjid Agung Lampriet awal mulanya sudah dibangun secara bertahap sedikit demi sedikit oleh masyarakat muslim setempat sejak tahun 1979 dengan nama Masjid Baitul Makmur dengan status sebagai Masjid Agung bagi kota Banda Aceh. Ketika gempa disusul oleh gelombang tsunami menghantam Aceh, Nias dan kawasan Samudera Hindia lainnya, mengakibatkan kerusakan parah pada bangunan masjid ini. Pemerintah Kesultanan Oman yang kemudian memberikan dana bantuan untuk membangun kembali masjid tersebut sebagai sebuah masjid Agung nan megah berarsitektur Timur Tengah seperti yang kita kenal saat ini.

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh diwaktu malam dari sudut yang sama dengan foto pertama.

Proses pembangunannya dimulai tahun 2006 dan diresmikan tahun 2008. Sempat mengemuka untuk menamakan masjid agung ini dengan nama Masjid Agung Al-Makmur Sultan Kabus, diambil dari nama Sultan Qaboos, Sultan Oman. Namun justru Sultan Oman yang kemudian mengatakan bahwa beliau tulus ikhlas lillahita’ala membantu muslim Aceh dan tidak perlu menyangkutpautkan bantuan tersebut dengan namanya. Sekedar catatan, nama Sultan Qaboos sudah di abadikan sebagai nama Masjid Nasional Oman dengan nama Masjid Agung Sultan Qaboos Muscat. Kini Masjid Agung bagi kota Banda Aceh ini lebih dikenal dengan nama Masjid Oman Al-Makmur.

Lokasi dan Alamat Masjid Al-Makmur Lampriet

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet
Jl. Taman Ratu Syafaruddin / Muhammad Daud Beureuh
Lampriet, Banda Aceh 24452
Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet berada di pertigaan jalan Jl. Taman Ratu Syafaruddin / Muhammad Daud Beureuh, berseberangan dengan taman Ratu Safiatuddin di kota Banda Aceh. Dari kejauhan masjid ini sudah terlihat kemegahannya. Aroma Timur Tengah memang sangat kental pada bangunan masjid satu ini. lengkap dengan kubah besar dan menara kembar-nya. Keseluruhan proses rancangan, pembangunan dan pendanaannya ditangani langsung oleh pemerintah Oman.



Sejarah Masjid Agung Lampriet

Mesjid Al Makmur Lampriet merupakan salah satu dari sekian mesjid di Kota Banda Aceh. Mesjid itu sudah didirikan pada 1979 oleh masyarakat setempat secara swadaya sedikit demi sedikit dengan status sebagai masjid Agung bagi Kota Banda Aceh. Dulu kawasan Lampriet merupakan komplek pegawai pemerintahan yang sempat diduduki oleh penjajah Belanda dan dijadikan tanah erpah. Ketika gempa dan tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004, kondisi mesjid tersebut runtuh dan rusak total. Sejumlah orang berpendapat mesjid itu tidak layak lagi digunakan.

Menurut Muhammad Razali, Imam besar Mesjid Agung Lampriet, Proses pembangunan mesjid itu dimulai pada tahun 1979 dengan peletakan batu pertama oleh Prof A Madjid Ibrahim. Awalnya diberi nama Masjid Baitul Makmur oleh tengku H Abdullah Ujong Rimba yang saat itu adalah imam besar mesjid ini sekaligus sebagai Ketua MUI masa itu. Nama masjid ini kemudian diganti lagi menjadi Masjid Al-Makmur.

bentuk asli bangunan Masjid Agung Al-Makmur Lampriet sebelum rusak parah sebelum tsunami, kualitas fotonya rendah tapi cukup memberikan gambaran bentuk awal masjid ini.

Digantinya nama masjid ini dari 'Baitul Makmur' Menjadi Al-Makmur, salah satunya adalah  karena Baitul Makmur itu artinya 'Arasy Allah' yang berada di aras. Baitul Makmur hanya ada di aras, sedangkan di dunia ini tidak ada. Itu sebabnya kemudian disepakati diubah namanya menjadi Al Makmur. Pergantian nama ini dilakukan pada tahun 1980-an, sesudah mesjid berdiri.

Utusan Pemerintah Oman yang datang ke Aceh kala itu sempat menyeleksi apakah akan membangun mesjid Lamprit atau Mesjid Lamgugop. Dengan berbagai pertimbangan, salah satunya karena masjid ini dekat dan strategis, Pemerintah Kesultanan Oman kemudian membangun mesjid ini. Proses pembangunan mesjid itu dimulai 2006 dan selesai keseluruhan tahun 2008.

Mesjid Al-Makmur Lampriet Banda Aceh terlihat megah setelah proses rekontruksi yang dibiayai oleh Kesultanan Oman. Persiapannya pun dilakukan secepatnya guna menyambut Idul Fitri 1428 H. 

Setelah proses pembangunan selesai sempat muncul gagasan untuk menamai bangunan baru Masjid Agung Banda Aceh ini dengan Mesjid Agung Almakmur Sultan Kabus. Diambil dari nama Sultan Oman, Sultan Qaboos, Namun sultan Qaboos sendiri kemudian menyatakan pemberian ini adalah ihklas dan tidak perlu dihunghubungkan dengan namanya. Karenanya kemudian masjid ini resmi bernama Masjid Agung Al-Makmur. Namun demikian kebanyakan orang sudah terlanjur menyebut masjid Agung ini sebagai Masjid Oman.

Bantuan Kesultanan Oman

Oman merupakan negara Islam di Timur Tengah yang pertama kali datang membantu Aceh setelah sebagian besar wilayah pesisir pantai hancur diterjang bencana alam tsunami 26 Desember 2004. Direktur Eksekutif Oman Charity, Ali Ibrahim Al Raisi, langsung datang sendiri ke Aceh seminggu paska tsunami untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri dahsyatnya musibah tersebut. Beliau berada di Aceh selama 45 hari dan ketika kembali ke negaranya ia langsung melaporkan kepada Sultan Oman apa saja bantuan yang perlu segera disalurkan.

Ekterior Masjid Agung Al-Makmur, Lampriet, Banda Aceh

Ali Ibrahim Al Raisi  mengatakan bahwa “Kami tersanjung karena Oman adalah negara Arab pertama yang datang seminggu setelah tsunami. Kami membawa bantuan tanggap darurat ke Banda Aceh dan Meulaboh”. Oman dan Aceh memang memiliki hubungan emosional yang sangat erat baik dari sejarah maupun perdagangan yang mengawali masuknya peradaban Islam di provinsi ujung barat Sumatera ini. masih menurut Ali Ibrahim, kesamaan lainnya yaitu nama ibukota Oman, Muscat menjadi nama salah satu makanan tradisional Aceh yang masih digemari hingga kini. “Meuseukat” merupakan bukti adanya hubungan erat dan membanggakan.

Masjid Agung Al Makmur dibangun atas dana bantuan dari Kesultanan Oman dengan menghabiskan dana sekitar Rp17 miliar rupiah, sebagai bagian dari paket bantuan kesultanan Oman untuk rakyat Aceh. Bantuan dari kesultanan Oman sudah mengalir ke Aceh sejak masa tanggap darurat dan ditangani langsung oleh Ali Ibrahim Al Raisi, semasa tanggap darurat, Oman mengirimkan bahan makanan dan kebutuhan lainnya sebanyak 60 ton ke Banda Aceh dan Meulaboh. Menyusul kemudian puluhan unit ambulan dan dilanjutkan dengan bantuan tahap kedua di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berupa bantuan perumahan berupa 150 rumah di Montasik yang disebut Oman Vilage, gedung sekolah serta masjid.

Ekterior Masjid Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh

Kesultanan Oman juga berkomitmen membantu 500 anak yatim di Provinsi Aceh selama sepuluh tahun paska bencana yang merupakan bagian dari proyek bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi. Tiga tahun sebelum nya Oman juga sudah membantu memberikan beasiswa pendidikan kepada santri pesantren di Aceh dan bantuan tersebut akan berlanjut hingga 15 tahun.

Peresmian Masjid Agung Lampriet

19 Mei 2009 Masjid Agung Al-Makmur, Lampriet diresmikan penggunaannya. Hadir dalam upacara peresmian tersebut Ali Ibrahim Al Raisy, Direktur Eksekutif Oman Charitible Organitation mewakili pemerintahan Kesultanan Oman. Dalam pidatonya beliau menyatakan pemerintah dan masyarakat Oman sangat gembira bisa membantu masyarakat Aceh setelah dilanda tsunami. “Sultan Oman mengucapkan selamat atas proses pembangunan kembali Aceh usai bencana,” ujarnya. Pembangunan masjid ini menghabiskan dana sebesar 1,3 juta dolar AS atau sekitar Rp 17 miliar Rupiah yang seluruhnya bantuan Kesultanan Oman.

Interior Masjid Agung Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh

Turut hadir dalam upacara peresmian tersebut Wakil Gubernur Muhammad Nazar, Wali Kota Banda Aceh Mawardy Nurdin dan Kepala Perwakilan Oman di Indonesia Hussain Ali Taher Musqaibal. Wali Kota Mawardy Nurdin mengatakan, Provinsi Aceh memiliki Masjid Raya Baiturrahman sebagai kebanggaan, sedangkan Masjid Agung Al Makmur ini menjadi kebanggaan Kota Banda Aceh. Walikota mengharapkan kehadiran masjid akan semakin mempererat tali persaudaraan antara Aceh dan Oman yang sudah sejak lama terjalin, serta mengharapkan kepada warga Kota Banda Aceh untuk memakmurkan masjid ini agar sesuai namanya. Selain membangun Masjid Agung Al-Makmur Oman Charity juga membangun

Aktivitas Masjid Agung Al-Makmur Lampriet

Menurut Imam masjid Agung Lampriet, tingkan ummat muslim yang beribadah di sini, tergolong rame, lantaran tempatnya strategis buat disinggahi oleh orang yang lewat,Saat magrib di hari biasa bukan di bulan puasa (Ramadhan), jemaah yang hadir sampai enam saf. Dalam sekali magrib, jemaah yang beribadah di mesjid itu mencapai 500 orang, laki dan perempuan. Jemaah menyusut waktu subuh paling banyak hanya satu setengah Saf. Namun, di waktu jumat jemaahnya memenuhi mesjid ini. Di hari Jumat terkadang mesjid itu tidak mampu menampung seluruh jemaah.

Jema'ah di Masjid Agung Al-Makmur, Lampriet, Banda Aceh

Sebagai masjid Agung, Masjid Agung Lampriet ini menjadi tempat dilaksanakannya acara acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh maupun Pemerintah Propinsi NAD bersama Masjid Raya Baiturrahman. Termasuk acara Pekan Budaya Aceh hingga proses seleksi bagi para calon walikota Banda Aceh yang di uji kemampuan mereka membaca Al-Qur’an juga diselenggarakan di Masjid Agung Lampriet ini. Seperti yang dilaksanakan saat Banda Aceh akan memiliki Empat pasangan bakal calon wali kota/wakil wali kota Banda Aceh periode 2012-2017, semua bakal calon mengikuti uji kemampuan baca Al Quran pada tanggal 16 Oktober 2011 lalu.

Empat pasangan yang mengikuti uji mampu baca Al-quran itu yakni T Irwan Johan/Tgk Alamsyah, Aminullah Usman/Tgk Muhibban, Zulmaifikar/Lindawati dan Mawardy Nurdin/Illiza Sa’aduddin Djamal. Mereka dinilai oleh tim dari Lembaga Pembinaan Tilawatil Quran (LPTQ). Sangat menarik, karena sepertinya baru di Aceh yang menjadikan kemampuan membaca Al-Qur’an sebagai salah satu kriteria bagi calon pemimpin nya.

Acara lain yang tak kalah menarik dan cukup unik diselenggarakan di masjid Agung Lampriet ini bersama dengan masjid masjid besar di Aceh termasuk di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, adalah penyelenggaraan zikir yang dilaksanakan di malam pergantian tahun, seperti yang diselenggarakan pada malam pergantian tahun 2011-2012 lalu. Zikir dan muhasabah yang digelar di Masjid Al Makmur Lampriet tersebut diakhiri dengan melaksanakan shalat malam.***