Tampilkan postingan dengan label Masjid Tsunami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid Tsunami. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Agustus 2012

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh, Aceh Barat

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam 

Masjid Termegah di Pantai Barat Aceh

Meulaboh merupakan kota kelahiran pahlawan nasional Teuku Umar Johan Pahlawan, di kota ini kini berdiri megah Masjid Agung Baitul Makmur yang merupakan salah satu masjid terbesar dan termegah di pantai barat Nangroe Aceh Darussalam. Masjid yang sangat menonjol dengan perpaduan arsitektur Timur Tengah, Asia, dan Aceh ini dibalut dengan warna cokelat cerah dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid. Masjid Agung Baitul Makmur diresmikan tanggal 1 Juni 1999 dengan daya tampung mencapai 7000 jemaah sekaligus, dan terus mengalami penyempurnaan dan perluasan hingga mencapai bentuknya seperti saat ini.

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh ini sempat menjadi titik berkumpul warga Meulaboh saat terjadi peristiwa gempa dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004 lalu dan juga menjadi dropping point bahan makanan dan bantuan kemanusian dari udara melalui helikopter yang mendarat di halaman masjid Baitul Makmur. Masjid Agung Baitul Makmur ini disebut sebut sebagai salah satu dari 100 masjid terindah di Indonesia dalam buku yang disusun oleh Teddy Tjokrosaputro & Aryananda terbitan PT Andalan Media, Agustus 2011.

Lokasi dan Alamat Masjid Baitur Makmur

Masjid Agung Baitur Makmur
Jl.Imam Bonjol No. 100 Desa Seuneubok
Kecamatan Johan Pahlawan, Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam - Indonesia


Letak Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh ini sangat strategis karena berada di persimpangan yang membelah beberapa kabupaten. Bagian timur masjid terletak di persimpangan Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, masing-masing menuju Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Aceh Selatan atau Singkil. Di sebelah barat terdapat persimpangan Aceh Jaya menuju Banda Aceh, sementara di bagian selatan diapit Lautan Hindia dengan pelabuhan kota Meulaboh menuju Kabupaten Simeulu.

Sejarah singkat Kota Meulaboh

Meulaboh adalah ibu kota Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Berada sekitar 175 km sebelah tenggara Kota Banda Aceh. Meulaboh adalah kota kelahiran Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan. Meulaboh merupakan kota terbesar di pesisir barat Aceh dan salah satu area terparah akibat bencana tsunami yang dipicu oleh gempa bumi Samudra Hindia 26 Desember 2004.

7 Januari 2005 di Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh ::: Sebuah Helikopter HH-60H Seahawk dari skuadron helikopter anti kapal selam “Golden Falcons” (HS-2), mengirimkan bantuan kepada masyarakat Meulaboh di halaman Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh paska bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004. Helikopter ini merupakan bagian dari Carrier Air Wing Two (CVW-2) kapal induk USS Abraham Lincoln (CVN 72) yang ditugaskan dalam misi kemanusiaan di Aceh. Kapal induk ini lego jangkar di Samudera Hindia lepas pantai perairan Indonesia dan Thailand. Foto ini sendiri direkam oleh anggota AL Amerika yang sedang bertugas dalam misi tersebut.

Meulaboh dahulu dikenal sebagai Negeri Pasi Karam, nama yang kemungkinan ada kaitannya dengan peristiwa terjadinya tsunami di Kota Meulaboh pada masa lalu, dan terulang pada tanggal 26 Desember 2004 lalu. Meulaboh sudah ada sejak 4 abad di masa kekuasaan Sultan Sultan Saidil Mukamil (1588-1604) naik tahta di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Mulai dibuka perkebunan merica, di Meulaboh tapi belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk memuat kemenyan dan kapur barus. Dimasa pemerintahan Sultan Djamalul Alam perkebunan merica diperluas dan  untuk mengelola kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar.

Meulaboh didirikan oleh tiga orang Datuk yang kemudian menghadap Sultan Aceh, Mahmudsyah (1830-1839) untuk memperkenalkan diri dengan membawa satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang (hulubalang) Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

rancangan Timur Tengah di Meulaboh ::: kubah masjid dengan warna nya yang cerah serta bentuknya itu mengingatkan kita pada bangunan bangunan di dongeng 1001 malam yang bertebaran di seantero kota Bagdad, nuansa Timur Tengah memang sangat kental di masjid ini.

Secara berturut turut kemudian Sultan Aceh menempatkan wakilnya di Meulaboh atas permintaan para Hulubalang di Meulaboh, mulai dari masa pemerintahan Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) yang menempatkan Wazir Teuku Tjiek Lila Perkasa, sebagai wakil Sultan penerima upeti. Menyusul kemudian ditempatkan Penghulu Sidik Lila Digahara menjadi penghulu Meulaboh pertama untuk mengurusi perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Dan terahir ditempatkan Teuku Tjut Din seorang ulama besar bergelar Almuktasim-billah sebagai Kadhi kesultanan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh kemudian masuk dalam Federasi Kaway XVI, sebuah fedrasi yang dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am, yang diketuai oleh Ulee Balang Ujong Kalak.

Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh dirancang dengan multi dome, dengan bentuk kubah yang serupa dan seirama. dua menara tingginya itu dibangun belakangan.  

Silsilah Raja Meulaboh

Raja-raja yang pernah bertahta di kehulu-balangan Kaway XVI hanya dapat dilacak dari T. Tjik Pho Rahman, lalu digantikan anaknya yang bernama T.Tjik Masaid, hingga ke hulubalang terahir-nya, T.Tjiek Ali Akbar yang dibunuh oleh pasukan Jepang bersama dengan Teuku Ben, Keujreun Polem. Jenazah kedua tokoh Meulaboh tersebut baru ditemukan tahun 1978 di bekas Tangsi Belanda (sekarang menjadi Asrama tentara Desa Suak Indrapuri). Setelah itu Meulaboh diperintah para Wedana dan para Bupati sebelum kemudian pecah menjadi kabupaten Aceh Selatan, Simeulue, Nagan Raya, dan Aceh Jaya.

Arsitekrural Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh

Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasatmata adalah tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua kubah sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia. Masjid juga dilengkapi dua menara baru di sisi mihrab. Masjid Agung Baitul Makmur juga dilengkapi dengan gerbang masjid yang berdiri sendiri dengan jarak beberapa meter dari masjid.

Bangunan Gerbang utama masjid khas Asia Tengah digunakan di Masjid Agung Baitul Makmur ini menghadirkan keindahan tembahan untuk keseluruhan masjid Baitul Makmur, sementara rancangan lengkungan khas Andalusia mendominasi interior masjid. Sentuhan budaya Aceh dapat dirasakan pada seni ukir dan detil ornamen interior masjid ini.

Di dalam masjid terlihat dua konsep ruang yang berbeda. Pertama, pengunjung disambut oleh ruangan yang memiliki banyak tiang penyangga lantai dua. Di bagian tengah terdapat ruang lapang yang terasa sangat lega dengan ornamen lampu hias menggantung di tengah ruangan. Inspirasi gaya Timur Tengah terlihat dari bentuk mihrab yang didominasi warna cokelat dan nuansa keemasan khas material perunggu dengan ornamen khas Islam.

Selain sebagai tempat ibadah, masjid memiliki fungsi pendidikan, lengkap dengan Madrasah Tsanawiyah, Ibtidaiyyah, Dinniyyah, TK Al-Quran. Masjid Agung Baitul Makmur diresmikan tanggal 1 Juni 1999 dengan daya tampung mencapai 7000 jemaah sekaligus. Bangunan Masjid Agung Baitul Makmur ini seluas 3500 meter persegi di atas lahan seluas 6000 meter persegi. Proses rancang bangun-nya ditangani oleh arsitek Ir. Alwin dan Profesor Dr. H. Idris.***

Selasa, 14 Agustus 2012

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh

Masjid Agung Lampriet, Banda Aceh.

Nangroe Aceh Darussalam, propinsi bergelar Serambi Mekah ini memang memiliki sejumlah masjid masjid indah, syarat sejarah bahkan beberapa diantaranya digelari sebagai masjid ajaib karena mampu selamat dari terjangan bencana tsunami yang teramat dasyat di penghujung tahun 2004 yang lalu. Beberapa diantaranya sudah di ulas dalam posting posting terdahulu termasuk Masjid Raya Baiturrahman BandaAceh, Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, dan Masjid Rahmatullah Lampu’uk diLhoknga. Namun dari sekian banyak masjid yang tetap kokoh berdiri tersebut, Masjid Agung Lampriet merupakan salah satu masjid yang mengalami kerusakan parah akibat gempa dan tsunami 26 Desember 2004 tersebut.

Masjid Agung Lampriet awal mulanya sudah dibangun secara bertahap sedikit demi sedikit oleh masyarakat muslim setempat sejak tahun 1979 dengan nama Masjid Baitul Makmur dengan status sebagai Masjid Agung bagi kota Banda Aceh. Ketika gempa disusul oleh gelombang tsunami menghantam Aceh, Nias dan kawasan Samudera Hindia lainnya, mengakibatkan kerusakan parah pada bangunan masjid ini. Pemerintah Kesultanan Oman yang kemudian memberikan dana bantuan untuk membangun kembali masjid tersebut sebagai sebuah masjid Agung nan megah berarsitektur Timur Tengah seperti yang kita kenal saat ini.

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh diwaktu malam dari sudut yang sama dengan foto pertama.

Proses pembangunannya dimulai tahun 2006 dan diresmikan tahun 2008. Sempat mengemuka untuk menamakan masjid agung ini dengan nama Masjid Agung Al-Makmur Sultan Kabus, diambil dari nama Sultan Qaboos, Sultan Oman. Namun justru Sultan Oman yang kemudian mengatakan bahwa beliau tulus ikhlas lillahita’ala membantu muslim Aceh dan tidak perlu menyangkutpautkan bantuan tersebut dengan namanya. Sekedar catatan, nama Sultan Qaboos sudah di abadikan sebagai nama Masjid Nasional Oman dengan nama Masjid Agung Sultan Qaboos Muscat. Kini Masjid Agung bagi kota Banda Aceh ini lebih dikenal dengan nama Masjid Oman Al-Makmur.

Lokasi dan Alamat Masjid Al-Makmur Lampriet

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet
Jl. Taman Ratu Syafaruddin / Muhammad Daud Beureuh
Lampriet, Banda Aceh 24452
Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia

Masjid Agung Al-Makmur Lampriet berada di pertigaan jalan Jl. Taman Ratu Syafaruddin / Muhammad Daud Beureuh, berseberangan dengan taman Ratu Safiatuddin di kota Banda Aceh. Dari kejauhan masjid ini sudah terlihat kemegahannya. Aroma Timur Tengah memang sangat kental pada bangunan masjid satu ini. lengkap dengan kubah besar dan menara kembar-nya. Keseluruhan proses rancangan, pembangunan dan pendanaannya ditangani langsung oleh pemerintah Oman.



Sejarah Masjid Agung Lampriet

Mesjid Al Makmur Lampriet merupakan salah satu dari sekian mesjid di Kota Banda Aceh. Mesjid itu sudah didirikan pada 1979 oleh masyarakat setempat secara swadaya sedikit demi sedikit dengan status sebagai masjid Agung bagi Kota Banda Aceh. Dulu kawasan Lampriet merupakan komplek pegawai pemerintahan yang sempat diduduki oleh penjajah Belanda dan dijadikan tanah erpah. Ketika gempa dan tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004, kondisi mesjid tersebut runtuh dan rusak total. Sejumlah orang berpendapat mesjid itu tidak layak lagi digunakan.

Menurut Muhammad Razali, Imam besar Mesjid Agung Lampriet, Proses pembangunan mesjid itu dimulai pada tahun 1979 dengan peletakan batu pertama oleh Prof A Madjid Ibrahim. Awalnya diberi nama Masjid Baitul Makmur oleh tengku H Abdullah Ujong Rimba yang saat itu adalah imam besar mesjid ini sekaligus sebagai Ketua MUI masa itu. Nama masjid ini kemudian diganti lagi menjadi Masjid Al-Makmur.

bentuk asli bangunan Masjid Agung Al-Makmur Lampriet sebelum rusak parah sebelum tsunami, kualitas fotonya rendah tapi cukup memberikan gambaran bentuk awal masjid ini.

Digantinya nama masjid ini dari 'Baitul Makmur' Menjadi Al-Makmur, salah satunya adalah  karena Baitul Makmur itu artinya 'Arasy Allah' yang berada di aras. Baitul Makmur hanya ada di aras, sedangkan di dunia ini tidak ada. Itu sebabnya kemudian disepakati diubah namanya menjadi Al Makmur. Pergantian nama ini dilakukan pada tahun 1980-an, sesudah mesjid berdiri.

Utusan Pemerintah Oman yang datang ke Aceh kala itu sempat menyeleksi apakah akan membangun mesjid Lamprit atau Mesjid Lamgugop. Dengan berbagai pertimbangan, salah satunya karena masjid ini dekat dan strategis, Pemerintah Kesultanan Oman kemudian membangun mesjid ini. Proses pembangunan mesjid itu dimulai 2006 dan selesai keseluruhan tahun 2008.

Mesjid Al-Makmur Lampriet Banda Aceh terlihat megah setelah proses rekontruksi yang dibiayai oleh Kesultanan Oman. Persiapannya pun dilakukan secepatnya guna menyambut Idul Fitri 1428 H. 

Setelah proses pembangunan selesai sempat muncul gagasan untuk menamai bangunan baru Masjid Agung Banda Aceh ini dengan Mesjid Agung Almakmur Sultan Kabus. Diambil dari nama Sultan Oman, Sultan Qaboos, Namun sultan Qaboos sendiri kemudian menyatakan pemberian ini adalah ihklas dan tidak perlu dihunghubungkan dengan namanya. Karenanya kemudian masjid ini resmi bernama Masjid Agung Al-Makmur. Namun demikian kebanyakan orang sudah terlanjur menyebut masjid Agung ini sebagai Masjid Oman.

Bantuan Kesultanan Oman

Oman merupakan negara Islam di Timur Tengah yang pertama kali datang membantu Aceh setelah sebagian besar wilayah pesisir pantai hancur diterjang bencana alam tsunami 26 Desember 2004. Direktur Eksekutif Oman Charity, Ali Ibrahim Al Raisi, langsung datang sendiri ke Aceh seminggu paska tsunami untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri dahsyatnya musibah tersebut. Beliau berada di Aceh selama 45 hari dan ketika kembali ke negaranya ia langsung melaporkan kepada Sultan Oman apa saja bantuan yang perlu segera disalurkan.

Ekterior Masjid Agung Al-Makmur, Lampriet, Banda Aceh

Ali Ibrahim Al Raisi  mengatakan bahwa “Kami tersanjung karena Oman adalah negara Arab pertama yang datang seminggu setelah tsunami. Kami membawa bantuan tanggap darurat ke Banda Aceh dan Meulaboh”. Oman dan Aceh memang memiliki hubungan emosional yang sangat erat baik dari sejarah maupun perdagangan yang mengawali masuknya peradaban Islam di provinsi ujung barat Sumatera ini. masih menurut Ali Ibrahim, kesamaan lainnya yaitu nama ibukota Oman, Muscat menjadi nama salah satu makanan tradisional Aceh yang masih digemari hingga kini. “Meuseukat” merupakan bukti adanya hubungan erat dan membanggakan.

Masjid Agung Al Makmur dibangun atas dana bantuan dari Kesultanan Oman dengan menghabiskan dana sekitar Rp17 miliar rupiah, sebagai bagian dari paket bantuan kesultanan Oman untuk rakyat Aceh. Bantuan dari kesultanan Oman sudah mengalir ke Aceh sejak masa tanggap darurat dan ditangani langsung oleh Ali Ibrahim Al Raisi, semasa tanggap darurat, Oman mengirimkan bahan makanan dan kebutuhan lainnya sebanyak 60 ton ke Banda Aceh dan Meulaboh. Menyusul kemudian puluhan unit ambulan dan dilanjutkan dengan bantuan tahap kedua di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berupa bantuan perumahan berupa 150 rumah di Montasik yang disebut Oman Vilage, gedung sekolah serta masjid.

Ekterior Masjid Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh

Kesultanan Oman juga berkomitmen membantu 500 anak yatim di Provinsi Aceh selama sepuluh tahun paska bencana yang merupakan bagian dari proyek bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi. Tiga tahun sebelum nya Oman juga sudah membantu memberikan beasiswa pendidikan kepada santri pesantren di Aceh dan bantuan tersebut akan berlanjut hingga 15 tahun.

Peresmian Masjid Agung Lampriet

19 Mei 2009 Masjid Agung Al-Makmur, Lampriet diresmikan penggunaannya. Hadir dalam upacara peresmian tersebut Ali Ibrahim Al Raisy, Direktur Eksekutif Oman Charitible Organitation mewakili pemerintahan Kesultanan Oman. Dalam pidatonya beliau menyatakan pemerintah dan masyarakat Oman sangat gembira bisa membantu masyarakat Aceh setelah dilanda tsunami. “Sultan Oman mengucapkan selamat atas proses pembangunan kembali Aceh usai bencana,” ujarnya. Pembangunan masjid ini menghabiskan dana sebesar 1,3 juta dolar AS atau sekitar Rp 17 miliar Rupiah yang seluruhnya bantuan Kesultanan Oman.

Interior Masjid Agung Al-Makmur Lampriet, Banda Aceh

Turut hadir dalam upacara peresmian tersebut Wakil Gubernur Muhammad Nazar, Wali Kota Banda Aceh Mawardy Nurdin dan Kepala Perwakilan Oman di Indonesia Hussain Ali Taher Musqaibal. Wali Kota Mawardy Nurdin mengatakan, Provinsi Aceh memiliki Masjid Raya Baiturrahman sebagai kebanggaan, sedangkan Masjid Agung Al Makmur ini menjadi kebanggaan Kota Banda Aceh. Walikota mengharapkan kehadiran masjid akan semakin mempererat tali persaudaraan antara Aceh dan Oman yang sudah sejak lama terjalin, serta mengharapkan kepada warga Kota Banda Aceh untuk memakmurkan masjid ini agar sesuai namanya. Selain membangun Masjid Agung Al-Makmur Oman Charity juga membangun

Aktivitas Masjid Agung Al-Makmur Lampriet

Menurut Imam masjid Agung Lampriet, tingkan ummat muslim yang beribadah di sini, tergolong rame, lantaran tempatnya strategis buat disinggahi oleh orang yang lewat,Saat magrib di hari biasa bukan di bulan puasa (Ramadhan), jemaah yang hadir sampai enam saf. Dalam sekali magrib, jemaah yang beribadah di mesjid itu mencapai 500 orang, laki dan perempuan. Jemaah menyusut waktu subuh paling banyak hanya satu setengah Saf. Namun, di waktu jumat jemaahnya memenuhi mesjid ini. Di hari Jumat terkadang mesjid itu tidak mampu menampung seluruh jemaah.

Jema'ah di Masjid Agung Al-Makmur, Lampriet, Banda Aceh

Sebagai masjid Agung, Masjid Agung Lampriet ini menjadi tempat dilaksanakannya acara acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh maupun Pemerintah Propinsi NAD bersama Masjid Raya Baiturrahman. Termasuk acara Pekan Budaya Aceh hingga proses seleksi bagi para calon walikota Banda Aceh yang di uji kemampuan mereka membaca Al-Qur’an juga diselenggarakan di Masjid Agung Lampriet ini. Seperti yang dilaksanakan saat Banda Aceh akan memiliki Empat pasangan bakal calon wali kota/wakil wali kota Banda Aceh periode 2012-2017, semua bakal calon mengikuti uji kemampuan baca Al Quran pada tanggal 16 Oktober 2011 lalu.

Empat pasangan yang mengikuti uji mampu baca Al-quran itu yakni T Irwan Johan/Tgk Alamsyah, Aminullah Usman/Tgk Muhibban, Zulmaifikar/Lindawati dan Mawardy Nurdin/Illiza Sa’aduddin Djamal. Mereka dinilai oleh tim dari Lembaga Pembinaan Tilawatil Quran (LPTQ). Sangat menarik, karena sepertinya baru di Aceh yang menjadikan kemampuan membaca Al-Qur’an sebagai salah satu kriteria bagi calon pemimpin nya.

Acara lain yang tak kalah menarik dan cukup unik diselenggarakan di masjid Agung Lampriet ini bersama dengan masjid masjid besar di Aceh termasuk di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, adalah penyelenggaraan zikir yang dilaksanakan di malam pergantian tahun, seperti yang diselenggarakan pada malam pergantian tahun 2011-2012 lalu. Zikir dan muhasabah yang digelar di Masjid Al Makmur Lampriet tersebut diakhiri dengan melaksanakan shalat malam.***


Minggu, 12 Agustus 2012

Masjid Rahmatullah Lampu’uk, Lhoknga, Aceh Besar

Bertahan dari terjangan tsunami 2004. Masjid Rahmatullah Lampu'uk, Lhoknga, Aceh Utara, Nangroe Aceh Darussalam. Salah satu masjid yang mampu berdiri kokoh sendirian diantara bangunan dan seluruh kawasan Lampu'uk yang rata dengan tanah oleh bencana tsunami Aceh dan kawasan Samudera Hindia 26 Desember 2004 silam. Pertama kali dibangun tahun 1990 dan direnovasi tahun 2004.

Memang terlalu sulit untuk membayangkan dan mengirangira bagaimana mungkin masjid satu ini bisa selamat dari terjangan dasyatnya tsunami yang menyapu daratan Aceh dan kawasan Samudera Hindia 26 Desember 2004 silam padahal lokasinya hanya terpaut sekitar 500 meter dari bibir pantai, sementara seluruh bangunan disekitarnya luluh lantak menyisakan puing puing berserakan. Lampu’uk dan seluruh kota Lhoknga rata dengan tanah, tak hanya meluluhlantakkan Lhoknga tanpa sisa, dahsyatnya tsunami itu telah merenggut ribuan jiwa penduduk Lhoknga dari awalnya lebih dari 6000 jiwa, paska tsunami tersisa hanya sekitar 700 jiwa saja. 250 ribu orang meninggal dunia dengan sekejap di seluruh Aceh dan Nias. Infrastruktur yang berada 3-4 km dari garis pantai hancur total dilanda tsunami yang datang dengan kecepatan mencapai 600 km/per jam itu.

Tak mengherankan bila kemudian para penulis, jurnalis, reporter, relawan hingga masyarakat dalam dan luar negeri menyebut masjid ini dan masjid masjid lainnya yang selamat dari tsunami Aceh sebagai masjid Ajaib. Siapapun yang melintas di daratan, lautan ataupun wilayah udara Lhoknga paska tsunami hanya dapat menyaksikan bangunan masjid ini sebagai satu satunya bangunan yang masih berdiri di hamparan puing puing kota Lhoknga yang terdiam dalam sunyi selama berbulan bulan sampai kemudian proses pemulihan kawasan tersebut dimulai dan denyut kehidupanpun kembali berdetak di kawasan itu.  Nyatanya nama masjid ini nyatanya tak sekedar nama tapi benar benar sebuah doa yang di ijabah sebagai masjid yang dirahmati Allah.

dulu dan sekarang ::: foto atas ketika tsunami menghajar Aceh, Masjid Rahmatullah menjadi satu satunya spot yang masih utuh berdiri meski seluruh kawasan disekitarnya tak bersisa dihantam gelombang tsunami. Foto bawah, kondisi saat ini di kawasan Lampu'uk di abadikan dari salah satu dari dua menara Masjid Rahmatullah.

Masjid Rahmatullah bukanlah satu satunya masjid yang masih berdiri sendirian diantara puing puing kehancuran tsunami Aceh, selain Masjid Rahmatullah ada sekitar 25 masjid lainnya di seantero Aceh yang mengalami keajaiban serupa termasuk diantaranya adalah Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja Banda Aceh, Masjid Baiturrahim di Ulee Lheue, Masjid Raya Teuku Cik Maharaja Ghurah di Peukan Bada, Masjid dekat makam Syah Kuala, Masjid di Ujung Karang, Meulaboh, dan beberapa masjid lain di sejumlah tempat di Nangroe Aceh Darussalam.

Alamat dan Lokasi Masjid Rahmatullah

Mesjid Rahmatullah Lampu’uk
Jalan Banda Aceh – Meulaboh, Desa Lhonga km 2.1
Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam - Indonesia



Catatan Sejarah Masjid Rahmatullah Lampu’uk

Bila berkunjung ke Masjid Rahmatullah kita akan menemukan tiga prasati pembangunan sekaligus yang menorehkan sejarah masjid Rahmatullah sejak pertama kali dibangun hingga kemudian mengalami proses renovasi besar besaran paska tsunami oleh Bulan Sabit Merah Turki yang tidak saja melakukan renovasi masjid ini tetapi juga membangun kota baru di sekitar Masjid Rahmatullah lengkap dengan fasilitas pendukungnya bagi penduduk Lhoknga yang selamat. Kawasan baru tersebut dinamai dengan “perkampungan Bulan Sabit Merah Turki - Turkish Red Crescent Village”

Sebagaimana dijelaskan dalam prasasti pertama bahwa Masjid Rahmatullah Lampu’uk pertama kali dibangun pada tahun 1990M (1410H), ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan masjid oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar, Drs. H. Sanusi Wahab, pada tanggal 21 Sya'ban 1410H bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1990.

Empat prasasti peringatan pembangunan masjid Rahmatullah.

Proses pembangunan masjid selesai dilaksanakan dan diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, Prof. DR. H. Syamsuddin Mahmud Pada tanggal 10 Jumadil Awal 1818H bertepatan dengan tanggal 12 September 1997M. sebagaimana dijelaskan dalam prasasti kedua.

Prasasti ketiga dibuat dalam tiga bahasa yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Turki, menjelaskan pembangunan masjid ini paska tsunami 2004. Teks lengkapnya berbunyi sebagai berikut :

“Pekerjaan perbaikan mesjid Rahmatullah yang rusak akibat gempa dan tsunami pembangunan dua unit menara dan pagar keliling oleh Bulan Sabit Merah Turki”

“Rahmatullah Caminin Tsunamide hasar gormus kisimlari, minateleti ve cevre duvarlari Turkiye Kizilay Dernegi Tarafindan Yapilmistir”

“The parts damaged by tsunami, the minarets and the sorounding walls of Rahmatullah Mosque mosque were constructed by Turkish Red Crescent Society”

2004 - 2012 ::: foto atas adalah kondisi masjid Rahmatullah setelah dihantam tsunami 26 Desember 2004, sedangkan foto bawah adalah kondisi masjid Rahmatullah saat ini, selain seluruh bangunan sudah direnovasi total oleh Bulan Sabit Merah Turki, tapi kini jugda dilengkapi dengan dua menara. menara kembar seperti ini merupakan arsitektur khas Turki meski bentuknya sudah disingkronisasi dengan bentuk bangunan induk.

Sedangkan prasasti ke empat menjelaskan perjalanan singkat sejarah masjid Rahmatullah dalam Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

“Meuseujid Rahmatullah Lampu'uk geupeudong bak uroe 19 Maret 1990. Bak waree tsunami 26 Desember 2004, cit meung Mesuseujid nyoe sagai bangonan nyang seulamat di dairah Lampu'uk.”

“Masjid ini pertama kali dibuka untuk umum pada 19 Maret 1990. Ketika tsunami 26 Desember 2004 terjadi mesjid ini merupakan satu satunya bangunan yang tetap berdiri dari daerah Lampu'uk.”

“This Mosque was first opened to the publik in 19 March 1990. at the time of tsunami on 26 December 2004, this mosque was the only building left standing in the Lampu'uk area.”

Lampu'uk dulu dan kini ::: 8 Tahun Paska tsunami kini Lampu'uk sudah kembali normal, kawasan yang hancur dan benar benar terkikis habis di Lampu'uk seperti foto atas kini berdiri Perkampungan Bulan Sabit Merah Turki.

Bantuan dan Jejak Turki di Tanah Rencong, Serambi Mekah

Pemerintah Turki melalui Bulan Sabit Merah Turki memberikan dukungan luar biasa bagi pemulihan Aceh paska tsunami. Hubungan sejarah yang begitu erat di masa lalu memang membangkitkan semangat persaudaraan sesama muslim di Turki untuk memberikan segala bantuan yang diperlukan bagi muslim Aceh Korban tsunami. Hari Selasa 26 Desember 2006, dua tahun paska bencana tsunami Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Ali Sahin datang langsung ke Lampu’uk mewakili pemerintah dan rakyat Turki untuk meresmikan berbagai fasilitas yang dibangun oleh Bulan Sabit Merah Turki di Aceh dalam sebuah acara yang dipusatkan di halaman Masjid Rahmatullah Lampu’uk.

Berbagai pejabat negara datang ke tempat acara yang dipusatkan di halaman Masjid Rahmatullah Lhok Nga itu. Termasuk (ketika itu masih calon gubernur NAD) Muhammad Nazar yang hadir duduk membaur diantara para tamu sampai kemudian panitia menyadari kehadirannya dan meminta beliau duduk bersama para tamu kehormatan di acara tersebut. Termasuk juga Irawadi Yusuf (pasangan M. Nazar dalam Pilkada Aceh Pertama).

Rangkaian sejarah Masjid Rahmatullah sejak tsunami, renovasi dan penambahan dua menara  hingga ke bentuknya saat ini lengkap dengan gerbang bertuliskan nama masjid dalam 3 bahasa, Bahasa Indonesia, Turki dan Inggris.

Dua tahun paska tsunami memang bukan waktu yang lama. Tapi perubahan dratis kini 'me 'menyulap' Serambi Makkah termasuk desa Lampu’uk di Lhoknga. Kawasan Lhoknga yang dahulu rata dengan tanah, pun mulai hidup kembali. Jalanan sudah teraspal rapi. Masjid Rahmatullah megah berdiri setelah direnovasi. 1.052 rumah dengan tipe 45 yang dibangun dengan biaya Rp 92 juta per unit, fasilitas umum, dan empat gedung sekolah. serta perbaikan pemakaman prajurit Turki di kampung Bitai, dan sebuah masjid di dirikan di depannya. Pemakaman tersebut merupakan komplek pemakaman prajurit Turki yang dikirim ke Aceh untuk membela Aceh dari serbuan Kolonial Portugis empat ratus tahun silam.

Kedahsyatan bencana tsunami Aceh, menurut Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Ali Sahin, langsung mengusik rakyat Turki dengan segera membuka rekening dompet bencana `Asia Menangis'. Hasilnya, lebih dari dua juta warga negara yang mayoritas Muslim di daratan Eropa itu, terketuk hatinya. Sebesar 260 juta dolar AS kemudian disumbangkan ke Aceh. Empat ratus tahun silam Turki pernah mengirimkan bantuan untuk mengusir penjajah Portugis dari Aceh. Sultan Selim dari Mesir memberangkatkan 15 kapal perang ke Aceh. Bahkan sebagian dari prajurit Turki itu kemudian menjadi warga Aceh dan dimakamkan di Kampung Bitai, Sebagai bukti dari hangatnya hubungan Aceh-Turki.

Gerbang Masjid Rahmatullah ::: Rahmatullah Camii ::: Rahmatullah Mosque

Dari cerita orang kampung, jasad yang dimakamkan itu adalah para ahli meriam dan strategi perang. Salah satu murid asuhannya adalah Laksamana Malahayati. Tentara Turki ini yang mengajari Aceh bagaimana membangun sebuah angkatan laut yang baik. 'Jasa mereka memang besar. Bahkan, sebelum bencana ada dua meriam peninggalan mereka yang dipajang di depan kompleks makam, namun ikut hilang dibawa tsunami. Pakar sejarah Islam Universitas Indonesia, Dr Muhammad Zafar Iqbal, menyatakan beberapa ratus tahun lalu 300 orang prajurit Turki didatangkan ke Aceh. 'Sultan Al Kohar yang berkuasa di Aceh memang meminta bantuan Sultan Turki untuk melawan Portugis.

Masjid Rahmatullah Kini

Hampir 6 bulan, kesan kehancuran masih tampak kental di kawasan ini. Hanya sekitar 700 orang yang selamat dari enam ribu lebih penduduknya yang terdiri dari kebanyakannya pekerja PT Semen Andalas Indonesia (SAI) Lampu’uk, guru, doktor, petani dan nelayan. Sebelum tsunami Lampu’uk mempunyai pantai yang indah sehingga merupakan salah satu tempat rekreasi bagi masyarakat Banda Aceh dan daerah sekitarnya. Paska tsunami seluruh kawasan rata dengan tanah, termasuk pabrik PT. SAI. Sedimen pasir dan tanah telah menutup kawasan itu berpuluh puluh sentimeter dari permukaan aslinya.

Salah satu sudut Masjid Rahmatullah

Meski masih berdiri kokoh sebagai satu satunya bangunan yang tersisa di Lampu’uk dan Lhoknga, Masjid Rahmatullah memang tidak benar benar utuh dari terjangan tsunami tersebut, kerusakan cukup parah menerpa beberapa bagian masjid ini. setelah mengalami proses renovasi total dan penambahan berbagai fasilitas penunjang masjid Rahmatullah kini kembali pulih dan siap melayani muslim Lampu’uk dan muslim manapun yang sedang melawat ke masjid ini. satu sudut ruang dalam masjid sengaja dibiarkan tak diperbaiki dari kerusakan sebagai pengingat bencana kemanusiaan itu. Sekeliling area tersebut dipagar kaca tembus pandang lengkap dengan berbagai koleksi foto foto bencana tsunami. Dan selembar tulisan berbahasa Turki, Indonesia dan Inggris “Tsunami Yi Unitma - Jangan Lupakan Tsunami – Don’t Forget Tsunami”.

Kawasan Pantai Lampu’uk telah populer sejak tahun 90-an. Tiap akhir pekan atau pada masa liburan, pantai ini selalu padat dikunjungi wisatawan. Sekitar lokasi pantai merupakan tempat hunian bagi ribuan warga yang lengkap dengan fasilitas pemukiman kelas menengah atas.  Tahun 2012 ini, delapan tahun sejak terjadinya tsunami, Pantai Lampu’uk telah berbenah. Berbagai fasilitas pelengkap seperti banana boat dan cottage telah tersedia seiring makin banyaknya wisatawan yang berkunjung. Masjid Rahmatullah yang populer karena keutuhan bangunannya setelah diterjang tsunami akhirnya juga menjadi salah satu tujuan wisata orang-orang yang berkunjung ke Pantai Lampu’uk.

Salah satu sudut interior Masjid Rahmatullah ini dengan sengaja tidak direnovasi  sebagai pengingat bagi peristiwa besar yang mengguncang Aceh tersebut.
Pemandangan kawasan Lampu'uk dari menara masjid Rahmatullah, pandangan jauh hingga ke garis langit. Disebelah kiri foto adalah Perkampungan Bulan Sabit Merah Turki untuk masyarakat Lampu'uk
Khas Aceh ::: Kubah dan fasad masjid Rahmatullah ini serupa dengan kubah dan fasad masjid masjid lainnya di Aceh, seperti juga pada Masjid Raya Baiturrahman, kutaraja - Banda Aceh.
Interior Masjid Rahmatullah, lampu'uk
Mimbar dan Mihrab Masjid Rahmatullah, Lampu'uk
Masjid Rahmatullah Lampu'uk ini dibangun dengan kubah lebih dari satu menghasilkan suasana interior yang lega berikut ventilasi cahaya alami di jendela jendela kecil di bawah kubahnya.
------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
------------------------------------------------------------------

Jumat, 10 Agustus 2012

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh. Salah satu masjid yang selamat dari terjangan tsunami tahun 2004 lalu meski lokasinya berada di kawasan pantai. Sebuah peristiwa langka yang tak terpecahkan hingga kini, bagaimana masjid dari bahan batu bata tanpa tulang beton ini bisa bertahan dari dasyatnya terjangan tsunami sementara seluruh bangunan disekitarnya tak bersisa rata dengan tanah. 

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue merupakan salah satu masjid bersejarah di kota Banda Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman. Sama seperti Masjid Baiturrahman, Masjid Baiturrahim pun telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh sejak masa kesultanan, penjajahan Belanda, Jepang, hingga era kemerdekaan dengan segala pahit manisnya sejarah. Bencara Tsunami 26 Desember 2004 mengangkat masjid Baiturrahim ke media pemberitaan dalam dan luar negeri ketika hantaman air tsunami berlalu menyisakan bekas yang luar biasa mengerikan, seluruh kota luluh lantak kecuali bangunan masjid Baiturrahim.

Selembar foto yang menunjukkan masjid ini berdiri sendirian ditengah kawasan Ulee Lehue yang luluh lantak telah menyita perhatian begitu banyak kalangan, dari yang menduga itu sebagai foto editan, hoak sampai bahkan ada yang penuh penasaran mengunjungi langsung lokasi masjid ini beberapa hari paska bencana hanya demi membuktikan kebenaran kabar tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa Masjid Baiturrahim Ulee Lheue merupakan salah satu masjid di Aceh yang selamat dari terjangan tsunami meskipun seluruh bangunan disekitarnya hancur tak bersisa.

dua wajah ::: foto bawah adalah kondiri masjid Baiturrahim paska bencana tsunami berdiri sendirian ditengah tengah puing kawasan Ulee Lheue. Dan foto atas kondisi masjid setelah dibersihkan dari puing puing dan dalam proses perbaikan.

Lokasi Masjid Baiturrahim

Masjid Baiturrahim berdiri di Kawasan wisata pantai Cermin Ulee Lheue, sebuah kawasan pantai yang sangat indah dan penuh dengan kenangan sejarah. Ketika Belanda melakukan ekspedisi pertama ke Aceh pada tahun 1873 dilakukan melalui Pantai Cermin (Pante Ceureumen) ini, Untuk kelancaran operasi militer di Aceh, Belanda membangun dermaga di Ulee Lheue sebagai pintu gerbang ke Aceh pada tahun 1874 dan selesai pembangunannya pada tahun 1875. Untuk menghubungkan Ulee Lheue ke Banda Aceh dibangun jalan kereta api dengan stasiunnya di sekitar depan Mesjid Raya Baiturrahman sekarang.

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue
Kawasan objek wisata Pantai Cermin Ulee Lheue
Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
Indonesia



Sejarah Masjid Baiturrahim Ulee Lheue

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, sudah berdiri sejak masa kesultanan Aceh di abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu (masjid Jami’ Ole Le) dibangun diatas tanah wakaf keluarga besar Teungku Hamzah. Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Masjid Jami Ulee Lheue. Dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.

Sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan konstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan.

foto udara kawasan Ulee Lheue pra dan paska tsunami, Masjid Baiturrahim adalah bangunan beratap hijau di bagian 'bawah tengah' foto atas, dan paska tsunami menyisakan masjid ini satu satunya bangunan yang masih utuh di kawasan itu seperti terlihat pada foto bawah.

Pada 1922 dimasa pemerintahan kolonial Hindia Belanda masjid Baiturrahim dibangun dengan material permanen dengan gaya arsitektur Eropa. berkaligrafi ejaan Arab Jawo. Masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja. Masjid ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat Meuraxa, pada waktu itu dipimpin oleh Teuku Teungoh Meuraxa sekitar tahun 1923/1926 Masehi. Almarhum Teuku Teungoh ini pula salah seorang yang kini konon memiliki tanah warisan di Pulo Batee, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.

Program swadaya dengan azas gotong-royong sangat terlihat pada masyarakat Meuraxa pada waktu itu untuk mengumpulkan dana, bagi sebagian besar kaum adam yang berprofesi sebagai nelayan, setiap pulang dari melaut hasil penjualannya disisihkan untuk masjid begitu juga dengan ibu-ibu mengumpulkan beras sedikit demi sedikit dalam eumpang (karung beras) sebanyak satu mok (satu kaleng susu), dimana akhir bulan diserahkan kepada panitia pembangunan masjid.

Metamorfosis Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh

Awalnya masjid ini berdiri pada akhir tahun 1923 tanpa memiliki kubah seperti pada umumnya, melainkan hanya ada sebuah puncak masjid yang berbentuk persegi empat. Masjid ini pun hanya bisa menampung jamaah sekitar 400-500 orang. Konon cerita dari mulut ke mulut, jenis kayu untuk plafon dan dinding terluar di lantai dua menara mesjid ini, didatangkan dari berbagai daerah di Aceh seperti Meulaboh, Singkil, dan Tapaktuan. Pada tahun 1930, selasar depan terpaksa diubah karena bentuknya menyerupai bangunan gereja. Di tahun 1981, masjid Baiturrahim mendapat bantuan dari Kerajaan Arab Saudi, sehingga dilakukanlah perluasan ke samping kiri dan kanan untuk dapat menampung jamaah sampai 1.500 orang.

Dua Babak Bencana

Pada tahun 1983 Banda Aceh diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid Baiturrahim. Setelah itu masyarakat membangun kembali masjid namun tidak lagi memasang kubah, hanya atap biasa. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1993 dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap bangunan masjid, hanya dengan menyisakan bangunan asli di bagian depan paska gempa tahun 1983. Selebihnya 60 persen merupakan bangunan baru yang disambungkan ke bangunan asli. Sampai sekarang bangunan asli masjid masih terlihat kokoh di bagian depannya keseluruhan proses renovasi itu selesai tahun 1997.

Masjid Baiturrahim setelah mengalami serangkaian restorasi dan penambahan fasilitas pendukung termasuk bangunan menara tunggalnya yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunai Darussalam (foto dari acehkita.com)

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi yang disusul terjangan tsunami meratakan seluruh bangunan di sekitar masjid dan satu-satunya bangunan yang tersisa dan selamat adalah Masjid Baiturrahim. Kondisi masjid yang terbuat dari batu bata tersebut hanya rusak sekitar dua puluh persen saja. seperti pecahnya kaca jendela serta robohnya dinding dikarena dihantam oleh mobil yang terbawa arus.

Pada saat tsunami, di masjid ini ada sembilan orang yang selamat. Bahkan, ada bayi dalam gendongan orangtuanya. Mereka mampu naik hingga ke kubahnya. Merekalah yang melihat langsung dahsyatnya tsunami pada saat itu. Kini masjid dengan balutan warna putih plus arsitektur menarik dan jendela hijau di bibir pantai Ulee Lheue ini semakin cantik, apalagi hadirnya sebuah menara kecil disampingnya. 

Masjid Baiturrahim saat ini (foto dari atjehpost.com)

Banyak wisatawan yang menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini walaupun sekedar mengabadikan foto, tercatat Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam, Bill Clinton yang juga mantan presiden AS serta presiden SBY sendiri sudah berkunjung kesini.

Masjid yang saat ini bisa menampung sekitar 1.500 jemaah itu, pada 2005 mendapat bantuan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh/Nias berupa penambahan kubah seperti saat dibangun pada masa Belanda. Di sebelah kanan berdiri kokoh menara yang menjulang tinggi. Ini merupakan bangunan bantuan dari Sultan Hassanal Bolkiah, Brunei Darussalam, pasca tsunami 26 Desember 2004.***

kini masjid Baiturrahim menjadi salah satu objek wisata ruhani di Ulee Lheue, di papan nama masjid ini tertera dengan jelas amaran untuk mengenakan busana muslim/muslimah saat memasuki area masjid.
interior Masjid Baiturrahim.
Masjid Baiturrahim seutuhnya.
kembali ke bentuk aslinya, dan dilengkapi dengan menara.)
Masjid Baiturrahim di temaramnya lampu lampu kawasan Ulee Lheue
Senja yang memerah di Ulee Lheue dengan Masjid Baiturrahim di latar belakang.