Tampilkan postingan dengan label Masjid di Kalimantan Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Kalimantan Barat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 April 2017

Masjid Raya Singkawang Kalbar

Berdiri di lahan berbentuk segitiga menjadikan Masjid Raya Singkawang begitu unik dipusat kota Singkawang.

Singkawang adalah salah satu kota di provinsi Kalimantan Barat, sebuah kota yang memiliki tradisi toleransi beragama yang sangat baik yang tercermin langsung dari tata kotanya. Kota ini memiliki sebuah Masjid Raya yang dibangun pertama kali tahun 1880 dan lokasinya berdekatan dengan sebuah Klenteng atau Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang menjad pusat peribadatan Etnit Thionghoa di Kota Singkawang.

Tradisi toleransi sudah mendarah daging bagi warga kota ini. Sekedar contoh sederhana adalah pada saat perayaan Cap Go Meh yang begitu meriah yang diselenggarakan oleh pihak Vihara dan kini menjadi salah satu atraksi pariwisata andalan kota Singkawang, akan berhenti sejenak manakala terdengar suara azan mengumandang dari pengeras suara di Masjid Raya Singkawang.

Masjid Raya Singkawang
Jalan Masjid, Melayu, Singkawang Barat
Kota Singkawang, Kalimantan Barat 79112
Indonesia



Masjid Raya Singkawang pertama kali didirikan pada tahun 1880 oleh Bawasahib Maricar dan keluarganya yang merupakan muslim pendatang dan pedagang dari Calcutta India, yang kemudian diangkat Pemerintah Belanda sebagai Kapitan di Singkawang pada tahun 1875. Kapitan Bawasahib Maricar membangun Masjid Raya di kawasan Pasar Baru Singkawang kala itu.

Saat dibangunnya Masjid tempat ibadah umat Islam di Singkawang saat itu masih sederhana, masih berukuran kecil dan tidak mempunyai menara. Kapitan Bawasahib Maricar membangun Masjid Raya di tanah miliknya yang berbentuk segitiga berdekatan dengan Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang dibangun oleh seorang Kapitan dari etnis Tionghoa. 

Namun sekitar tahun 1937, terjadi kebakaran hebat di pusat kota Singkawang kala itu, kebakaran itu telah membumihanguskan bangunan-bangunan, termasuk Masjid Raya dan Vihara. Namun tak lama berselang sekitar tahun 1940 Masjid Raya dibangun kembali  kembali ditempat yang sama oleh 3 orang bersaudara keluarga dari Bawasahib Maricar yaitu Haji B. Achmad Maricar, B. Mohammad Haniffa Maricar dan B. Chalid Maricar.

Perjalanan Sejarah Masjid Raya Singkawang hingga ke bentuknya saat ini.

Kondisi Masjid diperluas dengan sumbangan lahan tanah milik keluarga Kapitan Bawasahib Maricar, dan baru pada tahun 1953 mulai dibangun menara yang terletak disamping kiri Masjid Raya, kendati semakin luas namun bentuk areal Masjid tersebut masih berbentuk segitiga, inilah salah satu keunikan dari Masjid Raya Singkawang berdiri dengan bentuk segitiga yang dikelilingi oleh jalan raya.

Sehingga tidaklah mengherankan bila setiap pendatang atau pelancong yang mengunjungi kota Singkawang seakan akan tidak afdol bila tidak singgah atau menikmati panorama Masjid Raya Singkawang yang berdekatan dengan Kelenteng atau Vihara Tri Dharma Bumi Raya, kedua bangunan ini merupakan ciri khas tersendiri masyarakat Singkawang.

Bangunan masjid dari tahun 1940-an itu kini telah dirombak menjadi sebuah bangunan masjid megah dan modern dilengkapi dengan dua menara menjulang disisi kiri dan kanan bangunan utama. Ada beberapa bagian dari bangunan masjid lama yang masih dipertahankan keasliannya demi merawat sejarah masjid tersebut. Yang masih benar benar utuh dipertahankan adalah menara lama masjid tersebut yang masih berdiri kokoh sebagaimana aslinya bersisian dengan salah satu menara baru-nya.

Megahnya Masjid Raya Singkawang.

Perpaduan berbagai langgam bangunan masjid sangat kentara di Masjid Raya ini. Langgam masjid masjid dinasti Islam Mughal (India) terlihat jelas pada menara lamanya yang berdenah segi empat, dilengkapi dengan kubah berbentuk bawang dan dilengkapi dengan balkoni di puncak menara dibawah kubah. Bentuk kubah bawang masih dipertahankan pada kubah utama bangunan baru yang kini di cat dengan warna emas.

Dua menara kembarnya yang baru di masjid ini tentu akan sedikit mengobati kerinduan kepada masjid Nabawi dan Masjidil Harom bagi siapa saja yang pernah beribadah di dua masjid suci tersebut, karena dua menara masjid ini memang sangat mirip dengan menara menara masjid tersebut. Sementara langgam masjid masjid Eropa bagian timur terlihat pada penggunaan penopang silindris pada dua kubah besar masjid ini. 

Fasad bangunannya dibangun begitu tinggi seperti halnya masjid masjid dari dinasti Usmaniyah (Turki), sedangkan sentuhan lokal begitu kental dibagian interior masjid dengan penggunaan material kayu dan ornamen tempatan dan penggunaan kerawang (lubang ventilasi) hampir diseluruh dinding bangunan dengan jendela jendela jendela besar serta bangunan serambi yang menjadi salah satu ciri bangunan tropis.

Interior Masjid Raya Singkawang.

Masjid Raya Singkawang kini menjadi salah satu landmark dan kebanggaan warga kota Singkawang, untuk mengembangkan kegiatan ibadahnya Masjid Raya Singkawang juga mendirikan TPA atau Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an letaknya di area belakang masjid sebelah kanan. Keberadaannya sudah tentu sangat membantu pengembangan wawasan anak-anak yang beragama Islam.

Masjid yang bersih serta tertata memberikan kesan nyaman, dengan dilatari oleh bangunan kota Singkawang dan panorama Gunung Poteng yang dikenal juga sebagai "Gunung Jempol" karena puncaknya menyerupai jari jempol manusia, panorama diwaktu malam tak kalah indahnya Masjid Raya Singkawang penuh pesona.***

Sabtu, 08 Oktober 2016

Masjid Raya Mujahidin Kota Pontianak

Megah dan mewah. Kesan pertama melihat Masjid Raya Al-Mujahidin Pontianak ini.

Kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Timur, kini memiliki sebuah masjid raya megah dan moderen dengan nama Masjid Raya Mujahidin. Dinamakan Masjid Raya Muhajidin karena ingin menandakan perjuangan. Banyak perjuangan yang dilakukan di Pontianak. Mulai dari perjuangan kemerdekaan RI sampai perjuangan menyebarkan agama Islam di pulau ini. Diharapkan masjid ini bisa selalu menjadi pengingat para Muslim untuk terus aktif di kegiatan agama. 

Kota Pontianak merupakan salah satu kota tua di Indonesia dengan sejarahnya yang teramat panjang, di kota ini pernah berdiri kesultanan Pontianak dengan salah satu warisan sejarahnya adalah Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman yang merupakan masjid tertua di Kota Pontianak dan Kalimantan Barat. Kesultanan Pontianak merupakan salah satu dari sekian banyak kerajaan di Nusantara yang mendukung penuh kemerdekaan Republik Indonesia dengan salah satu tokoh terkenalnya yang juga merupakan pahlawan nasional, adalah Sultan Hamid II yang turut berkontribusi dalam merumuskan “Garuda Pancasila” sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Alamat Masjid Agung Mujahidin
JL. A.Yani, Kec.Pontianak Selatan
Kota Pontianak, Prov.Kalimantan Barat



Masjid Raya Muhajidin pertama kali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Oktober 1978 (20 Zulkaidah 1398), bertepatan dengan ulang tahun Kota Pontianak ke 207. Dalam rangka perluasan dan peremajaan bangunan masjid, pada November 2011 dilakukan pemugaran Masjid Raya dan diresmikan oleh presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Januari 2015 (29 Rabiul Awal 1436 H).

Bangunan Megah Masjid Raya Mujahidin Pontianak berdiri di atas lahan seluas 4 hektar dan mampu menampung setidaknya 9 ribu Jemaah sekaligus. Secara umum terbagi menjadi tiga bagian yakni ; Bangunan utama Masjid berukuran 60 x 60 meter, kemudian bangunan menara utama yang dibangun terpisah dari bangunan utama, dan area plaza berdenah segi empat yang dikelilingi koridor panjang berada diantara bangunan utama masjid dan menara utama.

Masjid Raya Muhajidin dibangun dengan memadukan beragam unsur arsitektur Islami dari berbagai peradaban Islam dan dipadu dengan ornamen khas masyarakat pontianak. Bangunan utamanya dibangun dua lantai, ruang sholat utama berada di lantai dua sedangkan lantai dasar digunakan untuk berbagai aktivitas pendukung. Dari area plaza ada tangga besar langsung menghubungkan ke area sholat di lantai dua.

Aerial View Masjid Raya Mujahidin Pontianak

Kubah besar bewarna keemasan sarat dengan mozaik khas Kalimantan di seluruh permukaan kubah dengan motif yang indah. Dibagian ujung kubah diletakkan ornamen sederhana meruncing sebagaimana tegaknya hurup alif. Empat buah menara menjulang di keempat penjuru masjid dengan bentuk dan tinggi yang sama, ujung menara dilengkapi dengan kubah bewarna ke-emasan polos tanpa ornamen. Seperti halnya pada kubah utama, di puncak menara ini pun dilengkapi dengan ornamen yang senada dengan kubah masjid. Bangunan masjid seperti ini mengingatkan kita pada bangunan bangunan masjid dinasti Usmaniyah yang ditandai dengan menara menaranya yang menjulang dan kubah kubahnya yang berukuran besar.

Disekeliling bangunan utama dilengkapi dengan sederatan pilar pilar tinggi dan besar lengkap dengan lengkungan lengkungan dua warna khas masjid Masjid Cordova dan Istana Alhambra hingga masjidil Harom dan Masjid Nabawi. Motif Kalimantan sangat kental terasa di interior masjid dengan balutan warna emas dalam setiap mozaik yang menghias interior masjid ini. Pembangun masjid ini cukup jeli dalam memadukan beragam unsur peradaban Islam dalam membangun masjid ini.

Masjid Raya Mujahidin Pontianak sekarang dan dulu

Pembangunan Masjid Agung Mujahidin Kota Pontianak
  
Keinginan membangun masjid begitu besar dikalangan umat muslim pontianak berawal dari dibangunnya Masjid Syuhada di Jogjakarta [1949] dan ditahun yang sama dibangun Masjid Al-Azhar di Jakarta serta direncanakannya pembangunan Masjid Istiqlal oleh Bung Karno pada awal 1950-an. Delegasi Kalimantan mengirimkan utusannya, Achmad Mawardi Djafar, Abdur Rani Macmud, Mohamad Akib, Hasan Koeboe, Muzani A Rani dan Azhari Djamaluddin untuk mengikuti Kongres Muslimin Indonesia [KMI] dan bertemu dengan Mr Assat Sutan Mudo yang saat itu menjadi pengggas dalam pembangunan Masjid Syuhada di Jogjakarta.

Saat bertemu dengan beliau, Mawardi Djafar dan Mohamad Akib meminta petunjuk dan pengalaman tokoh nasional yang sempat sebagai Pejabat Presiden RI waktu itu untuk membangun Masjid serupa di Kota Pontianak karena pada saat itu Delegasi KMI Kalimantan Barat belum mempunyai konsep yang pasti tentang masjid besar yang akan dibangun. Kepulangan delegasi KMI ke Pontianak pada awal tahun 1950 menambah semangat dan kerja keras untuk mewujudkan pembangunan masjid besar di Kota Pontianak. Achmad Mawardi Djafar dan Mohamad Akib aktif bersilaturahmi dengan para pemuka masyarakat muslim Pontianak untuk mendapat dukungan dan doa.

Lima Menara

Berawal dari Seribu Rupiah

Empat tahun sudah pembangunan masjid besar direncanakan, dan pada hari Jumat, 2 Oktober 1953 tokoh muslim terkemuka seperti Mr Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Natsir, Syamsurizal, Buya Hamka dan Anwar Tjokroaminoto mengukuhkan dan Membentuk Yayasan Mujahidin dengan para pengurus H Achmad Mashur Thahir [pengusaha terkemuka], Mohamad Saad Karim [Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pontianak], Merah Kesuma Indra Mahyuddin [pengusaha terkemuka], Achmad Mawardi Djafar [Koordinator Penerangan Agama Daerah Kalimantan Barat], Gulam Abas [pengusaha] dan Mohamad H Husein [pengusaha] dikukuhkan dalam Akta Notaris.

Keenam Tokoh tersebut berbekal modal tunai 1000 [seribu rupiah] dalam merintis pembangunan rumah ibadah yang akan diberinama Masjid Mujahidin yang termaktub dalam Pasal 3 Akta Notaris tersebut dimana tujuan didirikannya Yayasan Mujahidin tersebut dalam Tujuan dan Usaha diuraikan bahwa: “…. Tujuan Mutlak Yayasan ini, ialah mendirikan sebuah Masjid di Kota Pontianak yang akan diberi nama Masjid Mujahidin…” Para pengurus berusaha mengembangkan modal 1000 yang tersimpan di BRI Pontianak dengan cara membuka kotak amal bagi masyarakat yang akan menyumbang dana, subsidi pemerintah dan penerimaan lainnya yang dianggap halal.

Ekterior Masjid Raya Mujahidin Pontianak

Kepengurusan Pertamakalinya Yayasan Mujahidin yang terbentuk pada tanggal 2 Oktober 1953 yang terdiri dari dua orang penasehat, masing-masing Residen Koordinator Kalimantan Barat dan Walikota Besar Pontianak. Komisi Pengawas terdiri dari Raden Djenal Asikin Judadibrata [Residen Koordinator Kalimantan Barat] dan Raden Soedjarwo [Bupati Kabupaten Pontianak di Pontianak]. Badan Pengurus terdiri dari H Achmad Manshur Thahir [Ketua Umum], Mayor TNI Aminuddin Hamzah [Ketua I], Mohammad Saad [Ketua II], Merah Kesuma Indra Mahjuddin [Penulis I], Achmad Mawardi Djafar [Penulis II], Gulam Abas [Bendahara I] dan Mohammad H Husein [Bendahara II]. Selaku penandatangan akta notaris, mewakili para penghadap lainnya, masing-masing H Achmad Manshur Thahir, Mohamad Saad Karim, Merah Kesuma Indra Mahyuddin, Achmad Mawardi Djafar, Gulam Abas dan Mohamad H Husein.

Dipilihnya nama Mujahidin

Dipilihnya nama Mujahidin untuk yayasan dan masjid yang dirintis tersebut, diusulkan oleh Achmad Mawardi Djafar, dengan pemikiran mengabadikan perjuangan kaum muslim dalam kancah kolektif mempersembahkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat. Mereka maksudkan, Mujahidin sebagai monumen perjuangan ummat. Dan para penggagas yayasan ini sendiri notabene adalah pelaku sejarah di daerah ini, khususnya Achmad Mawardi Djafar dan H Achmad Manshur Thahir.

Interior Masjid Raya Mujahidin Pontianak

Setelah terbentuknya yayasan tersebut, tidklah berarti segala kesulitan teratasi dalam rangka membangun masjid yang diidamkan. Sebab, membangun masjid modern untuk ukuran zamannya di Pontianak ketika itu, bukan perkara yang mudah. Berbagai usaha segera dijalankan. Dengan faktor minimnya pendanaan, hingga dari waktu ke waktu, masjid yang digagas inipun belum juga kunjung didirikan. Namun, Yayasan Mujahidin berusaha semaksimal mungkin sesuai tujuan semulanya.

Perjalanan waktu, delapan tahun kemudian, pada 7 September 1961, diadakan pembaharuan kepengurusan Yayasan Mujahidin. Ini dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian tujuan semula, membangun masjid modern di tengah Kota Pontianak. Dalam kepengurusan yang diperbaharui itu, terdiri dari tiga Penasehat: Pangdam XII Tanjungpura Brigjen Soedarmo, Wakil Gubernur Kalimantan Barat Letkol Iwan Soepardi dan Walikota Kepala Daerah Kotapraja Pontianak HA Muis Amin. Komisi Pengawas masing-masing Raden Djenal Asikin Joedadibrata, Mohammad Akib dan H Abdussjukur Ketua DPR Daswati II Kalimantan Barat. Badan Pengurus masing-masing Ketua Umum H Achmad Manshur Thahir, Ketua I Andi Odang, Ketua II Ardan, Sekretaris I Muzani A Rani, Sekretaris II Achmad Mawardi Djafar, Bendahara I Merah Kesuma Indra Mahjudin dan Bendahara II Hasnul Kabri. Anggota terdiri dari Burhanuddin, Mohamad Saad Karim, HM Saleh HA Thalib, Andi Jusuf, Saiyan Tiong, M Soedarjo, Aliaswat Saleh dan Mohamad H Husein.

Dari sudut yang lain

Kepengurusan baru ini berusaha mensinergikan secara optimal keberadaan mereka untuk mencapai tujuan semula. Namun, malapetaka sejarah terjadi, beberapa di antara pengurus baru ini tertimpa musibah kezaliman Partai Komunis Indonesia [PKI], akibatnya mereka ini dinon-aktifkan. Kondisi itu, bersamaan dibubarkannya Partai Masyumi, di mana aktifis Yayasan Mujahidin serupa Achmad Mawardi Djafar dan Muzani A Rani adalah dua tokoh utama Masyumi di Kalimantan Barat. Mawardi Djafar anggota DPR Daswati I Kalimantan Barat dari Fraksi Masyumi dan Muzani A Rani anggota Konstituante wakil Masyumi dari Kalimantan Barat. Namun, kelahiran Orde Baru memberikan perubahan tatanan kenegaraan, dan mereka pun kembali beraktifitas di tengah masyarakat.

Selanjutnya, ketika Gubernur Kalimantan Barat dijabat Kol Kadarusno, kepengurusan yayasan mengalami perubahan untuk kedua kalinya. Dua orang tokoh pemuka masyarakat muslim Kalimantan Barat, Achmad Mawardi Djafar dan A Muin Idris, diberi mandat oleh yayasan pada 18 Januari 1975 untuk mewakili Yayasan Mujahidin untuk melakukan pembaharuan kepengurusan serta mempertegas maksud dan tujuan dari yayasan ini. Maka, pada Kamis 29 Februari 1975, dengan Akta Nomor 40 Notaris Mohamad Damiri di Pontianak, terbit Akta Perubahan Yayasan Mujahidin. Dan di bawah kepemimpinan Gubernur Kadarusno, pembangunan wujud fisik masjid dilaksanakan secara intensif.

Ribuan jemaah memadati masjid Raya Mujahidin Pontianak hingga ke plaza tengah.

Kepengurusan baru terdiri Ketua Umum Kadarusno, Ketua I Mohamad Barir SH, Ketua II H Achmad Manshur Thahir, Sekretaris I Achmad Mawardi Djafar, Sekretaris II Drs Noor Ismail, Bendahara Drs Nurdin. Pembantu Hasnul Kabri, HM Saleh H Thalib, Saiyan Tiong, Aliaswat Saleh, Muhamad Ali As SH, A Muis Amin, HM Jusuf Sjuib, A Muin Idris, HM Syah Bakie SE, Ir Daeng Arifin Hadi, Ir Said Djafar dan HA Hamid Lahir.

Pada tanggal 23 Oktober 1978 (20 Zulkaidah 1398), bertepatan dengan ulang tahun Kota Pontianak ke 207, Masjid Raya Mujahidin Pontianak diresmikan oleh Presiden Soeharto. Dan 37 tahun setelah itu Masjid Raya Mujahidin Pontianak dipugar total ke bentuknya yang megah mewah saat ini dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Januari 2015 (29 Rabiul Awal 1436 H), setelah mengalami pemugaran yang dilaksanakan sejak bulan November 2011.

Dalam acara tersebut, Presiden yang didampingi Ibu Negara melakukan peninjauan kesejumlah bagian Masjid Raya Mujahidin. Ikut hadir dalam peresmian tersebut, antara lain: Sekretaris Kabinet (Andi Wijayanto), Wakil Ketua MPR yang juga Ketua Umum Pembangunan (Oesman Sapta Odang), Wakil Ketua MPR (Hidayat Nurwahid), Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Sidharta Danusubroto), Kepala BIN (Maciano Norman), Gubernur Kalimantan Barat (Drs. Cornelis, M.H), Walikota Pontianak (H. Sutarmidji), Jajaran MUSPIDA serta masyarakat umum. Kedatangan Presiden di Kota Pontianak ini juga disambut dengan tradisi tepung tawar, yang merupakan tradisi khas masyarakat Melayu Pontianak.***

--------------

Baca Juga


Senin, 12 September 2016

Masjid Jami Sultan Nata Warisan Kesultanan Sintang

Salah satu masjid tua dan bersejarah di provinsi Kalimantan Barat. Masjid Jami Sultan Nata dari Kraton Kesultanan Sintang.

Masjid Jamik Sultan Nata merupakan salah satu peninggalan sejarah di Provinsi Kalimantan Barat. Masjid ini terletak di sebelah barat Istana Al Mukarramah Kesultanan Sintang di Jalan Bintara No.22 Lingkungan 1 RT.02 RW.01 Kelurahan Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang.

Alamat Masjid Jami' Sultan Nata
Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang
Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat 78615
Indonesia


Masjid Masjid Jamik Sultan Nata didirikan pada hari Senin 12 Muharram 1883 H atau 10 Mei 1672. Pembangunan itu bertepatan dengan penobatan Sultan Nata sebagai raja. Saat dinobatkan, usianya baru sepuluh tahun dan langsung dianugerahi gelar Sultan Nata Muhammad Syamsudin Sa’adul Khairiwaddin, sekaligus menjadi raja Islam ke-3 dalam sejarah Kesultanan Sintang.

Mengawali pembangunan masjid, didirikan sembilan tiang penyangga utama (soko). Pemasangan tiang tersebut selesai dalam satu malam di hari saat penobatan Sultan. Dan, pembangunan secara keseluruhan memakan waktu selama dua tahun. Masjid itu menjadi pusat penyebaran Islam di Sintang.

Di tepian sungai Kapuas, Masjid Jami Sultan Nata terlihat berjejer dengan Kraton Kesultanan Sintang

Membangun masjid sendiri merupakan salah satu dari tujuh kesepakatan kerabatan kesultanan yang harus dijalankan Sultan Nata begitu dinobatkan. Ketujuh kesepakatan itu meliputi mendirikan istana sebagai tempat tinggal raja, mendirikan masjid, membuat Undang-Undang (qanun), menulis silsilah raja, membuat jalan di sepanjang tepian sungai, raja bergelar Sultan, dan memerintahkan penghulu Luan mengambil Al Qur’an 30 juz tulisan tangan ke Banjar.

Pembangunan masjid dinilai sudah sangat mendesak saat Sultan Nata dinobatkan. Pasalnya jumlah umat Islam di Sintang mulai banyak tapi belum mempunyai masjid. Tempat beribadah dilangsungkan – seperti salat – masih di istana kesultanan. Tokoh dibalik pencetus pembangunan yaitu Senopati Laket dan Pangeran Mungkumilik. Keduanya mendampingi Sultan berhubung Sultan masih berusia belia.

Komplek Kraton Kesultanan Sintang. Di sebelah kiri foto adalah kraton Kesultanan Sintang, Berjejer dengan masjid Jami' Sultan Nata.

Masuknya Islam Ke Kerajaan Sintang

Sementara Islam mulai masuk ke Sintang sekitar abad ke-16. Tonggaknya yakni Raja Sintang ke-17 Pangeran Agung memeluk Islam. Ia pun menjadi Raja Sintang Islam pertama, sekaligus merupakan Raja Sintang Hindu terakhir. Penyebaran Islam ke Sintang dilakukan dua ulama besar. Mereka adalah Muhammad Saman dari Banjarmasin dan Encik Somad dari Sarawak Malaysia.

Sepeninggal Pangeran Agung, kekuasaan dilanjutkan putranya, Pangeran Tunggal. Raja Sintang Islam kedua ini, mempunyai dua orang putra, Pangeran Purba dan Abang Itut. Pengaruh Islam kian besar di Sintang. Seiring sudah berjalan di dua generasi kesultanan. Hanya saja masjid belum dibangun. Pangeran Purba menikah dengan Dayang Mengkuing, putri Raja Sanggau. Dia menetap di sana. Enggan kembali ke Sintang serta menolak mewarisi tahta kesultanan. Bahkan sampai dijemput kerabat kerajaan sekalipun, saat Pangeran Tunggal sakit keras.

Masjid Jami' Sultan Nata dari pintu gerbang

Hingga ajal menjemput Pangeran Tunggal, bujukan kepada Pangeran Purba tetap gagal. Sementara Abang Itut tak memungkinkan mewarisi tahta kesultanan lantaran sakit. Kondisi itu membuat kerabat kesultanan bermufakat untuk menentukan pengganti Pangeran Tunggal. Perundingan menghasilkan kesepakatan, pewaris kesultanan dicari dari keturunan saudara Pangeran Tunggal. Saudara Pangeran Tunggal adalah seorang perempuan bernama Nyai Cilik. Nyai Cilik bersuamikan Pangeran Mungkumilik dari Ambaluh (Kapuas Hulu). Buah pernikahan mereka melahirkan seorang putra, yakni Sultan Nata.

Sultan Nata yang masih berusia sepuluh tahun tetap dinobatkan sebagai Raja. Langkah itu diambil guna mengantisipasi kekosongan kekuasaan di Kesultanan Sintang. Hanya dalam memerintah dia didampingi dua kerabat istana, yakni Senopati Laket – yang dikenal karena kejujurannya – dan Pangeran Mungkumilik merupakan ayah dari Sultan Nata. Mereka berdua mendampingi sampai Sultan Nata berusia 20 tahun.

Interior Masjid Jami Sultan Nata

Renovasi Masjid Jami Sultan Nata

Masjid ini sudah mengalami lima kali renovasi dengan tidak mengubah bangunan aslinya. Bentuk bangunan dan ukurannya masih sama. Pertama dibangun, luasnya 20 x 20 meter. Renovasi tersebut dilakukan hanya pembangunan teras masjid saja. Penambahan itu sepenuhnya agar kapasitas daya tampung masjid memadai. Perluasan pertama masjid berlangsung di masa kepemimpinan Sultan Abdurrasyid. Dia adalah putra Sultan Abdurrahman. Sultan Abdurrahman menggantikan Sultan Nata.

Pada abad ke 18, renovasi dilakukan di masa kepemimpinan Adipati Muhammad Djamaludin yang bergelar Ade Moh Yasin. Ia merupakan anak dari Rahmad Kamarudin, pengganti Sultan Abdurrasyid. Lalu renovasi kembali dilakukan saat panembahan Abdurrasyid Kesuma 1 berkuasa. Dan, kemudian pada tahun 1994 dilakukan renovasi kembali atas bantuan dari pemerintah pusat. Tahun 2000, masjid ini dilengkapi dengan taman rumput yang cukup luas, dengan hiasan pohon-pohon palem yang rindang. Di bagian muka masjid, juga dibangun jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Sejak tahun itu pula, masjid ini ditetapkan sebagai situs cagar budaya Kabupaten Sintang.

Bangunan masjid ini berarsitektur campuran, ada unsur Melayu, Jawa, maupun Timur Tengah. Konstruksi bangunannya terbuat dari kayu bulian, kayu yang tumbuh di bumi Kalimantan. Bentuk atap masjid bercirikan khas undak layaknya tajug pada arsitektur Jawa. Atap pertama dan kedua berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi delapan. Meski telah berusia 3 abad lebih, Masjid Sultan Nata Sintang tetap kokoh berdiri. Menjadi tempat ibadah umat muslim, sekaligus sebagai saksi sejarah tentang perkembangan Islam di Sintang.

Masjid Kayu yang masih bertahan hingga kini

Arsitektur Masjid Jami Sultan Nata

Masjid Sultan Nata be-rsitektur rumah panggung khas pesisir sungai. Konstruksi bangunan masjid seluruhnya terbuat dari kayu dari pondasi hingga penutup atapnya. Masjid Sultan Nata sebetulnya telah mengalami beberapa kali renovasi, namun delapan tiang penyangga yang terbuat dari kayu belian tetap dipertahankan sesuai aslinya hingga saat ini. Tiang berupa kayu silinder setinggi lebih dari 10 meter tersebut tetap berdiri kokoh meski usianya telah melampaui tiga abad.

Bangunan masjid ini memiliki tiga susun atap. Atap pertama dan kedua berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi delapan. Bentuk atap kerucut ini juga dipakai pada atap dua menara kembar yang berada di samping masjid. Tiap bagian di dalam masjid dibalut dengan cat warna putih dengan sedikit garis-garis hijau di beberapa bagian, seperti pada jendela, dasar tiang, serta dinding. Sebagai pemanis hiasan, korden penutup jendela dipilih yang berwarna kuning, warna khas Melayu. Sementara di pojok masjid. Di masjid ini juga terdapat bedug berusia ratusan tahun yang terbuat dari sebatang pohon utuh.

Di masjid ini, para pelancong dapat menyaksikan susunan penghulu/menteri agama Kerajaan Sintang dari masa ke masa. Selain itu, takmir masjid juga menyediakan buku sederhana yang menceritakan sejarah berdirinya masjid serta renovasi-renovasi yang pernah dilakukan.***

Baca Juga


Minggu, 11 September 2016

Masjid Jami’ Kesultanan Sambas – Kalimantan Barat

Masjid Jami' Kesultanan Sambas (foto: duniamasjid.islamic-center.or.id)

Masjid Agung Jami’ Kesultanan Sambas atau Masjid Jami’ Sultan Muhammad Syafiuddin II di Kabupaten Sambas, atau Masjid Agung Kraton Sambas, merupakan bangunan masjid warisan dari kesultanan Sambas di provinsi Kalimantan Barat. Pada masanya masjid ini merupakan masjid resmi Kraton Kesultanan Sambas. Masjid tua yang dibangun dengan menggunakan kayu kayu ulin dan masih berdiri kokoh hingga kini meski sudah berusia lebih dari seabad, menjadikannya sebagai masjid tertua di Kabupaten Sambas dan Kalimantan Barat. Masjid tua ini kini menjadi aikon pariwisata pemerintah Kabupaten Sambas.

Lokasi Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin

Masjid agung kesultanan Sambas ini berdiri di dalam komplek Istana Alwatzikhoebillah, keraton kesultanan Sambas, di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasinya berada di lokasi yang sangat strategis di pertigaan Sungai Sambas atau yang lebih dikenal dengan Muare Ulakan.

Alamat Masjid Jami' Kesultanan Sambas
Jl. Istana, Dalam Kaum, Kecamatan Sambas
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat 79462
Indonesia

  
Rute perjalanan : Kabupaten Sambas berjarak sekitar 225 kilometer di sebelah utara dari Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak, dapat mengunakan bus antar ke kota menuju kota Sambas dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Dari pusat Kota Sambas, dilanjutkan menggunakan bus atau minibus menuju Istana kawasan keraton Kesultanan Sambas, Istana Alwatzikhoebillah.

Tradisi Idul Fitri Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin II

Di malam idul fitri masjid Kesultanan Sambas ini menyelenggarakan acara takbiran yang dilaksanakan bakda sholat isya. Pelaksanaan takbiran ini dilaksanakan bersamaan di dalam masjid kraton dan takbir keliling menggunakan kendaraan roda empat berpawai sambil menggemakan takbir ke seluruh pelosok Kota Sambas dan sekitarnya. Tradisi ini sudah dilaksanakan bertahun tahun secara turun temurun.

Sejarah Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin II

Masjid Agung Jami’ Sultan
Syafiuddin II di dirikan tahun 1303 Hijriah atau 10 Oktober 1885 Masehi, menjadikan masjid ini sebagai masjid tertua di Kabupaten Sambas dan merupakan salah satu masjid tertua di Provinsi Kalimantan Barat. Masjid kesultanan ini sejak awal pendirian nya sudah menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah Kesultanan Sambas hingga ke Brunai dan Malaysia, karena memang dalam sejarahnya Kesultanan Sambas memiliki keterkaitan dengan kraton kesultanan Brunai Darussalam.

Masjid Jami' Kesultanan Sambas (foto: wikipedia)

Sejarah masjid ini tak terlepas dari sejarah
Kesultanan Sambas. Sejarah Kesultanan Sambas bermula sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit di abad ke 16. Di awali dengan pernikahan anak perempuan Raja Mapahit bernama Ratu Tengah (Ratu Surya) putri kerajaan Tanjungpura (Sukadana) dengan Pangeran dari Kesultanan Brunai Darussalam bernama Sultan Raja Tengah. Sultan Raja Tengah merupakan putra dari Sultan Brunai Darussalam, Sultan Abdul Jalilul Akbar yang berkuasa tahun 1598-1659. Sultan Abdul Jalilul Akbar sendiri merupakan keturuan ke sepuluh dari Sri Paduka Sultan Muhammad, Raja Brunai yang berkuasa di abad ke 13. dari pernikahan tersebut lahirlah Raden Sulaiman.

Raden Sulaiman kemudian menikah dengan Mas Ayu Bungsu anak Ratu Sepudak, Ratu Sepundak merupakan ratu keturuan Majapahit dan berkuasa di Kerajaan Sambas dan masih menganut Agama Hindu dengan pusat pemerintahan di Kota Lama (kini berada di kecamatan Teluk Keramat, 30 KM dari Kota Sambas). Tahun 1630 Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas yang berazaskan Islam, beliau dinobatkan menjadi Sultan pertama Kesultanan Sambas di Muara Ulakan, dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Sejak saat itu Islam semakin berkembang di wilayah Sambas.

Berikut silsilah Sultan yang berkuasa di Kesultanan Sambas (diambil dari www.lepmida.com) : 
  1. Sultan Muhammad Syafiuddin I (1630-1670),
  2. Sultan Muhammad Tajuddin (1670-1708),
  3. Sultan Umar Akamuddin I (1708-1732),
  4. Sultan Abubakar Kamaluddin I (1732-1762),
  5. Sultan Umar Akamuddin II (1762-1793),
  6. Sultan Abubakar Tajuddin I (1790-1814),
  7. Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I (1814-1828),
  8. Sultan Usman Kamaluddin (wali sultan, 1828-1832),
  9. Sultan Umar Akamuddin III (wali sultan,1832- wafat 22 Desember 1846),
  10. Sultan Abu Bakar Tadjuddin II (1846-1854),
  11. Sultan Umar Kamaluddin (1854-1866),
  12. Sultan Muhammad Syafiuddin II (1866-1924),
  13. Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin II (1924-1926),
  14. Sultan Muhammad Ibrahim Syafiuddin (1926-1944),
  15. Sultan Muhammad Taufik (1944-1984),
  16. Pangeran Ratu Winata Kusuma (1984).
Bila membaca silsilah sultan yang berkuasa seperti tersebut diatas (meski terdapat tumpang tindih tahun berkuasa sultan sultan tersebut dengan data sumber lain) sangat jelas bahwa masjid tersebut diresmikan di masa pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin II.  Bila merujuk kepada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa masjid tersebut dibangun oleh sultan ke delapan dari keturunan langsung sultan Sambas, sepertinya memang masih butuh data tambahan untuk memastikan 4 sultan Sambas yang bukan keturunan langsung dari sultan Sambas pertama.

Masjid Jami' Kesultanan Sambas (foto:  google user Aji Ervanto)

Sumber lain menyebutkan (termasuk sumber di wikipedia dan buku masjid masjid bersejarah di Indonesia) bahwa :

“Masjid Jami Keraton Sambas ini awalnya merupakan rumah sultan yang kemudian dijadikan musala. Dibangun oleh Sultan Umar Aqomuddin yang memerintah Negeri Sambas pada tahun 1702-1727 Masehi, kemudian masjid kecil itu direnovasi oleh putranya, Sultan Muhammad Syafiuddin”

Sepertinya membutuhkan validasi lebih lanjut mengingat bila kita menghitung tarikh peresmian masjid di tahun 1885 dengan masa ahir pemerintahan Sultan Umar Aqomudin tahun 1727 itu terpaut  158 tahun. Bila ditambahkan lagi dengan sisa masa jabatan Sultan Muhammad Syafiuddin II selama 39 tahun, bermakna bahwa Sultan Muhammad Syafiuddin II memiliki usia yang begitu panjang paling tidak lebih dari 197 tahun. Wallohua’lam Bisshawab.

Arsitektur Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Tsafiuddin II

Masjid Agung Jami’ Sultan Muhammad Syafiuddin II mampu menampung jemaah sekitar 1000 orang, namun dengan kondisi masjid keraton ini yang sudah begitu tua dan berbentuk rumah panggung dikhawatirkan tidak mampu lagi menampung jemaah sejumlah itu. Bangunan masjid Jami kesultanan Sambas ini dibangun berbahan kayu ulin dengan bentuk atap tajuk bertingkat seperti masjid masjid tradisional di Jawa, namun dibangun dalam bentuk bangunan bertiang. Masjid ini dilengkapi dengan dua bangunan menara yang tidak begitu tinggi lengkap dengan balkoni.

Dibutuhkan perhatian dari pemerintah untuk perawatan dan pelestarian masjid bersejarah ini, bantuan terahir diterima oleh pengurus Masjid dari Pemkab Sambas tahun 2006 itupun bukan bantuan khusus melainkan bantuan yang diprogramkan untuk seluruh masjid di Kabupaten Sambas. ***

Minggu, 04 September 2016

Masjid Jamiatul Khair Kraton Amantubillah – Mempawah

Kokoh di tepi Sungai Mempawah. Dibangun di masa kekuasaan kesultanan Mempawah, Masjid Jamiatul Khair masih kokoh berdiri hingga hari ini menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di Kabupaten Mempawah.

Masjid Jamiatul Khair merupakan salah satu masjid tua di Kalimantan Barat, masjid Jamiatul Khoir merupakan masjid kerajaan dari Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak provinsi Kalimantan Barat. Pertama kali dibangun pada tahun 1906 oleh Panebahan Mempawah Mohammad Atufik Akamaddin. Lokasi Masjid Jamiatul Khair tak jauh dari Keraton Amantubillah kesultanan Mempawah. Bersama dengan Keraton Amantubillah, Masjid Jamiatul Khair menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Mempawah.

Lokasi Masjid Jamiatul Khair

Masjid Jamiatul Khair berdiri di tepian sungai Mempawah. Ditempatkan di pinggir sungai supaya memudahkan masyarakat menuju masjid, karena pada saat itu sungai dijadikan jalur transportasi utama untuk aktivitas masyarakat. Belum ada pembangunan jalan raya dan lainnya. Lokasi masjid ini juga tidak jauh dari Istana Amantubillah yang merupakan Istana Kerajaan Mempawah.

Masjid Jamiatul Khair
Kampung Pedalaman Kecamatan Mempawah Timur
Kabupaten Mempawah, Propinsi Kalimantan Barat
Indonesia


Tentang Mempawah

Kabupaten Mempawah merupakan salah satu kabupaten di propinsi Kalimantan Barat dengan julukan Bumi Galahherang. Sampai tahun 2014 kabupaten ini masih bernama Kabupaten Pontianak, kemudian diganti dengan nama Kabupaten Mempawah untuk membedakannya dengan Kota Pontianak, dan dari sisi sejarah, Nama mempawah merupakan kerajaan yang pernah berkuasa di daerah ini. Perubahan nama tersebut juga seiring dengan pemekaran kabupaten tersebut dengan disyahkannya Kabupaten Landak dan menyusul kemudian Kabupaten Kubu Raya sebagai Daerah Otonom Baru.

Kabupaten Mempawah memiliki luas 254,40 km, dengan ibukota pemerintahannya berada di kota Kecamatan Mempawah. Kota ini terletak di jalur perdagangan antara Pontianak, Singkawang dan Sambas. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang di sebelah Utara, Kabupaten Ketapang di bagian Selatan dan Laut Natuna di bagian Barat dan dengan Kabupaten Landak di bagian Timur.

Masjid Jamiatul Khair tampak depan

Di Mempawah pernah berdiri kerajaan pada abad 17 dan rajanya yang terkenal adalah Opu Daeng Menambon. Peninggalan sejarah kerajaan Mempawah masih dapat kita saksikan sampai saat ini. Makam Opu Daeng Menambon terletak sekitar 5 km dari Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir. Beliau adalah raja Mempawah yang pertama dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara yang wafat pada 26 Syafar 1175 Hijriah. Letak makamnya di atas bukit dan untuk menuju ke atas dengan melewati anak tangga yang ada. Makam ini sering dikunjungi masyarakat setempat pada hari Kamis dan Minggu.

Sejarah Masjid Jami'atul Khair

Masjid Jami'atul Khair berdiri tanggal 25 Desember 1906 oleh Panembahan Menpawah Mohammad Atufik Akamaddin. Masjid ini terletak tak jauh dari Keraton Amantubillah di tepian Sungai Mempawah. Masjid Jamiatul Khair sudah tiga kali mengalami perpindahan tempat. Yakni di Kampung Brunai, Kampung Siantan dan Kampung Pedalaman yang terletak di pinggir Sungai Mempawah. Masjid yang sekarang ini merupakan bangunan yang kedua, karena masjid pertama pernah terbakar

Ditempatkan di pinggir sungai supaya memudahkan masyarakat menuju masjid. Karena pada saat itu sungai dijadikan jalur transportasi utama untuk aktivitas masyarakat. Belum ada pembangunan jalan raya dan lainnya. Sejak dulu hingga saat ini tidak terlalu banyak perubahan fisik bangunan masjid. Bahkan dulunya, masjid memiliki pekarangan yang cukup luas dan sekelilingnya ditumbuhi pepohonan. Tetapi sekarang tanahnya sudah dikavling dan berikan kepada kerabat keraton untuk membangun rumah.

Interior Masjid Jamiatul Khair

Tempatnya yang berada tidak jauh dari Istana Amantubillah Mempawah. Setiap pengujung yang datang ke Istana Amantubillah Mempawah, pasti menyempatkan berkunjung dan beribadah di masjid  tersebut. Serta menikmati pemandangan indah Sungai Mempawah. Keraton Amantubillah didirikan oleh Raja Adidaya pada tahun 1961 dan beliau rnerupakan raja pertama dari Kerajaan Mempawah. Salah satu peninggalannya adalah Keraton Amantubillah yang terletak di kelurahan pedalaman, Kecamatan Mempawah Hilir. Keraton ini dibangun kembali oleh Panembahan Mohd. Atufik Akamaddin pada 1922 karena bangunan lama habis terbakar. Keunikan dalam keraton ini adalah terdapatnya Sigondah yang memiliki banyak cerita keanehannya.

Masih berkaitan dengan Kerajaan Mempawah, Syayid Al Habib Husein Al Qadry bergelar Tuanku Besar di kerajaan itu. Beliau wafat Rabu, 3 Djulhijjah 1184 Hijriah dan dimakamkan di Desa Sejeki, Kecamatan Mempawah Hilir. Pada masa Kerajaan Mempawah beliau adalah seorang tokoh dalam menyebarkan agama Islam di bumi Galahherang ini. Beliau juga tabib istana yang memiliki kesaktian mandraguna sehingga banyak dibutuhkan masyarakat. Hingga kini makamnya banyak dikunjungi masyarakat terutama pada hari besar Islam dan hari libur.

Arsitektural Masjid Jami'atul Khair

Masjid Jamiatul Khair merupakan salah satu masjid tertua di Mempawah. Masjid tersebut selalu ramai dipenuhi jemaah baik untuk salat Jumat, Idulfitri maupun Iduladha. Masjid tersebut memiliki panjang kurang lebih 40 meter dan lebar 30 meter. Fondasi bangunan masjid menggunakan tongkat dari jenis belian. Dulunya bagian bawah atau kolong masjid belum diberi dinding. Sekarang sudah disemen agar kolong tak terlihat. Sedangkan bagian lantai masjid masih menggunakan papan belian. Secara keseluruhan, masjid mampu menampung kurang lebih 800 orang jemaah.

Masjid Jamiatul Khair dari jembatan gantung sungai Mempawah

Meski seiring berjalannya waktu, sudah banyak bagian masjid dilakukan perbaikan. Seperti atap masjid yang dulunya menggunakan atap sirap dari belian, kini telah menggunakan atap seng, tapi bentuk aslinya masih tetap dipertahankan. Bangunan masjid memiliki dua kubah, dengan atap paling atas berbentuk limas. Dimana di atas kubah terdapat tempayan kendi, yang masih dipertahankan. Bangunan masjid yang berwarna hijau tersebut, di setiap dinding memiliki satu pintu dan empat jendela yang berfungsi mengatur sirkulasi udara.

Demikian pula pada bagian ruangan lainnya yang tetap dipertahankan untuk menjaga keasliannya. Misalnya tiang atau pilar bangunan berjumlah empat buah termasuk motif dan bentuk daun pintu serta jendela masjid. Dinding bangunan juga masih menggunakan papan belian. Sedangkan atap masjid juga masih dipertahankan menggunakan atap sirap. Namun, bagian luarnya dilapisi dengan atap seng. Juga ditambahkan dek pada bagian tengah masjid. Agar, pantulan panas matahari tidak masuk ke dalam ruangan.

Dinding dan lantai, serta empat pilar di dalam masjid masih asli. Hanya atap dan tiang bawah masjid sudah dilakukan perbaikan. Dipertahankan tempayan kendi di atas kubah masjid karena ada amanah dari Panembahan Mohammad Taufik Akamadin, yang meminta tempayan kendi di atas kubah tetap dipertahankan. Bentuk bangunan juga tidak pernah di ubah sesuai dengan amanah dari Panembahan Mohammad Taufik Akamadin.***