Tampilkan postingan dengan label Masjid Kesultanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid Kesultanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 April 2019

Masjid Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 3)

Simetrical Masjid Agung Demak.

Refleksi Sejarah

Sejarah Kesultanan Demak dimulai pada tahun 1475 dengan diangkatnya Raden Fatah sebagai Adipati Natapraja di Glagahwangi Bintoro Demak oleh Raja Majapahit Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) yang tak lain adalah ayah kandung dari Raden Fatah sendiri. Pengangkatan beliau sebagai adipati juga diberikan beberapa hadiah termasuk 8 pilar yang kini digunakan sebagai pilar penopang serambi masjid agung dan dampar kencana yang kini dipakai sebagai mimbar khutbah di masjid agung.
 
Hampir dapat dipastikan bahwa hadiah pilar pilar berukir adalah untuk keperluan pembangunan keraton, dan Dampar Kencana untuk singgasana sang Adipati, bila memang untuk pembangunan keraton artinya pada saat itu, Demak belum memiliki Keraton. Dapat difahami karena memang pada saat itu Demak sendiri masih berstatus sebagai sebuah Kadipaten di wilayah Majapahit.
 
Dikemudian hari delapan pilar berukir itu nyatanya justru dipakai untuk pembangunan serambi Masjid Agung Demak oleh Sultan Yunus (Pati Unus) memunculkan dugaan bahwa keraton Demak tidak pernah benar benar dibangun, bahwa kemungkinan para Sultan Demak tinggal di kediaman mereka diantara kediaman masyarakat umum yang juga difungsikan sebagai Keraton.

Atap tajuk atau atap limas atau atap berbentuk piramida dibangun sangat mirip antara atap Masjid Agung Demak (bagian belakang foto) dan atap yang menaungi Makam Raden Fatah dan Keluarga yang berada di belakang Masjid Agung Demak. 

Proklamasi Demak sebagai sebuah Kesultanan Merdeka dari Majapahit terjadi setelah Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma atau Bhre Kertabhumi ada juga yang menyebutnya sebagai Brawijaya V yang merupakan Ayah kandung dari Raden Fatah dikudeta oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Bhre Keling (Brawijaya VI) dari tahta Majapahit pada 1478.
 
Girindrawardhana atau Brawijaya VI merupakan menantu Brawijaya V atau ipar Raden Fatah yang justru merebut takhta mertuanya itu. Situasi ini membuat peluang Raden Fatah untuk menjadi raja Majapahit penerus ayahnya pun pupus. Berahirnya kekuasaan Brawijaya V terjadi tiga tahun setelah Kadipaten Glagahwangi (Demak) berdiri sekaligus menjadi awal berdirinya Kesultanan Demak sebagai sebuah negara merdeka.
 
Benang merah Jakarta, Cirebon dan Demak
 
Sejak masa kekuasaan kerajaan hingga kesultanan, tanah Jawa tak pernah bersatu di bawah satu pemerintahan. Pada masanya Majapahit berkuasa dibagian timur dan Kerajaan Sunda menguasai bagian barat pulau Jawa. Dua kerajaan besar yang pernah terlibat dalam perang besar dan kemudian menjadi sebab melemahnya kedua kerajaan itu.

Makam para Sultan Demak. 

Girindrawardhana atau Brawijaya VI merupakan menantu Brawijaya V atau ipar Raden Patah yang justru merebut takhta mertuanya itu. Situasi ini membuat peluang Raden Patah untuk menjadi raja Majapahit penerus ayahnya pun pupus. Berahirnya kekuasaan Brawijaya V terjadi tiga tahun setelah kesultanan Demak berdiri.

Benang merah Jakarta, Cirebon dan Demak

Sejak masa kekuasaan kerajaan hingga kesultanan, tanah Jawa tak pernah bersatu di bawah satu pemerintahan. Pada masanya Majapahit berkuasa dibagian timur dan Pajajaran menguasai bagian barat pulau Jawa. Dua kerajaan besar yang pernah terlibat dalam perang besar dan kemudian menjadi sebab melemahnya kedua kerajaan itu.

Sampai tiba suatu masa, Demak berdiri sebagai sebuah kesultanan di tahun 147*, dan menjadi titik balik kejayaan kerajaan Majapahit. Sementara di bagian barat pulau Jawa, tak lama setelah itu Kesultanan Cirebon berdiri memerdekakan diri dari kekuasaan Pajajaran. Demak dibangun oleh Raden Fatah Anak Prabu Brawijaya V Raja ke 11 Majapahit, sedangkan Cirebon dibangun oleh Syarif Hidayatullah cucu dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi Raja Pajajaran pemersatu dan penerus kerajaan Sunda.

Dibagian atas mihrab (pengimaman) jauh di bagian depan diantara dua sokoguru anda dapat melihat lambang Surya Majapahit bewarna kuning dengan warna dasar hijau.

Anda akan menemukan lambang ‘mirip” Surya Majapahit di Masjid Agung Demak, dan anda juga akan menemukan lambang yang ‘mirip’ Surya Majapahit di atas mihrab Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Anda dengan mudah menemukan hal hal beraroma Majapahit di Masjid Agung Demak dan anda juga akan menemukan hal hal yang berkaitan erat dengan Pajajaran di Keraton Kasepuhan hingga ke Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.
 
Dan sejarah mencatat dengan indah kedua kesultanan itu kemudian bersatu padu menyerbu kekuasaan Portugis yang mulai bercokol di Sunda Kelapa, serbuan yang berjaya dan menjadi titik awal berdirinya Kesultanan Jayakarta yang sekian abad setelah itu, kota yang dididirkan oleh para penerus dua kerajaan besar tanah Jawa itu menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia.
 
Suatu saat bila saja anda mau sedikit merenung di silang Monas, anda akan menemukan ruh masa lalu Nusantara di Ibukota Negara, dimana sebuah alun alun besar menjadi titik pusat kekuasaan dikelilingi dengan Masjid Agung, Pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Semua mengingatkan kita bahwa kita adalah bangsa yang besar dengan sejarah yang teramat panjang, dan jangan pernah sekali sekali melupakan sejarah. Wallahuwa’lam bisshawab.*** SELESAI.
 
[dari berbagai sumber, data diolah, telah diupdate pada 4 Mei 2025]

Sabtu, 06 April 2019

Masjid Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 2)

Ba'da Subuh di Masjid Agung Demak.

Arsitektur Masjid Agung Demak

Bangunan asal yang dibangun pada era Raden Fatah kini menjadi bangunan induk tempat mihrab, mimbar dan maksurah berada. Bangunan induk tersebut kemudian ditambah dengan bangunan Serambi pada masa pemerintahan Adipati Unus atau Pati Unus atau dikenal juga dengan nama Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak ke dua (1518-1521).
 
Pembangunan masjid Agung Demak melibatkan langsung para wali yang masih hidup di masa itu. Sejarah menyebutkan bahwa para wali tersebut yang membuat langsung empat sokoguru atau pilar penopang utama masjid ini. Tiga pilar dibuat dari kayu jati utuh berukuran besar sedangkan satu pilar dibuat dari serpihan serpihan kayu dari tiga pilar tersebut.
 
Sokoguru yang berada di barat laut (kanan depan) didirikan Sunan Bonang, di barat daya (kiri depan) karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara (kiri belakang) buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut (kanan belakang) karya Sunan Kalijaga yang dibuat dari serpihan kayu, masyarakat Demak menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.

Empat sokoguru didalam Masjid Agung Demak.

Ke empat sokoguru tersebut terbuat dari kayu jati tua dan kini masih berdiri kokoh ditempatnya. Upaya konservasi terhadap empat tiang bersejarah tersebut dilakukan dengan menambahkan pelapis di bagian luar juga dengan kayu jati berukuran tebal melapisi seluruh masing masing tiang tersebut dibagian luar.

Pemugaran Tahun 1987
 
Masjid Agung Demak pernah direnovasi dimasa pemerintahan Presiden Suharto. Renovasi dilakukan untuk mempertahankan Masjid Agung Demak yang sudah termakan usia. Renovasi saat itu dilakukan dengan tetap menjaga keaslian bentuk Masjid Agung Demak. Penggantian dan perbaikan bagian bagian yang sudah lapuk seiring berjalannya waktu.
 
Sokoguru yang kini berdiri merupakan sokoguru dari masa renovasi tersebut, sedangkan sokoguru aslinya kini disimpan digedung museum Masjid Agung Demak yang dibangun dipelataran depan masjid. Penggantian sokoguru dilakukan karena kondisinya yang sudah sangat mendesak, bagian atas sokoguru diketahui sudah benar benar lapuk termasuk akibat cairan hewan malam yang seringkali hinggap disana

Pemugaran terhadap Masjid Agung Demak pernah dilakukan di masa pemerintahan Presiden Soeharto dan diresmikan pada tanggal 21 Maret 1987.

Peresmian masjid Agung Demak setelah renovasi dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 1987 oleh Presiden Suharto. Turut hadir dalam upacara peresmian tersebut diantaranya adalah Ibu Tien Suharto, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan, Menteri Dalam Negeri Suparjo Rustam, dan Ibu E.N. Soedharmono
 
Hal yang memprihatinkan terjadi pada sokotatal yang dibuat oleh Sunan Kalijogo, saat ini soko tatal tersebut tinggal tersisa lebih kurang satu meter saja, selain memang sudah lapuk pada saat diganti, tapi ternyata juga menjadi objek “pencongkelan” para pengunjung museum untuk dijadikan semacam “oleh-oleh” atau lainnya, sebelum kemudian seluruh empat sokoguru tersebut diproteksi oleh pengelola museum dengan dinding kaca.

Beberapa bangunan dan fasilitas ditambahkan ke masjid Agung Demak ini dikemudian hari termasuk penambahan bangunan pawastren atau tempat sholat khusus Jemaah wanita dibangun pada masa K.R.M.A.Arya Purbaningrat 1866 M. Menara masjid ini pun dibangun jauh setelah pembangunan masjid, dibangun di abad ke 20 di prakarsai para ulama seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin.

Presiden Suharto dan rombongan di Masjid Agung Demak saat peresmian Pemugaran Masjid Agung Demak Pada 21 Maret 1987.

Pembangunan fasilitas penunjang dan perbaikan komplek masjid terus belanjut hingga ke masa kemerdekaan termasuk pembangunan termpat wudhu, kantor takmir dan pengurus juga pembangunan museum masjid Agung Demak yang menyimpan berbagai artifak sejarah yang berhubungan dengan Masjid Agung dan kesultanan Demak.

Duplikasi Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak secara utuh kemudian di tiru oleh para tokoh masyarakat dan Ulama kesultanan Banjar (Kalimantan Selatan) saat mereka membangun Masjid Jami’ Martapura (1897 M), utusan dari Kesultanan Banjar sengaja datang ke Demak untuk melihat Masjid Agung Demak dan membuat maket masjid tersebut lengkap dengan skala demi keperluan pembangunan masjid Jami’ kesultanan Banjar. Masjid Jami’ Martapura yang asli kini sudah berganti menjadi sebuah masjid yang begitu megah dan modern bernama Masjid Agung Al-Karomah Martapura.

Bentuk masjid beratap Joglo seperti ini tak hanya ditemui pada masjid masjid yang dibangun setelah era Masjid Agung Demak, tapi pada masjid masjid yang dibangun sebelum Masjid Agung Demak berdiri pun sudah memakai struktur demikian. Seperti contoh pada masjid tertua di Indonesia Masjid Saka Tunggal(1288) di Banyumas yang menggunakan atap joglo bertiang tunggal, itu sebabnya disebut masjid saka tunggal. Lebih jauh ke timur kita akan temukan bentuk yang sama pada Masjid Wapauwe (1414) Masjid tua Maluku Tengah.

Dari sudut ini hampir keseluruhan Masjid Agung Demak tampak dalam satu frame. Saat saat menjelang pagi hari, ketika para peziarah sudah mulai bergerak dari masjid menuju komplek pemakaman para Sultan Demak di bagian belakang masjid ini.

Kita akan menemukan pola yang sama pada masjid masjid tua Indonesia diberbagai daerah seperti contoh, Masjid Sultan Suriansyah (1526) di Banjarmasih Kalimantan Selatan, Masjid Al-Hilal Katangka (1603) di kampung halaman nya Shekh Yusuf di Kabupaten Gowa, Sulsel. Dan Masjid Tua Palopo(1604) peninggalan Kesultanan Luwu di Kota Palopo, SuIawesi Selatan. Masih ada lagi Masjid Djami Keraton Landak (1895) di Kabupaten Landak, Kalimantan barat serta Masjid Agung Air Mata - Kupang (1806). Arsitektural masjid dengan atap joglo atau bentuk limas ini menyebar di seluruh tanah air dari pulau sumatera di barat hingga ke wilayah timur Indonesia.

Yang lebih menarik kemudian bahwa arsitektural  masjid asli Nusantara ini juga dipakai di masjid masjid tua di negeri serantau, seperti contohnya adalah dua masjid tua di Kota Malaka, Malaysia yakni Masjid Kampung Keling Malaka, Malaysia (1748M) dan Masjid Kampung Hulu Malaka, Malaysia (1728M). 

Para peziaran dari berbagai daerah memadati area komplek pemakaman para Sultan Demak di komplek Masjid Agung Demak ini. Mereka yang datang dari berbagai daerah menggunakan berbagai moda kendaraan menginap di masjid Agung dan dibimbim oleh para pembimbingnya masing masing menuju ke komplek pemakaman ini melalui koridor disebelah kanan masjid. 

Tak hanya masjid masjid tua yang menggunakan rancangan masjid warisan kejayaan Majapahit itu. Arsitektur Masjid dengan atap Joglo bersusun tiga ini seperti sudah menjadi ciri khusus masjid khas Indonesia. Bila anda masih ingat dengan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yayasan yang didirikan oleh Alm. Pak Harto semasa masih berkuasa, setiap masjid yang dibangun dengan dana dari yayasan ini selalu menggunakan atap limasan (joglo) bersusun tiga dengan 4 sokoguru pada masjid masjid yang dibangun.

Masjid masjid megah yang di beberapa kota tanah air yang didirikan di abad ini pun tak sedikit yang masih mengadopsi arsitektur tradisional asli Indonesia ini, meski dengan sentuhan modern dan berteknologi terkini, beberapa juga dibangun tanpa 4 sokoguru. Seperti contoh Masjid Raya Batam yang dibangun tahun 1997 dan bagian bangunan perluasan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II di kota Palembang, Sumatera Selatan yang menggunakan struktur atap limas untuk tetap memberikan harmonisasi dengan atap limas bersusun tiga pada bangunan masjid asli yang masih terjaga dengan baik di bagian paling depan dari keseluruhan komplek Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II. [telah di update pada 4 Mei 2025]

(Bersambung ke bagian 3, ahir)

Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
------------------------------------------------------------------


Senin, 31 Desember 2018

Masjid Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara

Awal hari yang cerah di Masjid Agung Demak.

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia dan di Nusantara, sekaligus juga merupakan masjid pertama yang dibangun sebagai masjid kesultanan di Nusantara. Lokasinya berada di desa Kauman, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.

Sejak dibangun, masjid agung Demak telah menjadi rujukan pembangun masjid masjid kesultanan lainnya di wilayah Nusantara, baik yang kini menjadi wilayah Republik Indonesia hingga ke wilayah Negara tetangga termasuk Malaysia dan Brunai Darussalam.

Masjid Agung Demak dipercaya sebagai tempat berkumpulnya Walisongo untuk membahas dakwah agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan di Nusantara pada umumnya. Sejarah pembangunan masjid ini berkaitan erat dengan sejarah berdirinya Kesultanan Demak sebagai Kesultanan pertama di Nusantara melepaskan diri secara menyeluruh dari pengaruh kerajaan Majapahit.



Kesultanan Demak berdiri dengan dukungan dari para wali yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertamanya. Raden Fatah sendiri diketahui merupakan salah satu putra dari Prabu Brawijaya, Raja Majapahit yang berkuasa pada saat berdirinya Kesultanan Demak di abat ke 15 miladiah.

Raden Fatah atau juga dikenal dengan Sultan Fatah wafat dan dimakamkan di sebelah barat komplek Masjid Agung Demak bersama dengan sultan Demak yang lain beserta keluarga dan para abdinya.

Lokasi Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak terletak di Desa Kauman, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. berjarak lebih kurang 26 km dari Kota Semarang, atau 25 km dari Kabupaten Kudus, dan 35 km dari Kabupaten Jepara.

Dibangun disisi barat alun alun Demak, Masjid Agung Kesultanan Demak masih berdiri kokoh hingga kini dengan bentuk aslinya, lengkap dengan satu menara yang dibangun jauh setelah masjid ini berdiri.

Masjid Agung Demak berada di tengah kota disisi sebelah barat alun-alun. Sebagai Kesultanan pertama di tanah Jawa dan Nusantara, tata letak masjid Agung Demak ini menjadi rujukan tata kota lainnya di Nusantara dengan ciri khususnya adalah adanya alun alun berukuran cukup luas di pusat kota dilengkapi dengan Masjid Agung disisi sebelah barat, begitupun dengan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian yang dibangun tak jauh dari alun alun kota.

Namun demikian keberadaan keraton kesultanan Demak masih menjadi misteri hingga kini. Meskipun banyak pihak menduga bahwa bekas keraton Kesultanan Demak berada di sebelah selatan alun alun Demak.

Sejarah Masjid Agung Demak

Raden Fatah membangun Masjid Agung Demak di tahun 1401 Saka atau 1477 Miladiyah, atau dua tahun setelah beliau diangkat sebagai adipati Glagahwangi (Demak) di tahun 1475M sebagai sebuah kadipaten didalam lingkup kerajaan Majapahit. Ditahun 1478 dengan dukungan para wali beliau dinobatkan sebagai Sultan Demak bergelar Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Munculnya nama Palembang dalam gelar beliau karena beliau memang lahir dan besar di Palembang (Sumatera Selatan) dari Ibu nya yang berasal dari Campa.
 
Sebelumnya Demak merupakan bagian dari wilayah kesatuan kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) yang tak lain adalah ayah kandung dari Raden Fatah. Sebagai putra raja Majapahit, Raden Fatah memang dibentangkan karpet merah ke wilayah kekuasaan. Tak mengherankan jika sebelum menjadi Sultan Demak beliau telah dianugerahi jabatan oleh ayah-nya sebagai Adipati Natapraja di Glagahwangi (Demak) di tahun 1475 M. 

Di dalam ruang utama Masjid Agung Demak.

Beliau juga menerima hadiah 8 pilar berukir dari ayahnya yang dikemudian hari digunakan sebagai pilar penopang di serambi Masjid Agung Demak dimasa pemerintahan Adipati Yunus (Pati Unus). Pilar pilar tersebut masih dapat kita lihat keberadaannya hingga kini dan disebut dengan pilar Majapahit.
 
Proklamasi Demak sebagai sebuah Kesultanan Merdeka dari Majapahit terjadi setelah Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) raja Majapahit yang merupakan Ayah kandung dari Raden Fatah dikudeta oleh Dyah Ranawijaya dari tahta Majapahit.
 
Tak pelak, berdirinya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam dan melepaskan diri dari pengaruh Majapahit mengundang kemarahan pihak keraton Majapahit yang kemudian mengirimkan pasukan untuk menyerang Demak. Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh pasukan Demak. Disebutkan bahwa salah satu dari pimpinan pasukan Majapahit bernama Raden Sepat bahkan kemudian mengikrarkan ke-Islaman nya dan bergabung dengan kesultanan Demak.
 
Raden Sepat yang kemudian terlibat langsung dalam proses merancang Masjid Agung Demak dengan, kemungkinan besar beliau merupakan bagian dari pasukan zeni tempur Majapahit sehingga memiliki kemampuan arsitektur yang cukup memadai.
 
Tidak dapat dipungkiri bahwa warisan seni arsitektur Majapahit sangat kental dalam rancang bangun Masjid Agung Demak ini, dengan menerapkan bentuk bangunan aula luas beratap limasan bertingkat sebagaimana lazimnya sebuah bangunan besar di era Majapahit.

Serambi Masjid Agung Demak, perhatikan pilar pilar Majapahit yang indah terbuat dari kayu jati berukir.

Masjid Agung Demak dibangun dibangun di lokasi bangunan pondok pesantren Glagahwangi, tempat Raden Fatah menimba ilmu agama dibawah asuhan Sunan Ampel. Wajar bila kemudian para wali mendukung penuh berdirinya kesultanan Demak. Pesantren Glagahwangi didirikan oleh Sunan Ampel ditahun 1466 Miladiyah, sekaligus berfungsi sebagai Masjid.

Pembangunan Masjid Agung Demak tersebut kemudian diabadikan dalam sebuah prasasti yang ditempatkan di dalam ruang mihrab dan dikenal sebagai Condro Sengkolo Memet. Sebuah prasasti berbentuk bulus (kura kura) yang berarti “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”.

Gambar bulus terdiri dari ; satu kepala yang berarti angka satu, empat kaki berarti angka empat, badan bulus yang bulat berarti angka nol, satu ekor bulus berarti angka satu, yang bermakna tahun 1401 Saka yang kemudian disepakati tahun tersebut bertepatan dengan tahun 1477 Miladiyah.

Masjid agung Demak dari arah komplek makam para Sultan Demak, sesaat setelah waktu sholat subuh.

Berdirinya Kesultanan Demak ini dikemudian hari diikuti dengan berdirinya kesultanan Cirebon yang selanjutnya diikuti dengan berdirinya Kesultanan Banten dan berbagai Kesultanan lainnya di wilayah Nusantara.

Disebutkan bahwa Raden Sepat yang mengarsiteki pembangunan masjid Agung Demak juga terlibat dalam proses rancangan Masjid Agung Sang Ciptarasa di Kesultanan Cirebon dan Masjid Agung Banten di Kesultanan Banten.

Sehingga anda akan dengan mudah menemukan kemiripan diantara tiga masjid tersebut. Bahkan beberapa penulis tak segan menyebut ketiga masjid tersebut sebagai tiga masjid kembar. Beberapa menyebutkan masjid Agung Demak sebagai kembaran Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. (semua foto dari akun instagram @hendrajailani). [Telah di Update pada 3 mei 2025].

(Bersambung ke Bagian 2)
.
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
------------------------------------------------------------------


Sabtu, 30 September 2017

Masjid Ferhat Pasha Banjaluka Bosnia & Gerzegovina

Masjid Ferhat Pasha Setelah rekonstruksi

Masjid Ferhat Pasha ini menjadi salah satu saksi bisu etnic cleansing terhadap muslim bosnia yang terjadi di Banjaluka di tahun 1993. Upaya pembersihan muslim di Banjaluka dan di wilayah Bosnia Herzegovina lainnya akan dikenang selamanya sepanjang sejarah peradaban manusia sebagai tindakan biadap secara massif yang terjadi di era Modern Eropa di penghujung abad ke 20.

Masjid Ferhat Pasha adalah Masjid Agung di kota Banjaluka, Republik Federasi Bosnia & Herzegovina. Masjid ini dinamai Masjid Ferhat Pasha sebagai penghormatan kepada Sanjak-bey Ferhat-paša Sokolović yang merupakan Gubernur emperium Usmaniyah di wilayah Sanjak Bosnia. Masjid ini pertama kali dibangun tahun 1579 dan merupakan salah satu warisan arsitektur terbaik dari abad ke 16 di Banjaluka.

Ferhat Pasha Mosque | Ferhat-pašina džamija
Kralja Petra I Karađorđevića, Banja Luka 78000
Bosnia dan Herzegowina



Seiring dengan runtuhnya Uni Soviet di tahu 1990-an, berbagai negara anggota federasi negara Soviet memproklamirkan kemerdekaan begitupun dengan negara negara sekutunya termasuk Republik federasi Yugoslavia yang terdiri dari beberapa negara bagian termasuk Bosnia & Herzegovina yang penduduknya mayoritas Muslim.

Upaya kemerdekaan negara negara bagian Yugoslavia mendapat pertentangan keras dari ernis Serbia yang merupakan etnis terbesar di Federasi tersebut yang pada ahirnya berujung kepada upaya paksa dengan tindakan brutal yang disebut oleh PBB dan dunia internasional sebagai tindakan “etnic cleansing” (pemberangusan etnis) dalam artian sebenarnya.

Muslim Bosnia & Herzegovina yang menjadi korban terparah dari malapetaka tersebut. Puluhan ribu jiwa atau bahkan lebih, terbunuh menjadi korban pembantaian brutal termasuk muslim di kota Banjaluka. Pada malam hari 7 Mei 1993 milisi Serbia menyerbu kota Banjaluka melakukan tindakan biadab tak terperi terhadap muslim Bosnia.

Tercatat sekitar 60.000 muslim bosnia dan minoritas Kroasia menjadi korban peristiwa itu termasuk yang di bantai, di tawan ataupun terusir dari Banjaluka dalam keadaan yang teramat memprihatinkan.

Masjid Ferhat Pasha sebelum dihancurkan oleh milisi Serbia.

Milisi Serbia juga melakukan bumi hangus terhadap semua yang berbau muslim di Bajaluka, menghancurkan rumah rumah yang ditinggalkan, membuldozer atau meledakkan masjid masjid di kota tersebut. Masjid Ferhat Pasha menjadi salah satu masjid yang menjadi sasaran penghancuran, masjid ini diratakan dengan tanah menggunakan bulldozer hingga tak bersisa sama sekali.

Rekonstuksi Masjid Ferhat Pasha

Bosnia & Herzegovina dan seluruh semenanjung Balkan kembali normal paska pengerahan pasukan perdamaian besar besaran oleh PBB. Muslim Banjaluka berangsur kembali ke kampong halaman mereka yang tersisa dalam puing puing reruntuhan termasuk masjid masjid tempat mereka beribah.

Dalam suasana damai yang baru pulih, muslim Banjaluka memulai kembali kehidupan mereka, bukan dari nol tapi dari titik minus dibawah nol. Mereka bahkan tak lagi memiliki tempat tinggal yang layak apalagi tempat ibadah. Bantuan dunia internasional mengalir ke wilayah itu untuk memulihkan situasi.

Empat belas tahun setelah dihancurkan oleh Milisi Sebia, Masjid Ferhat Pasha ini mulai di rekonstruksi. Pemerintah Turki yang kemudian mendanai proses rekonstruksi tersebut bersama dengan pemerintah Bosnia Herzegovina. Sebuah proses rekonstruksi yang tak mudah, membangun kembali sesuatu yang sudah sama sekali tak bersisa.

Masjid Ferhat Pasha saat ini setelah direkonstruksi

Penolakan Etnis Serbia

Rekonsruksi masjid ini bukan tanpa kendala. Upaya pertama untuk rekonstruksi sebenarnya sudah dilakukan di awal tahun 2001. Namun, lagi lagi etnis Serbia kembali berulah dengan menolak proses rekonstruksi hingga terjadi kerusuhan. Seorang jurnalis independen dari banjaluka mengatakan bahwa keadaan memang sudah berubah setelah perang namun masih jauh dari toleransi dan re-integrasi.

Dia menuliskan demikian sebagai saksi mata pada saat upacara peletakan batu pertama rekonstruksi masjid Ferhat Pasha, namun kemudian keadaan memanas dan berubah menjadi brutal ketika kendaraan bus yang ditumpangi Jemaah yang hadir dalam upacara tersebut di lempari dan dibakar masa perusuh etnis Serbia. Dia menuliskan dalam laporannya bagaimana nafas kebencian masih menggelora di Banjaluka.

Sembilan tahun rekonstruksi

Muhamed Hamidovic, mantan Pimpinan Fakultas Arsitektur Sarajevo yang memimpin proses restorasi. Sebuah proses yang tak mudah dimulai dengan mengumpulkan semua sketsa dan foto masjid sebelum dihancurkan, termasuk upaya beliau mengumpulkan kembali semua sketsa masjid ini yang pernah ia buat pada saat dia masih menjadi mahasiswa di masa Federasi Sosialis Yugoslavia termasuk sketsa rehab masjid tersebut paska gempa di tahun 1968 ditambah dengan semua digram, denah dan gambar teknik yang pernah dibuat dimasa itu.

Rekonstruksi adalah proses pembangunan kembali dengan (sedapat mungkin) menggunakan material asli dari bangunan yang telah dihancurkan. Tim rekonstruksi harus bekerja keras menjejak satu persatu setiap serpihan material masjid ini dengan melakukan wawancara kepada penduduk setempat. Satu persatu serpihan material itu dikumpulkan dari berbagai tempat yang berserakan di sekitar Banjaluka setelah 14 tahun penghancuran.

Interior Masjid Ferhat Pasha

Beberapa potongan batu bahkan ditemukan sudah berada di bengkel tukang batu, tertimbun timbunan puing dan sampah hingga di dasar sungai. Dan tidak semua material yang ditemukan tersebut masih dapat digunakan kembali karena sudah mengalami kerusakan parah.

Ada 3500 pecahan material yang ditemukan oleh tim rekonstruksi atau sekitar 65% dari bangunan masjid asli, sisanya tidak dapat ditemukan kembali. Dari sekian banyak pecahan tersebut hanya satu bagian yang ditemukan masih relative utuh berupa sebuah pilar masjid yang ditemukan oleh anggota klup penyelam banjaluka di dasar danau Banjaluka.

Satu persatu kepingan yang ditemukan diidentifikasi keterkaitannya dengan bangunan masjid Ferhat Pasha, anggota tim ini menggunakan arsip arsip dari era Usmaniyah untuk mengidentifikasi masing masing kepingan tersebut. Termasuk untuk mendapatkan material bangunan pengganti untuk bagian yang sudah tidak dapat ditemukan lagi.

Sebuah system computer dirancang khusus untuk memindai masing masing pecahan material tersebut untuk menentukan lokasinya tempatnya berada pada bangunan masjid Ferhat Pasha. Sedangkan lokasi asli masjid ini masih dapat dikenali dari landasan pondasi masjid yang masih tersisa termasuk juga kesaksian penduduk muslim setempat yang selamat dari malapetaka 1993.

Suasana peresmian pembukaan kembali Masjid Ferhat Pasha setelah rekonstruksi

Pembukaan Kembali Masjid Ferhat Pasha

Butuh waktu 9 tahun yang melelahkan untuk membangun kembali masjid Ferhat Pasha ini sesuai bentuk aslinya dan menggunakan sebagian besar material aslinya. Dan hasilnya memang cukup menakjubkan, bangunan masjid ini kembali tampil di tempatnya berada dalam bentuk aslinya, menjadikannya sebagai bangunan hasil rekonstuksi terbaik dan terbesar di Balkan setelah rekonstruksi Jembatan Mostar yang begitu terkenal dan juga merupakan peninggalan Dinasti Usmaniyah dan dibuka tahun 2004.

Upacara pembukaan kembali masjid Ferhat Pasha dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2016.atau sekitar 23 tahun setelah masjid tersebut dihancurkan oleh milisi Serbia. Upacara pembukaan kembali masjid ini dihadiri setidaknya 20.000 orang yang tumpah ruah membanjiri sekitar masjid ini dalam haru biru.

Namun demikian, semua tak sama lagi. Dari puluhan ribu warga muslim Banjaluka sebelum perang, kini tersisa sekitar 8000 jiwa muslim saja di kota itu dibandingkan dengan 30.000 jiwa dimasa sebelum perang di tahun 1992.

Bagi Muhamed Hamidovic selaku ketua tim rekonstruksi masjid Ferhat Pasha beserta seluruh anggota tim-nya, selesainya proyek rekonstruksi ini merupakan sebuah kebanggaan dan kepuasan tersendiri dan tentu saja menjadi modal berharga bagi proyek rekonstruksi selanjutnya terhadap lebih dari 2.500 situs sejarah dan budaya yang hancur selama perang di Bosnia & Herzegovina dan tentu saja teramat membantu memulihkan situasi, suasana dan ingatan indah semasa sebelum perang.***

====================================
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam
==================================== 

Baca Juga


Sabtu, 02 September 2017

Masjid Selimiye Edirne, Turki

Masjid Selimiye, Edirne, Turki

Masjid Selimiye atau dalam Turki disebut dengan Selimiye Camii dan dalam Bahasa Arab disebut dengan Jami’ Salimiyah, adalah masjid bersejarah peninggalan emperium Usmaniyah (Turki Usmani) di kota Edirne. Masjid ini dibangun atas perintah Sultan Selim II karenanya dinamai Masjid Selimiye. Pembangunannya dilaksanakan antara tahun 1568 sampai 1574 dan dirancang oleh arsitek Mimar Sinan.

Masjid Selimiye merupakan salah satu dari mahakarrya Mimar Sinan yang dikenal sebagai arsitek terbesar emperium Usmaniyah. Bangunan masjid ini pernah dikonservasi tahun 1954-1971 dan masih berfungsi hingga hari. Sebagai sebuah mahakarya masjid ini diabdikan dalam lembaran uang kertas pecahan 10.000 lira Turki lira dari 1982-1995. Komplek Masjid Selimiye ini juga telah didaftarkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2011.

Keseluruhan komplek masjid ini seperti komplek masjid masjid Turki lainnya disebut sebagai Külliye, semacam Islamic Center, terdiri dari bangunan masjid sebagai pusatnya di dukung dengan bangunan bangunan lainnya termasuk kompleks madrasah, perpustakaan, rumah sakit, dan Hamam (pemandian umum khas Turki). Ditambah lagi dengan Pusat pengkajian dan pembelajaran Hadist, kantor pengurus dan pengelola serta jejeran pertokoan.



Karya Monumental Mimar Sinan

Karya Mimar Sinan memang dikenal luas sebagai ciri khas dari masjid masjid dari era Emperium Usmaniyah dengan ciri yang sangat kental dan langsung dapat dikenali dari bentuk dan bentuk bangunan masjidnya. Hampir keseluruhan masjid masjid besar dari era ini ditandai dengan bangunan masjid yang tinggi besar, kubah berukuran besar mendominasi atap bangunan masjid dan menara yang ramping menjulang tinggi dan runcing seperti sebatang pensil.

Kubah Masjid Selimiye ini dirancang dengan bentuk kubah bertingkat tingkat, kubah utama ditopang oleh beberapa bangun semi kubah. Kubah utama masjid ini setinggi 43,24 meter dengan diameter 32,25 meter, sedangkan beratnya mencapai 2000 ton. Struktur atapnya yang bertingkat tingkat ini, dari luar tampak seakan berdinding berlapis lapis dengan beberapa penopang dinding berukuran besar disetiap sisi dan sudut bangunan. Dibagian atas nya diletakkan kubah berukuran lebih kecil. Struktur ini sebenarnya adalah struktur penyanggah atap masjid, struktur dindingnya yang tampak berlapis dibangun dengan keperluan untuk menahan beban 2000 ton struktur atap betonnya.

Begitupun dengan lengkungan lengkunan besar yang tampak baik dari luar maupun dari dalam masjid juga merupakan struktur penyanggah atap, semacam tiang gantung untuk menahan beban struktur diatasnya. Di setiap sisi bawah lengkungan besar tersebut ditempatkan jendela jendela kaca berukuran besar selain sebagai sumber cahaya dan keindahan namun juga berfungsi untuk mengesankan ruangan yang lebih besar dari aslinya. Total keseluruhan ada 384 Jendela di masjid ini sehingga, pencahayaan di masjid Selimiye ini disebut sebut lebih baik dibandingkan dengan di (masjid) Hagia Sophia dan Masjid Sulaymaniye.

Masjid Selimiye, Edirne, Turki 

Menara dan Pelataran

Masjid Selimiye memiliki empat menara tinggi yang dibuat begitu ramping menjulang seakan menusuk langit. Menara menara ini pada masanya memang digunakan sebagai tempat muazin mengumandangkan azan dari balkoni yang sengaja dibangun untuk keperluan itu. Dimasa kini hal tersebut sudah digantikan dengan sistem tata suara elektronik sehingga muazin tidak lagi perlu memanjat menara saat akan mengumandangkan azan.

Masjid Selimiye memiliki pelataran tengah yang terbuka yang berada di lingkungan masjid dikelilingi serangkaian koridor beratap kubah kubah berukuran kecil, area ini juga merupakan area sholat tambahan pada saat ruang sholat di dalam masjid sudah tidak dapat menampung keseluruhan Jemaah.

Bila di tanah jawa pelataran tengah ini semacam alun alun, namun alun alun memiliki multi fungsi sedangkan area pelataran di masjid ini hanya untuk keperluan peribadatan, meski diluar waktu sholat memang kerap kali digunakan oleh para Jemaah untuk bersantai di ruang terbuka.

Interior Masjid Selimiye

Area pelataran tengah di dominasi oleh bentuk bentuk lengkungan yang menghubungkan antar pilar pilar beton dan pilar pilar batu pualam. Corak warna batu lengkungannya belang belang mengingatkan pada pola yang sama di istana Alhambra dan Cordoba di Spayol yang dibangun pada masa Abasiyah. Corak demikian juga dapat ditemukan di Masjidil Haram yang pada masanya memang pernah berada di bawah kekuasaan Emperium Usmaniyah . Corak demikian itu kemudian menyebar keseantero masjid di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.

Hampir setiap detil bangunan masjid ini ditangani dengan cermat, begitu banyak profil dari batu batu alam yang digunakan untuk memperindah masjid ini, bahkan sekujur empat badan menaranya di hais dengan batu alam berprofil hingga ke ujung menara.

Mimar Sinan menyelaraskan dengan apik setiap transisi pertemuan antar struktur dengan seni Muqornas berupa ukiran batu alam berbentuk stalaktit (bantu menggantung) dengan denah sarang lebah, butuh ketelitian yang kesabaran yang tinggi dalam proses pembuatan semua karya seni tersebut pada zaman dimana proses pertukangan maupun manufaktur dengan teknologi permesinan belum secanggih saat ini.

Aerial view Masjid Selimiye

Kubah utama masjid yang berukuran besar di atapnya itu menghasilkan ruang utama di bawahnya di dalam masjid, sedangkan bangun semi kubah yang berada dibawah kubah utama menghasilkan ruang ruang ceruk berukuran besar di ke empat sisi di dalam masjid, salah satu cerukan itu kemudian di-olah sedemikian rupa untuk difungsikan sebagai mihrab. Sisi yang berseberangan menjadi tempat pintu utama sedangkan dua sisi di kiri dan kanan menjadi pintu samping.

Mihrab, Mimbar dan Mahfil

Mihrab di masjid ini dibangun seperti sebuah gapura paduraksa berukuran besar yang menempel ke tembok, dibuat dari bahan batu berukir, ruang mihrabnya berupa cerukan ke dalam tembok dengan dua bentuk pilar di sisi kiri dan kanannya. Mimbarnya dibangun cukup tinggi sebagai tempat khatib menyampaikan kutbah, lokasinya tidak disamping mihrab tapi justru berada agak ke tengah di samping pilar besar sebelah kanan.

Di depan mimbar ini tepat dibawah kubah utama, dibangun satu tempat khusus berupa panggung berukir sebagai tempat muazin meneruskan suara imam agar terdengar oleh seluruh Jemaah. Jangan lupa pada masa itu belum ada perangkat pengeras suara. Tempat ini dalam Bahasa Turki disebut Mahfill.***

Baca Juga


Minggu, 11 Juni 2017

Mengenal Masjid Masjid Tua Jakarta (Bagian 1)


Tulisan ini sengaja kami posting di bulan Juni sebagai bagian dari upaya menolak lupa pada sejarah. Di bulan Juni setiap tahun, Provinsi DKI Jakarta merayakan hari jadinya yang di hitung sejak penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah dari Portugis dan menandai berdirinya Jayakarta sebagai sebuah Kesultanan dan kini dijadikan sebagai hari jadi nya DKI Jakarta.

J
akarta, selaku ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki sederet masjid masjid tua dan bersejarah, sebagian besar masih berdiri dan difungsikan hingga hari ini. Keberadaan masjid di wilayah Jakarta sudah menjadi bagian integral dari sejarah perjalanan kota Jakarta. Artikel ini akan menyajikan ulasan tentang masjid masjid tua di Jakarta sejak masa awal (Kesultanan) Jayakarta hingga masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia.

Seiring dengan ditetapkannya tanggal 22 Juni 1527 sebagai titik awal berdirinya kota Jakarta, maka dapat disebut bahwa sejarah kota Jakarta dimulai pada tanggal 22 Juni 1527 tersebut. Di awali dengan kemenangan Fatahillah atau Falatehan atau Fadhilah khan memimpin pasukan gabungan Demak dan Cirebon dibantu oleh pasukan Banten mengalahkan dan mengusir Portugis yang bersekutu dengan Pajajaran dari Sunda Kelapa.

Fatahillah merupakan panglima pasukan Demak di masa pemerintahan Sultan Trenggono. Sultan Trenggono memerintahkan beliau untuk menggabungkan pasukannya dengan pasukan dari Kesultanan Cirebon dibawah pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Penyerbuan tersebut juga dibantu oleh Pasukan dari Banten dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin (Putra Sunan Gunung Jati).

Masjid “Si Pitung” Al AlamMarunda, Jakarta Utara

1. Masjid Al-Alam Marunda (1527)

Saat penyerbuan ke Sunda Kelapa tahun 1527 tersebut, Fatahillah bersama pasukannya sempat mendirikan sebuah masjid kecil di kawasan Marunda, Jakarta Utara, sebagai tempat mereka beribadah. Masjid tua berukuran kecil itu bernama Masjid Al Alam. Meski ukurannya tidak terlalu besar, masjid berarsitektur tradisional ini cukup kokoh dengan tiang tiang beton antik berukuran besar dan tembok yang cukup tebal. Di tahun 1975 pemerintah provinsi DKI Jakarta menetapkan Masjid Al Alam sebagai Cagar Budaya. Bila melihat tahun pembangunannya, Masjid Al Alam ini merupakan masjid tertua di Jakarta.

Kisah tutur menyebutkan bahwa pembangunan masjid ini juga dibantu oleh para wali yang memiliki karomah yang memiliki karomah yang tinggi. Kisah ini memang cukup masuk akal karena Sunan Gunung Jati sendiri merupakan salah satu tokoh Wali Songo, dan sejarah Nasional kita pun mencatat bahwa berdirinya kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon tidak lepas dari peran Wali Songo.

Masjid Al-Alam Cilincing

2. Masjid Al-Alam Cilincing (1527)

Masjid ini mungkin tidak setenar "kembaranya" Masjid Al Alam Marunda yang lebih dikenal dengan nama masjid si pitung, namun masjid yang juga didirikan oleh fatahillah saat akan merebut sunda kelapa dari Portugis ini sangat besar nilainya bagi sejarah jakarta dan indonesia. Kini masjid ini sehari hari dikelola oleh “Yayasan Masjid Al-Alam Cilincing Jakarta Utara”. Untuk menyelamatkan tempat bersejarah ini, pada 1972 dilakukan pemugaran masjid oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, saat masih dipimpin Gubernur Ali Sadikin, dan bangunan ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

Berdasarkan versi sejarah Dinas purbakala DKI Jakarta, masjid ini dibangun pada 22 Juni 1527, persis sama dengan HUT kota Jakarta.  Menjadikannya sebagai masjid tertua yang ada di jakarta bersama dengan masjid Al-Alam Marunda yang dibangun ditahun dan oleh orang yang sama. Letaknya berada di jalan rekreasi cilincing Jakarta utara, tepatnya di sebelah pasar ikan cilincing atau 18 Km dari pusat Kota Jakarta.

Fatahillah dan pasukannya berhasil menaklukkan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1257. Beliau kemudian mengganti nama Bandar tersebut dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang bermakna Kota Kejayaan. beliau memegang langsung tampuk pemerintahan di Jayakarta, namun kemudian beliau memutuskan kembali ke Cirebon untuk berdakwah serta memenuhi permintaan Sunan Gunung Jati untuk memperluas wilayah kesultanan Cirebon ke wilayah sekitarnya.

Jabatan pemerintahan di Jayakarta diserahkan Oleh Fatahillah kepada Ki Bagus Angke atau Ratu Bagus Angke atau Pangeran Tubagus Angke yang juga menantunya. Dan disaat yang hampir bersamaan Maulana Hasanuddin dinobatkan sebagai Sultan Pertama di Kesultanan Banten. Kekuasaan atas Jayakarta kemudian diteruskan oleh Pangeran Jayakarta Wijayakrama, pada tahun 1596 menggantikan Tubagus Angke yang sudah berusia lanjut.

Masjid Agung Kesultanan Jayakarta, Tak Berbekas

Di masa kekuasaan Pangeran Jayakarta ini, Belanda sudah mulai menancapkan kukunya di Jayakarta hingga menimbulkan ketegangan diantara keduanya, sampai kemudian memuncak menjadi pertempuran terbuka tahun 1610. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Coen tidak mampu menghadapi pasukan Jayakarta yang dibantu oleh pasukan Banten dan Inggris hingga ahirnya melarikan diri ke markas besar V.O.C di Ambon.

Masjid Jami’ As-Salafiyah Jatinegara Kaum dari arah Makam Pangeran Jayakarta

Dalam serangan kedua kalinya di tahun 1619, J.P. Coen berhasil mengalahkah pasukan Jayakarta dan membumihanguskan kota itu hingga tak bersisa, dan mengganti nama Jayakarta dengan Batavia pada 12 Maret 1619. Sisa sisa kejayaan Jayakarta sebagai sebuah entitas kekuasaan yang pernah berkuasa di wilayah Jakarta selama sekitar 92 tahun (22 Juni 1527 hingga 12 Maret 1619), nyaris tak berbekas.

Bangunan keraton dan Masjid Agung-nya pun hanya tinggal cerita, salah satunya muncul di catatan penulis Belanda, Adolf Heuken S.J, menyebutkan bahwa beberapa puluh meter di sebelah selatan hotel Omni Batavia sekarang ini yang terletak di jalan Kali Besar dan Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta utara, pernah berdiri bangunan masjid tertua di Jakarta, namun bangunan masjid tersebut sudah tak bersisa. Diperkirakan masjid yang dimaksud merupakan masjid Agung Kesultanan Jayakarta yang dibumihanguskan oleh Belanda bersama dengan Keraton Jayakarta.

Penghancuran total Bandar Jayakarta oleh Pasukan J.P.Coen tidak lepas dari upaya nya untuk mengikis habis pamor Kesultanan Jayakarta dari wilayah tersebut, termasuk menghapus segala sesuatu yang berbau kesultanan dan Islam, terbukti dengan kebijakannya setelah berkuasa beliau mengeluarkan larangan pembangunan masjid di dalam wilayah kota Batavia.

3. Masjid Jami’ As-Salafiyah Jatinegara Kaum (1620)

Paska keruntuhan Bandar Jayakarta, Pangeran Jayakarta bersama keluarga dan pengikut setianya menyingkir ke wilayah Jatinegara Kaum (Klender, Jakarta Timur). Disana beliau mendirikan kawasan baru, menyusun strategi dan terus menerus melakukan perlawan terhadap penjajahan Belanda. Di Jatinegara Kaum beliau membangun masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Jami’ As-Salafiyah pada tahun tahun 1620.

Sepanjang hidupnya setelah kehilangan kekuasaan, Pangeran Jayakarta beserta pengikutnya tak pernah berhenti melakukan perlawanan terdahap penjajahan Belanda, sampai beliau wafat di-usia tua dan dimakamkan di dekat masjid yang beliau bangun bersama pengikutnya. Masjid Jami’ As-Salafiyah hingga kini ramai dikunjungi oleh para Jemaah begitu-pun dengan makam beliau.

Jejak Sejarah Putra Pangeran Jayakarta di Kabupaten Bekasi. Kiri ; Masjid Al-Mujahidin Cibarusah pertama kali dibangun oleh Pangeran Senapati. Kanan: Rumah kediaman Raden Rangga di Cikarang Barat, kini dikenal dengan Saung Ranggon atau Rumah Tinggi.

Antara Jayakarta dan Cibarusah

Masih di tahun 1619 Pangeran Jayakarta memerintahkan putra mahkota beliau, Pangeran Senapati, menyingkir dari Jayakarta untuk melanjutkan perjuangan dan syi’ar Islam. Pangeran Senapati meninggalkan Jayakarta melalui jalur laut dan berlabuh di pantai utara Bekasi kemudian melanjutkan perjalanan darat hingga ahirnya tiba di wilayah yang kini dikenal dengan nama Cibarusah di kabupaten Bekasi berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sama seperti ayahandanya, Pangeran Senapati pun membangun Masjid Masjid di tempat baru tersebut yang kini dikenal dengan nama Masjid Al-Mujahidin Cibarusah.

Sementara Putra Pangeran Jayakarta yang lain bernama Raden Rangga menyingkir melalui jalur darat hingga ke wilayah Cikarang Barat, kabupaten Bekasi. Rumah kediaman beliau selama tinggal disana kini dikenal dengan nama Saung Ranggon atau Rumah Tinggi dan ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya oleh Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan nilai Tradisional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, provinsi Jawa Barat. Rumah panggung sederhana berbahan kayu tersebut masih terawat hingga kini dan disebut sebut sebagai bangunan tertua di Kabupaten Bekasi.

Perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda di Batavia tak pernah usai di berbagai sektor, salah satu tokoh perlawanan masyarakat Betawi yang sangat melegenda adalah Si Pitung. Tokoh legenda ini kerap kali menghabiskan waktunya berdiam diri berlama lama di Masjid Al Alam yang merupakan peninggalan Fatahillah, pendiri Jayakarta yang sudah berubah nama menjadi Batavia itu.

Di masjid ini juga Si Pitung kerap kali bersembunyi dari kejaran pasukan Kompeni Belanda, legenda masyarakat menyebutkan bahwa Si Pitung seakan tak terlihat oleh Pasukan Belanda saat bersembunyi di masjid ini, itu sebabnya dikemudian hari Masjid Al-Alam yang dibangun oleh Fatahillah itu juga disebut sebagai Masjid Si Pitung.

Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung MelayuJakarta Selatan 

4. Masjid Jami’ Al Atiq Kampung Melayu (1632), Jakarta Selatan

Perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Batavia juga dilakukan oleh Maulana Hasanuddin, Sultan pertama di Kesultanan Banten yang juga merupakan putra pertama Sunan Gunung Jati (Cirebon). Di masa kekuasaannya (1552-1570) Maulana Hasanuddin sempat mengirimkan pasukannya  menyerbu Batavia. Induk pasukannya yang bermarkas di daerah Kampung Melayu.

Di kampung Melayu Pasukan Maulana Hasanuddin mendirikan sebuah Mushola untuk keperluan mereka beribadah. Mushola yang kemudian disebut sebagai Masjid Kandang Kuda karena berada di perkampungan tukang Sado, kemudian berubah menjadi Masjid Jami’ Kampung Melayu. Sejauh ini tidak ditemukan bukti otentik terkait tahun awal pembangunan masjid ini selain dari kisah tutur masyarakat setempat. Nama masjid ini kemudian di ubah menjadi Masjid Al-Atiq pada tahun 1970-an oleh Pak Ali Sadikin, Guburnur DKI Jakarta saat itu,

5. Masjid Al-Anshor Pekojan (1648) Jakarta Barat

Pelarangan pembangunan masjid di wilayah kota Batavia tidak di indahkan oleh muslim pendatang yang berasal dari Hadramaut (Yaman) dan Gujarat (india) yang oleh Penjajah Belanda di generalisir sebagai orang Moor. Penyebutan Moor bagi Muslim pendatang di Batavia oleh Belanda ini menyiratkan trauma masa lalu bangsa Eropa terhadap Islam. Moor adalah Suku bangsa Muslim di Benua Afrika bagian utara (kini Maroko dan Sekitarnya).

Masjid Al Anshor PekojanJakarta Barat 

Bangsa Moor ini di bawah pimpinan Tarikh Bin Ziyad pada abad ke 7 menyerbu dan menaklukkan Eropa barat (Spanyol dan sebagian Prancis) dan kemudian mendirikan Emperium Islam Andalusia yang berpusat di Istana Alhambra di Cordoba (Spanyol). Berawal dari sejarah tersebut, Bangsa bangsa di Eropa Barat men-jeneralisir Muslim sebagai orang Moor termasuk menyebut Muslim di Kesultanan Sulu (kini di Philiphina Selatan) sebagai orang orang Moor yang dikemudian hari dan hingga kini dikenal dengan sebutan Bangsa Moro.

Muslim India dan Hadramaut ini sebelumnya tinggal di Banten lalu menjalankan bisnis mereka di kota Batavia yang oleh Belanda dijadikan Ibukota di tanah Jajahannya yang disebut Hindia Belanda.Di tahun 1648, atau sekitar 29 tahun setelah bedirinya Batavia Muslim India yang tinggal di kawasan Pekojan (kecamatan Tambora, Jakarta Barat) mendirikan Masjid Al-Anshor di Jalan Pengukiran.

Kawasan Pekojan kala itu merupakan kawasan hunian muslim dari India. Kata ‘Koja’ pada kata “Pekojan” sendiri berasal dari kata "Khoja", daerah di India asal para pedagang tersebut. Kata “Koja” di duga juga diduga berasal dari kain tenun yang biasa dipakai untuk ikat kepala oleh orang-orang Banten. Dan bagaimanapun, seperti disebutkan tadi, muslim India di Pekojan ini sebelumnya adalah mukimin di Wilayah Banten sebelum kemudian pindah ke Batavia. (bersambung ke bagian 2)

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
------------------------------------------------------------------
 
Artikel terkait