Tampilkan postingan dengan label mataram. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mataram. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Januari 2017

Masjid Jami' Matraman Jakarta Pusat

Masjid Jami' Matraman, Salah satu masjid tertua di Jakarta, sekaligus Masjid Agung Pertama di Jakarta, dibangun pertama kali oleh bala tentara Mataram saat menyerbu VOC Belanda di Batavia.

Masjid Jami' Mataraman di Jakarta Pusat dulunya merupakan perkampungan pasukan Mataram yang memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram paska dua kali penyerbuan mereka yang tak berjaya terhadap Belanda di Batavia di tahun 1648 dan 1649 dan kemudian menetap di wilayah tersebut. Nama Matraman untuk wilayah ini disinyalir berawal dari kata Mataraman yang kemudian berubah menjadi Matraman seperti yang dikenal saat ini. Keturunan dari anggota pasukan Mataram ini yang dikemudian hari membangun masjid ini sebagai tempat beribadah mereka.

Masjdi Jami’ Matraman bukanlah satu satu nya masjid tua di Jakarta yang berkaitan dengan anggota pasukan Mataram, selain masjid ini sebelumnya telah berdiri Masjid Al-Ma’mur di Tanah Abang dibangun tahun 1704 atau sekitar 133 tahun lebih dulu dari Masjid Jami Matraman dan Masjid Jami’ Al-Mansyur di Kampung Sawah Lio Jembatan Lima dibangun tahun 1717 atau 120 tahun lebih dulu dari Masjid Jami’ Matraman.yang juga sama sama dibangun oleh para keturunan Pasukan Mataram yang menetap di sekitar Batavia.


Beberapa bagian dari masjid ini masih dipertahankan keasliannya hingga kini

Dibangun oleh Tentara Kerajaan Mataram

Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung dari Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid Jami’ Matraman semula merupakan gubuk kecil tempat pasukan Sultan Agung menjalankan sholat. Terletak di bekas kandang burung milik Belanda yang digunakan oleh orang Mataram sebagai pos komando panglima Mataraman.

Pada tahun 1837 dua orang generasi baru keturunan Mataram yang lahir di Batavia, H. Mursalun dan Bustanul Arifin (keturunan Sunan Kalijaga) memelopori pembangunan kembali tempat ibadah itu. Setelah selesai pembangunannya, dahulu masjid ini diberi nama Masjid Jami' Mataraman Dalem. Yang artinya masjid milik para abdi dalem (pengikut) kerajaan Mataram. Dipilihnya nama itu dimaksudkan sebagai penguat identitas bahwa masjid itu didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram. Namun seiring perubahan zaman dan perbedaan dialek, nama Masjid Mataram pun berubah nama menjadi Masjid Jami Matraman.

Masjid Jami Matraman
Jl. Matraman Masjid 1, Pegangsaan, Menteng
Jakarta Pusat 10320 - INDONESIA



Penggunaan masjid secara resmi dikukuhkan oleh Pangeran Jonet dari Kasultanan Yogyakarta, yang merupakan keturunan langsung dari Pangeran Diponegoro. Sholat Jum'at pertama di Masjid Jami Matraman itu juga dipimpin sendiri oleh Pangeran Jonet. Sejak itu hingga masa-masa pergerakan, Masjid Jami Matraman diramaikan oleh berbagai aktivitas keagamaan. Karena letaknya yang berdekatan dengan kantong-kantong pergerakan pemuda-daerah Pegangsaan dan Kramat, masjid ini sempat juga dicurigai sebagai tempat memupuk gerakan anti kolonialisme.
Di samping menyisakan sejarah bekas pasukan Sultan Agung Mataram, sejarah lain dari Masjid Jami Matraman juga pernah dijadikan tempat pertemuan para pejuang. Bahkan, mantan Presiden Soekarno kala masa perjuangan, menjadikan masjid itu sebagai tempat perkumpulan untuk mengadakan rapat dan menyusun strategi malawan kolonialisme.

Dibangun lagi oleh warga Matraman

Bangunan masjid masih berupa tumpukan batu batako Kemudian dibangun lagi oleh sekelompok warga Matraman yang diketuai orang Ambon yang bernama Nyai Patiloy (1930). H. Agus Salim juga pernah menjadi ketua pembangunan masjid ini. Belanda tidak setuju dengan pembangunan masjid yang berada di pinggir jalan dan memerintahkan supaya dibangun lebih ke dalam. Mereka berjanji akan membantu biaya sebesar 10.000 gulden.

Usul dari Belanda ini mendapat pertentangan dari pengurus pembangunan masjid bahkan sampai dipermasalahkan pada sidang Gemeenteraad. Masjid ini juga pernah mendapat bantuan dari Saudi Arabia (1940). Moh. Hatta, Bapak Proklamasi RI, dulu setiap Jumat selalu bersembahyang di masjid Jami Matraman dan di akhir hayatnya juga disembahyangkan di mesjid ini. Masjid Jami Matraman pertama kali dipugar pada tahun 1955-1960 dan dilanjutkan pada tahun 1977.


Interior Masjid Jami Matraman. Gambar sebelah kanan atas adalah kalender antik yang merupakan salah satu pernik bersejarah di masjid ini.

Kuburan tua Di Masjid Matraman

Di dalam Masjid Jami ini masih tersimpan kalender yang terbuat dari kayu bertuliskan  bahasa Arab dan hurup nasional. Kalender ini konon biasa digunakan oleh orang Mataram untuk mengetahui hari dan sampai sekarang pun masih digunakan sebagai ciri khas dari Masjid Jami matraman. Di depan masjid terdapat dua makam milik tentara Mataram. Konon, kedua makam itu adalah Wanandari dan Wandansari. Namun masih simpangsiur apakah makam itu ada di situ sebelum dibangun masjid atau setelah masjid itu ada. Beberapa pihak yang mengetahui keberadaan makam tua itu, tak jarang menziarahi makam tersebut.

Salah satu Masjid Tua Jakarta

Hingga saat ini, Masjid Jami Matraman yang berada di Jalan Matraman, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat ini, merupakan salah satu Masjid tertua dan bersejarah di Jakarta yang masih terjaga keasliaannya. Meskipun sejauh ini ada pemugaran pada beberapa bagian gedung yang rusak. Termasuk menambah luad bangunan menjadi 2 lantai, untuk keperluan pendidikan Islam

Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar.

Arsitektural

Melihat tampilan arsitekturnya, Masjid Jami Matraman dipengaruhi oleh gaya dari Mekah dan India. Sebagai seorang yang menyandang gelar haji pada masanya, H. Mursalun terkagum-kagum dengan bangunan Masjidil Haram dan Taj Mahal. Dua ciri kuat dari arsitektur kedua masjid itu adalah, bentuk beranda yang menggunakan pilar-pilar tipis dengan profil melengkung-lengkung diantaranya. Lalu bentuk kubah yang bulat bundar serta menara disamping masjid. Hal inilah yang juga kelihatannya diterapkan pada Masjid Jami Matraman.***

Sabtu, 31 Maret 2012

Masjid Al-Makmur, Tanah Abang - Jakarta

Masjid Al-Makmur Tanah Abang, tampak Megah di-usianya yang sudah cukup tua.

Ada yang tak kenal Tanah Abang ?, rasa rasanya orang Indonesia sangat mengenal pasar satu ini setidaknya pernah mendengar keberadaan pusat ritel dan grosir terbesar di Asia Tenggara ini. Di Kawasan Tanah Abang berdiri sebuah masjid tua yang tak bisa dilepaskan dengan sejarah Tanah Abang, namanya Masjid Jami' Al-Makmur Tanah Abang. Masjid tua ini resminya bernama  Masjid Jami' Al-Ma'mur Tanah Abang [sebagaimana tertulis di atas pintu utama masjid] namun lebih dikenal dengan nama Masjid Al-Ma'mur saja, merupakan salah satu dari belasan masjid tua yang masih tersisa di Jakarta. Masjid ini dibangun pada tahun 1704 oleh bangsawan Kerajaan Islam Mataram pimpinan KH Muhammad Asyuro.

Kini masjid yang seumur dengan sejarah keberadaan Tanah Abang ini terkepung oleh hingar bingar pusat perdagangan Tanah Abang, Di kiri kanan masjid jami ini sudah tidak ditemukan lagi perumahan penduduk karena hampir seluruh daerah sekitarnya menjadi pusat kegiatan bisnis. Halaman depan masjid ini bahkan sudah tergerus dalam arti sebenarnya oleh perkembangan pusat bisnis Tanah Abang, pekarangan depannya habis dipakai untuk pelebaran jalan dan disesaki oleh para pedagang dan parkir kendaraan.

Lokasi Masjid Al-Makmur – Tanah Abang

Masjid Al-Makmur
Jl KH Mas Mansyur No.6, Tanah Abang
Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta
Indonesia




Sejarah Masjid Al-Makmur, Tanah Abang

Serangan Mataram ke Batavia

Puncak dari kegeraman raja Mataram, Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma dengan ulah VOC dibawah pimpinan Jenderal Jan Pieterzoen Coen di Batavia maka, pada tanggal 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa [bupati Kendal] tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja. Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Menyerbu Batavia dalam gelombang serangan pertama. Perang besar terjadi di Benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di Karawang dan Cirebon. Namun mata mata VOC berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya, menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera, sehingga kekuatan pasukan Mataram sangat lemah ketika mencapai Batavia.

Bagian depan Masjid Almakmur Tanah Abang.

Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung ini berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan wabah kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC, Jenderal Jan Pieterzoen Coen tewas menjadi korban wabah tersebut. Di antara anggota pasukan Mataram tersebut ada yang memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram, mereka kemudian menetap di Batavia menjadi da’i dan membangun sejumlah masjid, Sedikit banyak, orang-orang Mataram ini memberi pengaruh pada pembentukan budaya awal masyarakat Betawi. Mulai dari struktur bahasa, adat istiadat, pakaian sampai nama-nama tempat di sekitar Betawi tempo dulu.

Sejarah Awal Masjid Al-Ma’mur – Tanah Abang

Perkembangan Islam di Batavia ditradisikan juga oleh orang-orang dari Mataram ini. Salah seorang bangsawan keturunan Kerajaan Mataram yang tercecer dari perang itu, adalah KH. Muhammad Asyuro. Muhammad Asyuro kemudian memilih wilayah Tanah Abang sebagai tempat mukimnya yang baru. di pemukiman baru tersebut sisa pasukan Mataram ini dibawah pimpinan KH Muhammad Asyura mendirikan sebuah mushola berukuran 12×8 meter di tahun 1704 Masehi. Keberadaan langgar ini terus berlanjut sampai ke keturunan KH. Muhammad Asyuro berikutnya. Kedua anak KH Muhammad Asyuro, KH. Abdul Murod Asyuro dan KH. Abdul Somad Asyuro tercatat menjadi penerus dakwah ayah mereka hingga masuk ke abad 20.

Masjid Al-Makmur Tanah Abang, masjid tua yang kini lokasinya maskin terhimpit diantara gedung gedung komersial. Di latar belakang adalah gedung pasar Tanah Abang yang sudah terkenal hingga ke mancanegara.

Pada tanggal 30 Agustus 1735 (31 tahun setelah berdirinya Langgar KH. Muhammad Asyuro) Yustinus Vinck seorang tuan tanah Belanda mulai mendirikan pasar di Tanah Abang yang hanya buka setiap hari Sabtu, karenanya kemudian disebut Pasar Sabtu, dan saat itu mampu menyaingi pasar Senen yang sudah lebih maju. Pembangunan pasar itu memicu percepatan perkembangan kawasan Tanah Abang.

Pembangunan Besar Besaran

Semakin berkembangnya perkampungan dan bertambahnya jumlah penduduk sekitar langgar, maka atas inisiatif tokoh masyarakat Tanah Abang keturunan Arab, Habib Abu bakar bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Habsyi, tahun 1915 langgar diubah menjadi masjid besar 44m x 28m, diatas tanah wakaf dari Habib Abu bakar dengan rancangan dari seorang arsitek Belanda. Masjid yang dibangun di atas tanah wakaf seluas 1.142 m2, ini kemudian diberi nama Al-Makmur. Habib Abu Bakar Alhabsyi adalah salah seorang pendiri rumah yatim piatu Daarul Aitam di jalan yang sama. Sebagian besar biaya pembangunan masjid ini yaitu f 35.000 bahkan ditanggung sendiri oleh Habib Abu Bakar. Dalam badan pengurus Yayasan Misigit Djemat Tanah Abang Al-Mansoer (1914) selalu terdapat empat anggota keturunan Arab dan tiga orang muslim lain.

Tahun 1932 masjid ini diperluas hingga ke arah utara seluas 508 m2. Perluasan di atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib itu kemudian ditambah lagi dengan sebidang tanah milik masjid di bagian belakang seluas 525 m2 di tahun 1953. Jadi luas total masjid ini sebesar 2.175 m2. Ketika masih ada kuburan wakaf [kini jadi rumah susun Tanah Abang], warga keturunan Arab yang meninggal dunia sebelum dimakamkan terlebih dulu jenazahnya dishalatkan di Masjid Al-Makmur. Para pedagang dan pembeli di Pasar Tanah Abang juga menjadikan masjid tua ini sebagai tempat shalat mereka terutama shalat dzuhur dan ashar.

Interior Masjid Al-Makmur Tanah Abang.

Arsitektural Masjid Al-Makmur, Tanah Abang

Gaya bangunan masjid ini menyerupai arsitektur masjid di Timur Tengah, namun dengan sentuhan yang cukup modern. Bangunan kubah utamanya berwarna hijau dan terlihat dari segala arah. Kesan klasik juga sangat terasa jika berada didalam masjid itu. Bentuk kusen pintu dan jendela bergaya arsitektur abad 17, menambah kesan mendalam jika masjid tersebut mempunyai nilai historis yang tinggi.

Dua menara pendek mengapit tiga pintu masuk, yang atap bangunannya berbentuk kubah. Gaya bangunannya menyerupai masjid Timur Tengah. Bangunannya berkubah utama wama hijau menyolok, terlihat dari segala arah. Kubah, elemen bangunan yang umum dijumpai pada masjid-masjid Indonesia di Masjid Al Makmur memiliki bentuk yang unik.

Bagian bawahnya berbentuk segi empat yang mengecil di bagian atas menyerupai topi bishop atau kupola. Sedangkan puncak kedua menara yang mengapit kubah utama berbentuk bawang seperti lazimnya kubah-kubah. Peletakan kubah dan sepasang menara tersebut menyerupai bentuk arsitektur masjid di Asia Barat di mana pintu masuk utamanya (iwan) diapit oleh dua menara tinggi. Bangunan masjid Al Makmur menerima penghargaan Sertifikat-Sadar Pemugaran 1996. Di dalam lingkungan masjid yang dapat menampung hingga 5.200 jamaah ini terdapat tiga makam yang dikeramatkan, dan terlihat masih banyak warga yang berziarah ke makam tersebut.

Fauzi Bowo [Gubernur DKI Jakarta] dalam suatu kesempatan memberikan santunan kepada anak yatim piatu di Masjid Al-Ma’mur Tanah Abang. 


Masjid Al-Makmur, Tanah Abang
kini

Bertahan di gerusan zaman

Masjid yang sangat bersejarah ini, di depannya tampak kumuh. Terutama oleh para pedagang kaki lima yang mangkal di depan masjid dan tumpah ruah ke jalan. Sementara mobil dan motor menjadikannya sebagai tempat parkir saat mereka hendak berbelanja ke pusat-pusat perdagangan Tanah Abang. Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al-Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak malati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara pedagang kaki lima kadang-kadang dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid.

Makin berkembangnya bisnis di Tanah Abang, mengakibatkan Jalan KH Mas Mansyur dan sekitarnya seperti Kebon Kacang I sampai Kebon Kacang VI kini sudah berubah fungsi. Sebagian besar rumah telah menjadi tempat pertokoan, ekspedisi, dan gudang-gudang. Tidak heran kalau harga tanah yang berdekatan dengan Proyek Pasar Tanah Abang termasuk termahal di Jakarta. Seperti ketika pembangunan jembatan Metro Tanah Abang, rumah-rumah yang tergusur mendapat ganti rugi Rp 10 juta per m2. Menurut sejumlah warga, harga tanah milik mereka saat ini harganya Rp 20 juta per meter persegi.

Mimbar Tua di Masjid Al-Makmur Tanah Abang.

Area Peratarungan Berebut rezeki

Jarak masjid Al-Makmur yang hanya seitar 100 meter dari pusat grosir tanah abang sudah dapat dipastikan lahan di depan masjid ini menggiurkan beberapa pihak untuk mengeduk keuntungan, akibatnya lahan tersebut menjadi rebutan berbagai pihak yang tak urung berujung pada bentrokan seperti yang pernah terjadi pada hari rabu dinihari 21 Maret 2012 lalu ketika dua kelompok pemuda terlibat bentrokan di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat tepatnya di depan Masjid Al-Makmur ini.

Pemicu dari keributan, diduga lantaran memperebutkan lapak didepan Masjid tersebut. Setiap harinya, didepan masjid terdapat puluhan pedagang kaki lama dan parkiran sepeda motor. Omset dari pedagang dan parkiran disana tergolong cukup besar, tak ayal lahan tersebut menjadi rebutan dua kelompok yang masih bertetangga ini. Saat ini polisi dari Polsek Tanah Abang pada ahirnya harus turun tangan mengehntikan aksi anarkis tersebut dan berjaga-jaga di lokasi.

Disinggahi Pimpinan Negara

Sejumlah petinggi negeri pernah menyempatkan singgah dan sholat di masjid ini. Termasuk Presiden Soekarno, M Natsir, KH. Ahmad Dahlan [pendiri Muhmmadiyah], tokoh NU Wahid Hasyim, Presiden Megawati, Wapres Hamzah Haz, Wapres Try Sutrisno dan presiden SBY saat masih menjabat sebagai Pangdam, dan tentu saja Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo atau bisa dipanggil Foke.

Interior Masjid Al-Makmur Tanah Abang.

Selama bulan suci Ramadhan, pengelola masjid mempunyai berbagai kegiatan keagamaan. Tujuannya untuk menyemarakkan Ramadan. Seperti salat Tarawih berjamaah, mengundang da'i untuk berceramah. Selain itu, setiap hari di masjid ini diadakan acara buka puasa bersama dengan para jamaah. Hampir setiap hari, sejumlah pedagang Tanah Abang menyumbangkan makanan dan minuman untuk menu berbuka bagi para jamaah masjid ini maupun para warga yang kebetulan singgah.

Masjid Masjid disekitar Tanah Abang

Sekedar informasi, bagi anda yang sedang berkunjung ke Tanah Abang selain Masjid Al-Ma’mur ini di kawasan ini tersedia masjid masjid lainnya yaitu : Masjid Pasar Tanah Abang (MPTA) masjid besar cukup mewah di atap lantai 14 Pasar Tanah Abang blok A. Masjid Al-Ikhlas di Blok G lantai 4. Masjid di lantai atap di Blok B dan Masjid Al-Abraar di Jalan Jati Baru X, di seberang Stasiun Kereta Tanah Abang. Masjid ini berada di gang yang juga dipenuhi kios pedagang pakaian jadi terutama pakaian muslim seperti gamis, baju koko, peci, jilbab, dan lainnya.***

Masjid Jami al-Mansyur, Kampung Sawah Lio - Jakarta

Masjid Jami' Al-Mansyur Sawah Lio, Jembatan Lima, merupakan salah satu bangunan bersejarah dan tertua di DKI Jakarta. Didirikan pada taha tahun 1717 kini dibawah perlindungan Dinas Musium dan Sejarah DKI Jakarta.

Masjid Jami al-Mansyur dulu bernama Masjid Jami Kampung Sawah, merupakan salah satu masjid tua di Jakarta, terletak di Kelurahan Jembatan Lima Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Pertama kali dibangun tahun 1130H/1717M oleh Abdul Malik putera dari Pangeran Cakrajaya yang sebelumnya bergabung dengan pasukan Mataram menyerang Belanda di Batavia. Sejarah masjid ini tak lepas dari kiprah pahlawan nasional KH. Mohammad Mansyur yang namanya kemudian di abadikan sebagai nama masjid Jami bersejarah ini dan nama jalan yang melintas tak jauh dari masjid ini. Tahun 1980 berdasarkan SK Mendikbud serta SK Gubernur DKI, masjid ini terdaftar sebagai benda cagar budaya.

Lokasi Masjid Jami al-Mansyur, Kampung Sawah Lio

Masjid Al Mansyur
Jl. Sawah Lio II/33 Kampung Sawah Lio
Kelurahan Jembatan Lima
Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
DKI Jakarta – Indonesia





Sejarah Masjid Jami al-Mansyur, Kampung Sawah Lio

Dibangun oleh Bangsawan Mataram

Pada satu peta abad ke-19, kampung ini disebut Sawah Masjid. Didirikan pada abad 18, tepatnya tahun 1130 H (1717 M), Pembangunan masjid ini dirintis oleh seseorang dari Kerajaan Mataram bernama Abdul Malik, beliau adalah putra dari Pangeran Cakrajaya, yang sebelumnya bergabung dengan Tentara Mataram berperang di Batavia. Hingga dua abad kemudian kegiatan dakwah diteruskan oleh keturunan Abdul Malik, seperti Imam Muhammad Habib, dan ulama-ulama perantau seperti Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin, pengarang kitab Sabilil Muhtadin. Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin inilah yang kemudian memperbaiki letak mihrab masjid. Pembentulan arah kiblat itu diakukan bersama-sama dengan sejumlah ulama lokal pada 2 Rabiul Akhir 1181 H atau 11 Agustus 1767 M.

Kiprah KH. Muhammad Mansyur di Masjid Jami’ Kampung Sawah

Dua abad berikutnya, tanggal 25 Sya’ban 1356H/1937M dibawah pimpinan KH. Muhammad Mansyur bin H. Imam Muhammad Damiri diadakan perluasan bangunan masjid. Berturut kemudian, untuk menjaga terpeliharanya tempat suci serta makam-makam para ulama [di depan kiblat], maka di sekitar masjid dibuatkan pagar tembok [sekarang berpagar besi].

Di masa awal setelah proklamasi kemerdekaan, masjid ini digunakan oleh KH. Muhammad Mansur sebagai tempat mobilisasi pejuang sekitar Tambora untuk melawan Belanda, Sebuah pertempuran frontal pernah terjadi di muka masjid. Terjadi baku tembak antara pejuang RI yang berlindung di masjid dengan tentara NICA yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa bergeser ke selatan menuju daerah Kota lalu menyebar ke sekitar Tambora.

Interior Masjid Jami' Al-Mansyur. Arsitekturnya memadukan budaya Jawa, China, Betawi dan Arab. Empat sokoguru ini menopang atap dan mezanin kecil serta tangga menuju atap, yang dulunya digunakan oleh muazin untuk naik ke menara saat akan mengumandangkan azan.

Baku tembak itu dipicu oleh tindakan berani KH. Mohammad Mansur yang mengibarkan bendera Merah Putih di atas kubah menara masjid ini. Sesudah peristiwa tersebut KH. Muhammad Mansur lalu dipanggil ke Hofd Bureau [Polsek] untuk diadili dan ditahan atas tindakannya itu. KH. Muhammad Mansur wafat pada tanggal 12 Mei 1967, dan kepengurusan masjid ini dilanjutkan oleh Badan Panitia Kepengurusan Masjid Jami Al-Mansyur hingga sekarang. Sebagai bentuk penghargaan kepada almarhum KH. Muhammad Mansur, pemerintah RI kemudian mengabadikan nama beliau sebagai nama Masjid tempat beliau berjuang ini sekaligus menjadi nama jalan persis di muka Jalan Sawah Lio II, Kelurahan Jembatan Lima.

Arsitektural Masjid Jami al-Mansyur, Kampung Sawah Lio

Arsitektural Masjid Jami Al-Mansyur merupakan akulturasi budaya Jawa, China, betawi dan Arab. Masjid dengan atap joglo [limas], dua tingkat dan ditopang empat pilar besar berdiameter 1,5 meter. Jendelanya hanya sebuah lobang segi empat berteralis kayu profil gada pada setiap sisi tembok. Model pintunya, berdaun dua dengan profil pahatan bulian. Kini, tembok, jendela dan pintu di semua sisinya dimajukan sejauh 10 meter.

Ruang utama masjid al Mansur yang sekaligus bangunan tertua, bersegi empat (12 x 14.40 m). Unsur yang mencolok adalah empat sokoguru yang kokoh dan tampak kekar di tengahnya. Bagian bawah tiang-tiang ini bersegi delapan dan diatasnya terdapat pelipit penyangga, pelipit genta serta rata. Batang utama (di bagian tengah) berbentuk bulat dan dihiasi pelipit juga. Bagian teratas berbentuk persegi empat dan dibatasi pelipit.

KH. Muhammad Mansyur
Pada ketinggian setengah diantara keempat sokoguru terdapat balok-balok kayu antara lain untuk menopang kedua tangga yang menuju ke loteng. Di atas balok-balok selebar 55 cm itu di sisi kanan dan kiri dipasang pagar setinggi 80 cm. Pola pagar ini berbentuk belah ketupat. Konstruksi ini dan bentuk sokoguru bergaya barat. Atap masjid ini tumpang tiga yang berbentuk limasan. Menara, yang terletak di ruang baru di depan masjid lama, berbentuk silinder setinggi dua belas meter. Pada bagian keempat dan kelima dari menara itu terdapat teras yang berpagar besi. Atap menara berbentuk kubah.

Tahun ‘60-an adalah kali kedua masjid di Jalan Sawah Lio ini dipugar. Hasilnya seperti yang terlihat sekarang. Merapat dengan jalan di selatan, di bagian utara dan timur berdempetan dengan pemukiman. Seperti Masjid Al-Alam, Al-Anwar dan As-Salafiyah, bangunan asli masjid ini berukuran 12 x 14.40 m :::bekasnya adalah bagian terendah di dalam masjid::. Arsitekturnya pun tak jauh berbeda dengan model-model masjid masa itu.

Foto Foto Masjid Jami al-Mansyur, Kampung Sawah Lio

Perhatikan sajadahnya yang sengaja dimiringkan untuk menyesuaikan arah kiblat.
Pengajian Bulanan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga ( PKK ) Tingkat Kecamatan Tambora, serta pemberian santunan anak Yatim Piatu. dilaksanakan di Masjid Jami Al- Mansyur.
Makam Sang Pejuang, KH. Muhammad Mansyur, lebih dikenal sebagai Guru Mansyur oleh masyarakat Betawi, salah satu tokoh masyarakat Betawi yang begitu berjasa dan berpengaruh, sejaman dengan Guru Mugni dari Masjid Baitul Mughni..