Tampilkan postingan dengan label senegal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label senegal. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Juni 2016

Masjid Agung Touba, Senegal

Masjid Agung Touba merupakan Masjid dengan ukuran terbesar di Senegal. Menara tertinggi di masjid ini merupakan bangunan tertinggi di Senegal.

Touba adalah kota yang terletak sekitar 170 km disebelah timur kota Dakar dan juga kota terbesar kedua di Senegal setelah Dakar. Touba berasal dari bahasa Arab, yang berarti “kebahagiaan” yang dimaknai sebagai kebahagiaan yang membangkitkan kesenangan manis kehidupan kekal di akhirat. Touba juga dapat diartikan sebagai nama pohon di surga. Dalam Sufisme simbolik pohon merupakan aspirasi untuk kesempurnaan rohani dan mendekatkan diri dengan Allah.

Kota Touba merupakan pusat aktivitas Tharikat Mauridiyyah dan tempat pemakaman pengasasnya, Syeikh Aamadu Mbàkke Bamba [1853-1927]. Di sebelah makam beliau kemudian dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Agung Touba, selesai dibangun tahun 1963 sekitar 40 tahun setelah kematian-nya. Masjid tersebut merupakan impian dari beliau yang disampaikan setahun sebelum kematiannya. Touba dikenal sebagai kota suci bagi muslim Senegal, khususnya bagi pengikut Tharikat Mauridiyyah.

Bulan kesiangan di atas masjid. Touba merupakan pusat dan kota suci bagi Tharikat Maouridiyyah yang didirikan oleh Syeikh Aamadou Mbake Bamba.

Di kota ini diharamkan segala bentuk mimuman keras, tembakau, menari, musik bahkan bermain game sekalipun. Touba memiliki status khusus sejak masa penjajahan Prancis dengan status sebagai kota otonom di berbagai bidang termasuk aspek kesehatan, sumber air, kebijakan publik, perekonomian, kepemilikan tanah, transportasi hingga lahan dan perumahan. Kehidupan di Touba didominasi oleh tradisi dan kebudayaan Islam. Sebuah tradisi ziarah Akbar tahunan, yang disebut Grand Magal, menarik perhatian satu hingga dua juta pengunjung dari seluruh Senegal, Eropa dan Amerika setiap tahunnya.

Masjid Agung Touba disebut sebut sebagai salah satu masjid terbesar di benua Afrika. Sejak selesai dibangun tahun 1963, masjid ini terus diperbesar dan diperindah. Masjid tersebut memiliki lima menara dan tiga kubah besar. Salah satu menaranya dibangun paling tinggi hingga 87 meter, pada bagian ujungnya dibuat menyerupai sebuah lentera, merujuk kepada Lampu Sheikh Ibrāhīma, salah seorang syekh yang berpengaruh di kota ini. Menara tersebut merupakan monumen paling terkenal di Senegal.

 

 Masjid Agung Touba dan Syekh Amadou Bamba

Merujuk kepada tradisi setempat, kota Touba pertama kali dibuka oleh Syekh Amadu Bámba Mbákke atau yang dikenal dengan nama Syekh Amadu Bámba [1853-1927]. Syekh Amadu atau Shaykh Ahmadu Bàmba Mbàkke atau Ahmad ibnu Muhammad ibnu Habīb Allāh atau Khadīmu r-Rasūl (pelayan Rosul) atau Sëriñ Tuubaa (Orang suci Touba), adalah seorang sufi yang sangat terkenal di Senegal. Ia juga seorang yang dihormati dan pendiri Tharikat Mauridiyyah. Beliau lahir di desa Mbacké (Mbàkke Bawol di Wolof) di wilayah kerajaan Baol, di Senegal. Putra dari seorang ulama Tharikat Qodiriyyah yang merupakan Tharikat tertua di Senegal. Beliau dikisahkan menerima petunjuk dari Allah swt dalam bentuk cahaya di bawah sebuah pohon pada tahun 1887.

Dulunya tempat tersebut sangat terpencil di rimba belantara. Kepopuleran Syekh Amadou membuat banyak orang mengunjunginya hingga berkembang menjadi sebuah kota dengan nama Touba. Hal ini membuat pemerintahan Perancis yang waktu itu menjajah Senegal cemas, sehingga sang syekh ditangkap dan dibuang ke Gabon [1895-1902] lalu ke Mauritania [1903-1907]. Strategi ini tidak berhasil, penahanan Syekh Amadou justru membuat para pengikutnya menjadi kian memujanya.

foto paling terkenal di Senegal. Foto Syeikh Amadu Bamba di abadikan oleh penguasa Prancis, beliau menutup sebagian wajahnya dengan sorban. Foto ini begitu terkenal di Senegal.

Pemerintah Prancis kemudian membebaskan beliau setelah yakin bahwa beliau dan pengikutnya tidak tertarik melakukan perlawanan terhadap penjajahan Prancis dengan cara mengangkat senjata. Di tahun 1918 pemerintah Prancis bahkan menganugerahinya Bintang kehormatan Legion atas jasanya mengizinkan pengikutnya membela Prancis dalam perang dunia pertama serta memberikan izin khusus kepadanya untuk mendirikan kota suci Touba.

Syekh Amadou Bamba kemudian berniat mendirikan masjid setahun menjelang ajalnya. Masjidnya baru berdiri pada tahun 1963, 40 tahun setelah Syekh Amadou meninggal. Yang menarik, begitu masjid berdiri, kota yang tadinya sangat terpencil berkembang menjadi kota besar. Penduduk yang awalnya kurang dari 5.000 jiwa di tahun 1964, di tahun 2007 berkembang menjadi 529.000 orang. Banyak sekali orang dari berbagai wilayah Senegal yang berziarah ke makam sang syekh. Syekh Aamadu Bámba kembali dari pengasingannya ke Kota Touba pada hari ke 48 setelah tahun baru hijriah, dan kini setiap tahun di hari tersebut diadakan peringatan Grand Magal, berupa ziarah akbar ke makam Syekh Aamadu Bámba yang di ikuti oleh jutaan pengikut Tharikat Mauridiyyah dari seluruh dunia.

Tharikat Mauridiyyah Memiliki pengaruh yang sangat kuat di Senegal bahkan hingga mendominasi ranah politik, pengikutnya tersebar hingga ke Paris dan New York city dan berbagai kota dunia, secara rutin mereka mengirimkan sejumlah uang kepada pemimpin mereka di Touba. Salah satu anggota Tharikat ini yang terkenal adalah Presiden Senegal Abdoulaye Wade yang menang dalam pemilihan presiden setelah mengalahkan pesaingnya Abdou Diouf dari Tharikat Tijaniyyah. Sehari setelah terpilih, Abdoulaye Wade langsung berangkat ke Touba untuk meminta restu dari Khalifah Tharikat Mauridiyyah, Serine Saliou Mbacke (Sëriñ Falilou, Khalifah kedua 1945-1968)

Sketsa komplek Masjid Agung Touba

Komplek Masjid Agung Touba

Di sekitar lingkungan masjid ini terdapat rumah kediaman dan makam dari para khalifah Tharikat Mauridiyyah termasuk Syaikh Bara Mbacké Khalifah keenam Tharikat Mauridiyah dan yang pertama bukan keturunan dari Aamadu Bamba Mbàkke. Selain itu di komplek masjid ini juga terdapat perpustakaan, gedung pertemuan dan pemakaman yang dikelola oleh Tharikat Mauridiyah. Saat ini Tharikat Mauridiyah dipimpin oleh Shaykh Sidy Mokhtar Mbacké yang merupakan Khalifah ketujuh sekaligus merupakan khalifah kedua yang bukan merupakan keturunan dari sang pendiri, Syeikh Aamadu Mbàkke Bamba.

Komplek masjid Agung Touba ini terbilang cukup unik, secara umum terbagi menjadi dua kawasan yakni kawasan masjid agung ditambah maosolium dan kawasan terbuka termasuk areal pemakaman. Konfigurasi tersebut dirancang sendiri oleh Syeikh Aamadu Mbàkke Bamba selaku pendiri kota sekaligus pendiri Tharikat Mauridiyyah yang menyatukan dimensi fisik dan metafisik secara berkaitan. Bangunan Masjid Agung merupakan pusat dari keseluruhan komplek ini sekaligus menjadi titik pusat dari kota Touba secara keseluruhan.

Eksterior Masjid Agung Touba

Pembangunan Masjid Agung Touba sudah dimulai sejak tahun 1930 namun sempat terhenti karena pecahnya peang dunia pertama, dan baru selesai tahun 1963, sejak itu masjid ini terus diperluas dan diperindah. Perluasan yang paling berpengaruh adalah perluasan tahun 1980 yang menambahkan bangunan baru mengitari bangunan lama. Bangunan baru yang hampir seluruhnya di hias menggunakan material batu pualam di penghujung tahun 1990-an mengubah tampilan luar masjid ini secara signifikan.

Tiga kubah besar masjid ini di beri warna hijau, kubah terbesar nya menaungi ruang sholat utama di depan mihrab. Sedangkan dibawah kubah sebelah timur masjid atau disebelah kiri mihrab terdapat makam dari Syeikh Aamadu Mbàkke Bamba yang tak henti hentinya diziarahi oleh para pengikutnya. Seperti sudah disinggung di awal tulisan tadi, Arsitektural paling menarik perhatian dari masjid ini adalah menara tertingginya yang dikenal dengan nama “Lamp Fall” setinggi 87 meter yang mendominasi pemadangan masjid dan sekitarnya bahkan seluruh kota Touba yang sepi dari gedung pencakar langit. Di cuaca cerah, puncak menara masjid bewarna hijau ini bahkan dapat dilihat dari jarak 15 Km atau lebih jauh dari itu. Menara masjid ini merupakan salah satu bangunan tertinggi di seluruh negara Senegal.

Eksterior Masjid Agung Touba

Selain Masjid, di kawasan utama berdiri bangunan bangunan maosolium (Kubah makam) dari para mendiang petinggi Tharikat Mauridiyyah yang merupakan para keturunan Syeikh Aamadu Mbàkke Bamba serta para penerusnya. Di sebelah kanan Mihrab dibangun di luar dinding sisi kiblat masjid sebagai bangunan yang berdiri sendiri sejajar dengan arah kiblat, terdapat maosolium Sëriñ Mamadou Moustafa Mbacké, kahlifah pertama Tharikat Mauridiyyah (1927-1945). Maosolium Sëriñ Falilou, Khalifah kedua (1945-1968) dan Sëriñ Abdou Khadre, Khalifah ke empat (1989-1990). Di tempat tersebut juga terdapat Mushola kota.

Makam dari khalifah ketiga Sëriñ Abdoul Ahad (1968-1989), berada di halaman dalam gedung perpustakaan yang dibangun diantara mushola dan masjid, kemudian maosolium Sëriñ Murtada Mbacké yang wafat tahun 2004. Sejajar dengan kiblat masjid terdapat komplek pemakaman umum Touba yang merupakan salah satu elemen penting dari tipografi spiritual kota tersebut. Pemakaman ini merupakan tempat yang paling di idamkan oleh para pengikut Thariqat Mauridiyyah, meski ditempat manapun mereka menjalani hidupnya namun berkeinginan untuk dimakamkan di pemakaman tersebut bila mereka meninggal dunia.*** 

--------------------------------

Baca juga


Sabtu, 11 Juni 2016

Masjid Rabbani Ouakam Senegal

Di teluk Ouakam kota Dakar, Masjid Rabbani dibangun oleh muslim setempat dengan cara gotong royong selama lima tahun lebih. Menurut legenda masjid ini dibangun atas petunjuk dari Allah melalui mimpi tokoh muslim setempat.

Dibangun atas Petunjuk langsung dari Allah

Legenda tentang orang suci atau para wali bukan semata mata hanya ada di Indonesia, di Negara Senegal yang berada di bagian barat benua Afrika pun, kisah yang sama meski dengan nama yang berbeda juga terjadi dan populer disana. Penyebaran Islam di Senegal tak lepas dari peran para tokoh tokoh Sufi yang hadir di kawasan tersebut memperkanalkan Islam sejak sebelum masa penjajahan Prancis. Saat ini, hampir semua masjid masjid besar disana memiliki keterkaitan dengan salah satu tokoh Islam terkemuka disana. Salah satu yang cukup menarik adalah Masjid Rabbani atau oleh media Eropa lebih dikenal sebagai Masjid Divinity di kawasan Ouakam dipinggiran kota Dakar.

Menurut legenda setempat masjid ini dibangun atas petunjuk langsung dari Allah kepada Syeikh Muhamed Seyni atau biasa dipanggil Sangabi melalui mimpinya pada malam Jum’at tanggal 28 Juni tahun 1973. Disebutkan dalam legenda tersebut bahwa Syeikh Muhamed Seyni melihat ada masjid di langit dan diperintah untuk menyaksikan masjid tersebut lalu mengikutinya sampai mendarat di bumi. Saat masjid itu mulai bergerak beliau mulai mengikuti masjid yang terbang ke di atas desanya terus bergerak hingga ke teluk Ouakam dan turun disana. Beliau mengitari masjid tersebut dan melihat Tulisan Allahu Akbar di atas pintu besarnya yang ditulis dengan warna emas. Setelah itu masjid tersebut menghilang.


Dibangun dengan Tangan

Mohamed Seyni memerintahkan pengikutnya untuk membangun masjid tersebut pada tahun 1992. Pekerjaan dimulai tahun itu juga meski dengan situasi yang tak mudah. Lokasi yang ditunjuk berada di teluk tepi laut yang sulit untuk dijangkau dan tidak ada transportasi umum yang tersedia ke daerah tersebut sehingga cukup menyulitkan bagi para pengikutnya. Sebagai Khalifah dari Tharikat yang dipimpinnya Syeikh Seyni sendiri tidak memiliki cukup cadangan dana untuk pembangunan masjid tersebut ditambah lagi dengan kritikan dari banyak pihak yang mengatakan “bagaimana mungkin seseorang yang bahkan tidak memiliki kemampuan untuk membangun rumahnya sendiri dengan baik, dapat membangun masjid besar dua lantai”. Tapi keyakinan Muhammad Seyni tak tergoyahkan, Bahwa Allah yang memberinya perintah membangun masjid ditempat itu tidak akan menolongnya, dan dia tidak butuh bantuan dari siapapun termasuk dari negara.

Para pengikut Sangabi memberikan kontribusi pembiayaan meskipun penghasilan mereka tidak seberapa, beberapa orang kaya juga turut berpartisipasi mendanai proyek tersebut. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh almarhum El Hadj Ibrahima Sakho (RTA), sejak itu pekerjaan pembangunan dimulai, murni dengan cara manual tanpa bantuan peralatan berat sama sekali dan dilakukan secara gotong royong oleh para pengikut Sangabi. “kita lakukan apa yang kita mampu lakukan dengan dua tangan kita, Allah yang akan membereskan sisa nya” begitu motto yang disampaikan oleh Sangabi.

Masjid Rabbani Ouakam, indah dengan latar belakang teluk Ouakam di tepian samudera Atlantik

Tahap konstruksi

Penggalian lubang pondasi masjid ini dilakukan secara manual hingga memakan waktu berhari hari secara bergantian oleh para Jemaah. saat penggalian sudah hampir selesai hujan deras pun turun. para Jemaah begitu khawatir dengan situasi itu, mengingat lokasi nya yang berada di tepi laut di kaki perbukitan sangat rentan dengan derasnya aliran air dari daerah yang lebih tinggi dan di khawatirkan akan merusak lubang galian yang sudah mereka gali, belum lagi air akan menggenangi lubang tersebut sedangkan mereka sama sekali tidak memiliki pompa untuk mengeringkannya nanti. Hal tersebut mereka sampaikan kepada Syeikh Seyni, beliau dengan tenangnya menjawab "Siapa yang memiliki Hujan ?, Allah swt, jawab pengikutnya. Dan masjid itu dibangun atas perintah Allah, Mustahil Allah akan merusak suatu perkara yang sudah dimulai atas perintahnya”.

manakala hujan deras sudah berlalu, tidak ada kerusakan yang terjadi pada lubang yang sudah digali untuk pondasi itu dan tidak ada genangan air sama sekali, sehingga proses pembangunan dapat dilanjutkan tanpa hambatan. Pembangunan dilanjutkan dengan cara yang benar benar manual, tanpa bantuan peralatan yang memadai, semuanya dilakukan dengan tangan, termasuk mengaduk semen dan pasir hingga mengangkat dan memindahkannya hingga ke puncak Menara semuanya dilakukan dengan tangan atau dipanggul dibahu. Perempuan dan anak-anak tidak ketinggalan, masing-masing membantu yang bisa mereka lakukan. Pada saat proses pengecoran para Jemaah berjejer rapi memindahkan adukan semen dalam ember secara estafet. Tradisi yang mirip dengan tradisi gotong royong di Indonesia.

Proses pembangunan masjid Rabbani Ouakam.

Bagian yang paling berbahaya dari pembangunan masjid ini adalah pada saat pembangunan menaranya. dari foto foto dokumentasi pembangunannya, terlihat para Jemaah yang memiliki nyali luar biasa berdiri dengan tanpa rasa takut di ujung Menara masjid ini saat proses pembangunannya sedang berlangsung. Disebutkan bahwa selama proses pembangunan masjid ini para Jemaah melakukan pekerjaan nya sambil tak henti hentinya melantunkan zikir La Illakha Illala. Mohamed Seyni yang menggagas pembangunan masjid ini berkali kali meneteskan air mata hari melihat semangat para pengikutnya dalam membangun masjid tersebut. Mohamed Seyni sendiri sebelumnya sudah terlibat dalam pembangunan masjid Agung Touba sebagai akuntan.

Proses pembangunan masjid ini seluruhnya selesai dalam waktu 5 tahun 5 bulan 5 hari sejak pertama kali dimulai dan diresmikan pada bulan Oktober 1997 dihadiri oleh ribuan pengikut Muhamed Seyni yang selama lima tahun bekerja keras dalam artian sebenarnya membangun masjid tersebut dengan tangan mereka. Masjid Rabani disebut sebut sebagai yang memiliki arti khusus, Bila Ka’bah adalah awal waktu maka Masjid Rabbani adalah Ujung waktu, Bila Ka’bah diturunkan sebelum kedatangan Khalifah pertama maka Masjid Rabbani dibangun setelah khalifah terahir, bila Ka’bah ada di timur, maka masjid Rabbani ada di barat.

Mohamed Seyni

Mohamed Gueye Seyni, lahir pada tanggal 19 Juli 1926 di desa Ouakam, Beliau adalah salah satu pengikut dekat Syeik Amadou Bamba, pendiri dari Tharikat Maouridiyyah yang berpusat di kota Touba. Muhamed Seyni pernah ditunjuk menjadi Akuntan dalam pembangunan Masjid Agung Touba sehingga beliau cukup memiliki pengalaman dalam pembangunan sebuah masjid. Syeikh Seyni Wafat pada tahun 2007.

Tentang Desa Ouakam

Desa Ouakam atau Wakam merupakan salah satu desa dipinggiran kota Dakar (ibukota Senegal). Mayoritas penduduk desa ini adalah para nelayan dari suku Lebou. Di masa penjajahan desa ini merupakan markas para penembak jitu pasukan Senegal. Kini desa ini menjadi markas bagi beberapa pasukan militer termasuk pasukan Akademi Militer Nasional dan pangkalan Militer Angkatan Udara Senegal.

Masjid dan mausolium biasanya berdekatan, adalah suatu yang lumrah di Senegal. 


--------------------------------

Baca juga


Masjid Agung Dakar, The Dakar Grand Mosque – Senegal

Masjid Maroko di Senegal. Masjid Agung Dakar dibangun oleh pemerintah Maroko dengan rancangan masjid Maroko yang sangat kental. Bangunan masjid ini menambah khazanah arsitektur masjid di Senegal yang masing masing bangunan masjid nya memiliki bentuk yang ceritanya sendiri sendiri.

Dakar adalah ibukota negara Senegal, sebuah negara di Afrika barat yang bertetangga dengan Mauritania di utara, Mali di timur serta Guyana dan Guyana Bisau di selatan. Uniknya ditengah tengah negara Senegal ini ada negara Gambia yang wilayahnya membentang dari muara sungai Gambia hingga beberapa kilometer ke hulu Sungai. Kota Dakar berada di sebuah semenanjung yang menjorok ke arah Samudera Atlantik menjadikannya sebagai salah satu pelabuhan laut penting di kawasan tersebut.

Islam memainkan peran penting di Senegal. Sekitar 94% penduduk Senegal menganut agama Islam. Di Kota Dakar berdiri sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Agung Dakar atau dalam bahasa Inggrisnya disebut The Dakar Grand Mosque dan dalam Bahasa Prancis disebut Grande Mosquée de Dakar. Merupakan bangunan religi paling penting di Ibukota negara tersebut yang berdiri megah di kawasan Allée Pape Gueye Fall. Di titik koordinat 14° 40′ 40″ N, 17° 26′ 32″ W atau 14.677778, -17.442222

Masjid Agung Dakar – Senegal
Grande Mosquée de Dakar
Allée Pape Gueye Fall
Dakar, Republic of Senegal


Masjid Agung Dakar ini juga berfungsi sebagai masjid negara, dirancang bersama sama oleh aristek Maroko dan Prancis, di resmikan pada tahun 1964 oleh Raja Hassan II dari Maroko bersama sama dengan Presiden Senegal Léopold Sédar Senghor. Gaya rancangan masjid ini mirip dengan Masjid Muhammad V di Casablanca, Ibukota Maroko. Masjid megah yang kaya dengan taburan dekorasi indah dibagian interior maupun ekteriornya. Lengkap dengan menara tunggal setinggi 57 meter.

Sejak tahun 1964 sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam diresmikan di masjid ini dengan nama Institut islamique de Dakar atau Institut Agama Islam Dakar yang merupakan merupakan institusi publik dibawah kendali kementrian pendidikan dan Budaya Senegal didedikasikan bagi Riset dan Pengajaran Islam di negara tersebut. Institut ini memiliki sebuah perpustakaan moderen yang diberi nama Naef Ben Abdelaziz Al-Saoud secara resmi dibuka pada tanggal 9 Oktober 2004.

Menara segi empat khas Maroko di masjid Agung Dakar menyembul diantara atap atap bangunan lainnya di langit kota Dakar
Pekarangan yang luas di depan masjid akan penuh sesak oleh jamaah di hari jum'at apalagi di dua sholat hari raya
Seperti halnya masjid masjid Maroko, Masjid Agung Dakar ini juga dilengkapi dengan Pelataran tengah

----------------------------------------ooOOOoo------------------------------------------

Baca juga


Selasa, 31 Agustus 2010

Mengenal Lebih Jauh Masjid Agung Touba, Senegal

Di sebelah Timur kota Dakkar terdapat sebuah kota yang memiliki sebuah masjid agung yang sangat besar. Seperti apa masjidnya dan siapa pendirinya? Ikuti kisahnya berikut ini.

Touba adalah sebuah kota yang terletak di Timur kota Dakkar, ibukota Senegal. Touba artinya kebahagiaan. Touba juga dapat diartikan sebagai pohon dari surga. Dinamakan begitu mungkin karena tempat ini dianggap tempat yang penuh keberkahan. Paling tidak bagi Syekh Aamadu Bámba Mbákke atau yang dikenal dengan Syekh Amadou Bamba [1853-1927]. Touba juga dikenal sebagai kota suci. Di tempat ini diharamkan beredar mimuman keras dan tembakau.

Syekh Amadou adalah seorang sufi yang sangat terkenal di Senegal. Ia juga seorang yang dihormati dan pendiri dari persaudaraan Mauride atau tarekat Mauridiyah. Beliau dikisahkan menerima petunjuk dari Allah swt dalam bentuk cahaya di bawah sebuah pohon di daerah ini pada tahun 1887. Dulunya tempat ini sangat terpencil di rimba belantara. Kepopuleran Syekh Amadou membuat banyak orang mengunjunginya. Hal ini membuat pemerintahan Perancis yang waktu itu berkuasa di tempat ini cemas, sehingga sang syekh ditangkap dan dibuang ke Gabon [1895-1902] dan Mauritania [1903-1907]. Strategi ini tidak berhasil, penahanan Syekh Amadou justru membuat para pengikutnya menjadi kian memujanya.

Syekh Amadou Bamba kemudian berniat mendirikan masjid setahun menjelang ajalnya. Masjidnya baru berdiri pada tahun 1963, 40 tahun setelah Syekh Amadou meninggal. Yang menarik, begitu masjid berdiri, kota yang tadinya sangat terpencil berkembang menjadi besar. Penduduk yang awalnya kurang dari 5.000 jiwa di tahun 1964, di tahun 2007 berkembang menjadi 529.000 orang. Banyak sekali orang dari berbagai wilayah Senegal yang berziarah ke makam sang syekh.

Masjid buatan Syekh Amadou disebut sebagai Masjid Agung Touba. Masjid ini memiliki lima menara dan tiga kubah yang sangat besar. Di tempat ini juga Syekh Amadou dimakamkan. Tinggi menara tengah masjid mencapai 87 meter. Menara ini merupakan bangunan kebanggaan rakyat Senegal yang juga dinamakan sebagai lampu jatuh [lamp fall]. Penamaan dilakukan oleh Syekh Ibrahima Fall, salah seorang syekh yang berpengaruh di kota ini.

Di dekat masjid terdapat rumah dari putra Amadouu Bamba, seorang khalifah dari persaudaraan Mauride. Selain itu di kota ini juga terdapat perpustakaan, gedung pertemuan dan pemakaman yang dikelola oleh persaudaraan Mauride yang hingga kini masih ada.***