Tampilkan postingan dengan label Masjid di Kairo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Kairo. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juli 2016

Masjid Muhammad Ali Pasha, Kairo

Tinggi menjulang di atas benteng Salahudin di atas bukit kota Kairo, Masjid Muhammad Ali Pasha tak pelak lagi menjadi landmark kota Kairo (foto dari wikipedia)

Tak salah bila Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara, kota ini memang bertabur menara menara masjid indah dari berbagai era kekuasaan yang silih berganti menguasai Mesir. Salah satu masjid dengan menara tinggi dan dapat dilihat dari jarak yang begitu jauh karena berada diketinggian Benteng Shalahuddin di atas sebuah bukit di kota Kairo, yakni Masjid Muhammad Ali Pasha. Saking tingginya lokasi masjid ini, Ketika sudah berada disana, pengunjung dapat melihat hampir seantero Kota Kairo, beserta sungai Nil dan piramida dikejauhan dari halaman masjid.

Tak pelak lagi dengan posisinya yang berada di ketinggian dan dapat dipandang dari berbagai sudut kota, masjid ini dengan secara otomatis menjadi landmark kota Kairo. Masjid Muhammad Ali Pasha dinamai sesuai dengan nama Muhammad Ali Pasha penguasa Mesir dari dinasti Muhammad Ali, dinasti Islam terahir yang berkuasa di Mesir sebelum kemudian negeri ini berubah menjadi Republik hingga saat ini. Masjid Muhammad Ali Pasha memiliki banyak nama lain, diantaranya adalah Masjid Alabaster karena sebagian besar dilapisi dengan marmer alabaster. Kadangkala juga disebut sebagai masjid Almarmari merujuk kepada bahan marmer yang mendominasi bangunan masjid ini.


Masjid ini sengaja dibangun oleh Muhammad Ali Pasha ditahun 1830 hingga 1848, untuk mengenang Tusun Pasha, putra tertua-nya yang meninggal pada tahun 1816. Untuk membangun masjid tersebut, beliau mengundang sejumlah insinyur dari Prancis dan Italia untuk merancang Masjid ini. Diantara ide cemerlang yang dikemukakan para insinyur yang mendirikan Masjid Muhammad Ali Pasha adalah pemilihan lokasi yang unik, yakni di puncak Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi yang berada di pinggiran Kota Kairo. Dengan dipilihnya lokasi tersebut, panorama di sekitar benteng tersebut pun menjadi benar-benar berubah. Rekonstruksi Masjid Muhammad Ali Pasha dimulai pada tahun 1830 atau sekitar tujuh abad setelah berdirinya Citadel dan selesai tahun 1848.

Jazad Muhammad Ali Pasha sendiri ahirnya di makamkan di halaman masjid ini. Muhammad Ali Pasha wafat di Istana Ras el-Tin Palace di Alexandria pada tanggal 2 Agustus 1849 dan dimakamkan di pemakaman Hosh al-Basha. Adalah Raja Abbas I yang tak lain adalah cucu dari Muhammad Ali Pasha, putra dari Tusun Pasha yang kemudian memindahkan makam Muhammad Ali Pasha ke halaman masjid ini pada tahun 1857.

dari segi ukuran, Masjid Muhammad Ali Pasha ini merupakan masjid terbesar yang pernah dibangun di awal abad ke 19, terutama di Mesir dan Afrika.

Bergaya Turki dengan sentuhan Prancis dan Italia

Masjid Muhammad Ali Pasha secara umum dibangun dengan mengadopsi gaya masjid dinasti Usmaniyah, bangunan masjid dengan dua buah menara tinggi yang ramping dan runcing seperti sebuah pinsil, mengapit kubah utama dan sejumlah kubah kecil disekitarnya. Tinggi kedua menara ini mencapai 82 meter. Sementara itu, bagian kubahnya dibuat megah dan tinggi, mirip dengan Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Bangunan utamanya terdiri dari dua bagian. Pada bagian luar, terdapat tempat berwudhu yang letaknya tepat di tengah-tengah halaman masjid dan sebuah menara jam yang merupakan hadiah dari Raja Prancis, Louis Philippe I, pada tahun 1846. Konon, sebagai hadiah balasan, Raja Muhammad Ali Pasha memberikan obelisk Ramses II dari Kuil Luxor yang terdapat di pintu masuk. Saat ini, obelisk Ramses II tersebut masih bisa dilihat di Place de la Concorde, Paris, Prancis.

Interior Masjid Muhammad Ali Pasha, tak jauh berbeda dengan interior masjid masjid dari masa Usmaniyah lainnya. Terutama Masjid Aya Sofia di Istambul, Turki.
Ruang shalat berada di bawah kubah-kubah yang terdiri atas satu kubah utama yang berada di tengah dan empat kubah berukuran menengah (sedang) serta empat kubah kecil yang mengapit kubah utama. Bagian langit-langit puncak kubah (dari dalam) dihiasi ukiran geometris dengan empat pojok yang terukir kaligrafi empat nama Khulafaur Rasyidin. Dinding ruang sholat diberi celah-celah yang dihias dengan kaca patri berwarna-warni dan pilar pilar pualam yang tidak membuat ruangan masjid tersebut terasa sempit. Di samping pilar pilar utama terdapat juga pilar pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.

Masjid Muhammad Ali Pasha di mata uang Mesir
Selain cahaya alami, sistem pencahayaan masjid ini disinari oleh lampu-lampu gantung raksasa di bagian tengah ruang shalat. Lampu-lampu gantung raksasa tersebut diberi bingkai lampu-lampu gantung listrik yang memiliki ukuran lebih kecil dengan bola-bola kristal yang indah dan menawan yang terdapat di sekelilingnya. Keberadaan ornamen dan lampu-lampu kristal pada bagian ruang shalat ini memberi kesan gaya Baroque, suatu gaya arsitektur yang tumbuh setelah masa Renaisanse yang begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen, termasuk dengan bangunan mimbarnya.

Di dalam Benteng Salahudin ini Selain Masjid Muhammad Ali juga terdapat dua museum, yaitu Museum Permata (Qashrul Jawharah) yang berisi perhiasan raja-raja Mesir, Singgasana Raja Farouk, dan Museum Polisi (Mathaf As-Syurthah) yang terdiri dari 6 bagian (diantaranya ruangan yang memamerkan senjata-senjata yang pernah dipakai polisi Mesir sepanjang sejarahnya, ruangan dokumen-dokumen penting semenjak masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha hingga kini, dan ruangan-ruangan lainnya.

Menjulang di titik tertinggi benteng Shalahuddin

---------------------

Baca Juga


Sabtu, 29 Desember 2012

Masjid Amru Bin Ash, Kairo – Mesir (Bagian 2)

Lautan manusia membanjiri Masjid Amru Bin Ash di malam hari selama bulan suci Ramadhan.

Sejarah Masjid Amru Bin Ash

Masjid Amru bin Ash di Kairo, Ibukota Mesir disebut sebut sebagai masjid tertua di Mesir dan di seluruh benua Afrika. Dibangun oleh Amru bin Ash pada tahun 641 Masehi bertepatan dengan tahun ke 21 Hijirah tak lama setelah penaklukan Mesir. Gubernur Amru bin Ash membuka Mesir dan membangun kota Fusthat sebagai ibu kota Islam pertama di Mesir pada 1 Muharram 20 H./8 November 641 M.

Selama proses pembangunan masjid ini setidaknya melibatkan enam puluh orang sahabat Rosulullah, mereka juga yang menentukan arah kiblat masjid ini. Diantara para sahabat yang turut serta dalam pembangunan awal masjid ini adalah Zubair bin Awam, alMiqdad, Ubadah Bin Shamat, Abu Darda, Abu Zar Al Gifari, Abu Bashrah, Mahmiyah bin Jaza’ Azzubaidi, dan Nabih bin Shawwab Al Bashra, ridhwanullahi alaihim dan lain lain.

Gerbang utama masjid Amru Bin Ash.

Denah bangunan masjidnya dibangun persegi panjang dengan ukuran panjang 28.9 meter dan lebar 17.4 meter. Pada mulanya dibangun menggunakan dinding batu bata, beralaskan batu kerikil dan beratapkan daun kurma, ditopang oleh pohon kurma sebagai tiangnya, bangunan utamanya dilengkapi dengan enam pintu akses.

Masjid Amru bin Al Ash diresmikan dengan melaksanakan shalat Juma’at pertama, pada 6 Muharram 21 H./ 17 Desember 642 M, masjid pertama di Mesir dan benua Afrika, menjadi bangunan masjid ke empat di dunia, setelah masjid Nabawi, masjid Bashrah dan masjid Kufah. Namun bangunan awal mesjid ini sudah tidak ada yang tersisa.

Renovasi dan Perluasan Masjid Amru Bin Ash

Foto tua masjid Amru Bin Ash ketika belum di renovasi.

Orang yang pertama merenovasi masjid Amru bin Al Ash adalah Maslamah bin Al-Anshori Mukhallad Al Anshari selaku Wali Mesir pada masa kekuasaan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan di tahun ke 53 Hijriah (672/673M). Di masa itu bangunan asli masjid diperluas kemudian ditambahkan empat menara di masing masing penjuru bangunan masjid dengan tangga di sisi luarnya, sebagai tempat muazin mengumandangkan azan, setelah sebelumnya azan di lantunkan dari atap masjid.

Penambahan empat menara pada tiap sudut masjid ini merupakan perintah langsung dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang berkedudukan di Damaskus. Itu sebabnya beberapa sejarawan menyatakan bahwa penambahan empat menara tersebut terinspirasi dari Masjid Agung Damaskus yang sudah lebih dulu dibangun dengan empat menara. Sejak saat itu semua bangunan masjid di Mesir dilengkapi dengan menara.

Jemaah masjid Amru Bin Ash di Halaman tengah masjid. bangunan berkubah kuning itu adalah area tempat air minum bagi jemaah.

Kemudian diperluas lagi oleh Abdul Aziz bin Marwan (gubernur Mesir ketika itu) tahun 79H/698M dengan menambah luas ukuran masjid ini dua kali lipat. Di tahun 711 denah mihrab yang sebelumnya berbentuk datar kemudian dibangun setengah lingkaran. Di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan masjid ini kembali diperbesar oleh Abdullah Malik bin Thahir tahun ke 827M, beliau menambahkan tujuh banjar pilar di dalam masjid ini, pilar paling depan dan belakang menempel ke tembok, penambahan tersebut dengan sendirinya menggandakan ukuran masjid ini. Sampai sekarang luasnya mesjid Amru Bin Ash tidak berubah dari perluasan Abdul Malik Bin Thahir,

Di abad ke 9 masehi masjid ini kembali direnovasi oleh Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Beliau menambahkan area baru di sisi barat daya masjid, menambah luas keseluruhan masjid ini menjadi 120m x 112m. Pada masa kekuasaan Dinasti Fathimiyah Masjid Amru Bin Ash memiliki lima buah menara, satu tambahan menara dibangun di area gerbang utama namun menara ke lima ini kini sudah tidak ada lagi.

Sisi mihrab Masjid Amru Bin Ash.

Masih di masa dinasti Fathimiyah, Khalifah Al-Mustansir menambahkan ornamen dari perak pada ruang mihrab masjid namun kemudian dibongkar pada saat restorasi masjid di masa Sultan Salahudin Al-Ayubi. Pada tahun 1169M, Syawur, Menteri khalifah Al Adhid li Dinillah, khalifah terahir Dinasti Fathimiyah memerintahkan tentaranya untuk membumihanguskan kota Al Fushthath dan masjid Amru bin Al Ash, sehingga terbakar sampai 53 hari, demi mengelabui Amuri, raja Yarussalem yang bekerja sama dengan tentara perang salib, untuk menjajah Mesir.

Salahudin Al-Ayubi yang kemudian berhasil merebut kembali kota ini setelah berhasil mengalahkan pasukan Salib gabungan dari negara negara Eropa, beliau mulai membangun kembali kota Fustath dari kehancuran termasuk merestorasi Masjid Amru Bin Ash di tahun 568H/1172M sedangkan sumber lain menyebut angka tahun 1179M.

Di dalam Masjid Amru Bin Ash.

Burhan al-Din Ibrahim al-Mahalli pernah melakukan restorasi atas masjid ini dengan biayanya sendiri di abad ke 14 Masehi. Pernah juga direstorasi oleh Amir Salar setelah mengalami kerusakan akibat gempa di tahun 1303M, beliau yang menambahkan ornamen stako pada sisi luar bangunan mihrab, namun kini ornamen tersebut sudah tidak ada lagi.

Di abad ke 18 Masehi, Murad Bey dari Dinasti Mamluk dengan terpaksa menghancurkan masjid Amru Bin Ash karena kerusakan yang sudah teramat parah dan kemudian membangunnya kembali di tahun 1796-1800, sebelum kedatangan ekspedisi militer Napoleon Bonaparte dari Prancis ke Mesir. Murad Bey mengurangi jumlah baris pilar di dalam masjid dari tujuh deret pilar menjadi enam deret pilar dan meluruskan arah kiblatnya. Bangunan menara yang kini berdiri merupakan bangunan dari era Murad Bey.

Jejeran pilar pilar di dalam masjid ini menghasilkan lorong diantara masing masing deret masing masing pilar tersebut

Di tahun 1875 masjid ini kembali direnovasi oleh Sultan Muhammad Ali. Sedangkan di abad ke 20 masehi semasa kekuasaan Abbas Hilmi II masjid Amru Bin Ash kembali di restorasi. Bagian dari pintu gerbang utama di rekonstruksi pada tahun 1980. Masjid Amru Bin Ash terakhir kali direnovasi pada masa pemerintahan Presiden Husni Mubarak pada tahun 1998. Bagian paling tua dari masjid ini tersisa beberapa bagian pada sisi sepanjang tembok selantan masjid yang kemungkinan besar merupakan peningalan dari rekonstruksi tahun 827M.

Pusat Pendidikan Islam Pertama di Benua Afrika

Sebelum masjid Al Azhar dibangun, masjid Amru bin Al Ash menjadi pusat pendidikan Islam, para pengajarnya terdiri dari para shahabat Rasulullah saw. Di antaranya; Abdullah bin Amru bin Al Ash (sebagai inisiator dan pendiri), Abdullah bin Sa’ad bin Abi sarh Al Amiri, Azzubair bin Al Awwam, Al Miqdad bin Al Aswad, Ubbadah bin Ashshamit, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Kharijah bin Huzafah Al Adawi, ridhwanullahi alaihim, dll.

Halaman tengah Masjid Amru Bin Ash di siang hari pada hari biasa dibiarkan terbuka tanpa hamparan karpet merah sebagai sajadah.

Demikian pula dengan Imam Syafi’I, pendiri mazhab Syafi’i, setelah datang ke Mesir, dia mengajar di masjid Amru bin Al Ash sampai meninggal di Mesir. Imam Syafi’I dilahirkan di Ashkelon, Gaza, Palestina, pada tahun 150 H / 767M  dan wafat serta dimakamkan di Fusthat, Mesir tahun 204H / 819M. Hingga hari ini Masjid Amru Bin Ash masih digungakan oleh para mahasiswa Universitas Al-Azhar untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an.

Ulama Mesir yang terkenal, jebolan Masjid Amru bin Al Ash, di antaranya; Pangeran Abdul Aziz bin Marwan bin Al Hakam Al Umawi, Yazid bin Habib (Suwaid Al Azdi Abu Raja’ Al Misri), Abu Abdirrahman Abdillah bin Luhaiah Al Hadhrami, dan Allaist bin Saad bin Abdirrahman Al Fahmi.

Kisah Wanita Tua Yahudi dan Amru bin Ash

Suasana Iktikaf di masjid Amru Bin Ash

Sisi lain dari sejarah Masjid Amru Bin Ash adalah kisah tentang seorang wanita tua Yahudi yang mengadukan Amru bin Ash ke Khalifah Umar di Madinah. Sebuah kisah teladan yang begitu berharga. Kisah ini pernah menjadi topik ceramah kyai sejuta ummat (alm) Zainudin MZ. Disebutkan bahwa Gubernur Amru bin Ash berniat untuk membangun masjid besar di atas tanah yang cukup luas tak jauh dari kediaman resminya.

Hanya saja di atas lahan tersebut terdapat sebuah gubuk milik seorang Yahudi tua. Amru bin Ash sudah melakukan negosiasi langsung dengan-nya namun Yahudi tua tersebut menolah untuk menyerahkan tanah milik-nya, hal tersebut membuat Gubernur Amru bin Ash naik pitam dan memerintahkan pembongkaran paksa atas gubuk reot tersebut. Dalam keputus-asa-an menghadapi kesewenangan gubernurnya, Yahudi tua tersebut memutuskan untuk mengadu ke Khalifah Umar Bin Khattab di Madinah.

Selain nyaman untuk sholat, masjid ini juga nyaman untuk ngaso sejenak, beberapa dari jemaah bahkan meluangkan waktu sejenak untuk tidur siang di masjid ini.

Peristiwa setelah itu mengubah segalanya. Yahudi tua tersebut sama sekali tak menduga bahwa Khalifah yang ditemuinya adalah seorang yang sangat sederhana jauh dari kemewahan, lebih terheran heran lagi ketika setelah mengadukan masalahnya, khalifah Umar ternyata marah besar dan meminta-nya untuk mengambil sepotong tulang, lalu dengan ujung pedangnya Umar menorehkan garis lurus di potongan tulang tersebut dan meminta Yahudi tua tersebut memberikan tulang itu langsung ke Gubernur Amru bin Ash di Mesir.

Seketika setelah menerima potongan tulang dari Yahudi tua itu, Gubernur Amru bin Ash pucat pasi dan serta merta memerintahkan semua bawahannya untuk mengentikan pembangunan masjid di lahan Yahudi tua tersebut dan memerintahkan menghancurkan bangunan masjid yang sudah setengah jadi berdiri disana. Kontan saja tindakan itu membuat Yahudi tua itu terhenyak dalam keheran yang bertubi tubi sejak dia bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab di Madinah.

Seorang lelaki tua sedang serius membaca kitab Suci Al-Qur’an di Masjid Amru Bin Ash. 

Gubernur Amru bin Ash yang kemudian menjelaskan semuanya setelah meminta maaf atas kesewenang wenangnannya. Beliau menjelaskan bahwa tulang yang diserahkan Yahudi tua itu adalah perintah langsung dari Khalifah kepada dirinya selaku gubernur, untuk senantiasa bertindah adil, bertindak lurus baik dari kalangan atas sampai kalangan paling bawah seperti hurup alif yang digoreskan khalifah Umar di atas tulang tersebut, bilamana tak mampu menjalankan amanah dengan adil maka pedang khalifah Umar sendiri yang akan memenggal kepalanya. Itu sebabnya Gubernur Amru bin Ash langsung pucat pasi menerima peringatan langsung dari Khalifah tersebut.

Alih alih gembira dengan keputusan gubernurnya yang menghentikan pembangunan masjid di atas lahan miliknya, Yahudi tua tersebut malah meminta khalifah untuk menghentikan pembongkaran bangunan masjid yang sedang dibangun itu. Dia mengaku sangat kagum dengan kepemimpinan Khalifah Umar yang begitu adil dan sangat kagum dengan ajaran Islam dan karenanya dia ridho menyerahkan lahannya untuk dibangun masjid dan meminta Gubernur Amru bin Ash untuk membimbingnya masuk Islam. Subhanallah.

Aktivitas Masjid Amru Bin Ash

Ukiran halus menjadi penghias di lengkungan dalam di Masjid Amru Bin Ash.

Masjid Amr bin Ash atau Gami Amru begitu orang-orang Mesir biasa menyebutnya. Telah menjadi salah satu tujuan wisata utama di kota Kairo. Sebagai tempat wisata, areal masjid ini pun dijaga oleh mabahist. Memasuki pelataran masjid ini pengunjung disambut ramah oleh suara cericit burung yang terbang bebas di areal Masjid.

Burung-burung itu berloncatan di langit-langit mesjid, menukik tajam lalu terbang menerobos ventilasi yang ada di dinding Masjid dan telah menjadikan areal masjid ini sebagai habitatnya. Burung-burung tersebut bersarang di lampu-lampu gantung yang terletak disekeliling masjid. Mungkin karena tidak adanya hutan di Mesir, sehingga burung-burung itu pun memilih gedung-gedung tua untuk dijadikan tempat berhabitat.

dan ini adalah salah satu sudut masjid yang disediakan bangku panjang bagi jemaah yang membutuhkannya.

Sepanjang hari masjid ini tak pernah sepi dari pengunjung, baik yang datang untuk menuaikan sholat hingga yang sekedar berkunjung seperti yang dilakukan oleh para turis non muslim yang datang lalu pergi lagi, termasuk juga kunjungan dari anak anak sekolah yang dipandu oleh gurunya masing masing. Mahasiswa dari Universitas Al-Azhar pun masih banyak yang melanjutkan tradisi belajar di masjid ini. Karena memang masjid itu terletak tepat di keramaian, dan dekat dengan kampus

Masjid Amru Bin Al Ash, khususnya pada hari Jum’at selalu ramai dikunjungi jemaah untuk shalat Jum’at, dan lebih khusus lagi pada bulan puasa, tanggal 27 Ramadhan, orang Mesir baik dari dalam maupun dari luar kota Kairo, berlomba-lomba datang untuk shalat taraweh dan Khatamul Alquran yang dipimpin/diimami oleh Imam Syekh Muhammad Jibril.***

Kembali ke Bagian 1

----------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid di Dunia Arab Lainnya


Masjid Amru Bin Ash, Kairo – Mesir (Bagian 1)

Suasana sholat tarawih di Masjid Amru Bin Ash, ketika jemaahnya membludak hingga ke luar areal masjid selama bulan suci Ramadhan,

Republik Arab Mesir, orang Melayu termasuk Indonesia mengenalnya dengan nama Mesir dari kata Bahasa Arab, ‘Misri’ sedangkan orang Eropa terbiasa menyebutnya Egypt, Negeri tua yang beribota di Kairo. Kairo sendiri merupakan sebuah kota tua yang seringkali dijuluki sebagai kota seribu menara saking banyaknya menara di kota tua satu ini. Kota yang menjadi salah satu tujuan pavorit mahasiswa Islam seluruh dunia untuk melanjutkan pendidikannya ke sana.

Sebagai kota seribu menara, Kairo memiliku begitu banyak masjid masjid megah, tua dan bersejarah. Satu dari sekian banyak masjid bersejarah di kota ini adalah Masjid Amru bin Ash. Masjid tua yang dinamai sesuai dengan nama pendirinya Amru bin Ash. Beliau adalah Sahabat Baginda Rosulullah S.A.W. Beliau juga adalah panglima perang Islam pembebas dan penakluk Mesir dari kekuasaan Kekaisaran Romawi. Atas jasanya beliau mendapatkan kedudukan sebagai Gubernur Mesir pertama dimasa Khalifah Umar Bin Khattab. Selama memertinah Amru Bin Ash sempat membangun beberapa masjid diantaranya adalah Masjid Amru bin Al Ash, masjid Atiq, masjid Tajul Jawami’ dan masjid Ahli Arrayah.


Masjid Amru Bin Ash ini seringkali disebut oleh sejarawan arab abad pertengahan sebagai 'Taj Al-Jawami' atau 'Mahkotanya Masjid'. Meskipun bangunan masjid yang kini berdiri bukanlah bangunan asli yang dulu pertama kali dibangun oleh Amru Bin Ash tahun 641-642M namun perjalanan sejarahnya lah yang menjadikan masjid ini tak ternilai. Catatan sejarah juga menyebutkan bahwa pembangunan masjid ini juga melibatkan Al-Muqawqis yang merupakan keponakan dari Wali Mesir di masa kekuasaan Romawi dan kemudian masuk Islam. Beliau turut serta dalam proses perancangan masjid ini.

Mesjid ini berada di wilayah Fusthath dibagian kota tua Kairo. Di lokasi ini dulunya pada masa penyerbuan pasukan Amru bin Ash, beliau mendirikan tenda komando, konon di seekor burung dara liar kemudian bersarang dan bertelur di atap tenda beliau. Paska penaklukan Mesir, Amru bin Ash mendapat arahan dari Khalifah Umar untuk mendirikan pusat pemerintahan baru tak jauh dari kota Alexandria.

Sisi depan Masjid Amru Bin Ash 

Dan pilihan Amru bin Ash adalah lokasi dimana tendanya pertama kali di didirikan, maka dimulailah pembangunan kota baru yang dinamai Misri Al- Fustat atau kota tenda di lokasi tersebut. Dikemudian hari di lokasi tempat tenda beliau yang atapnya dijadikan sarang oleh burung dara tersebut menjadi tempat berdirinya Masjid Amru bin Ash yang masih berdiri kokoh hingga kini. Kini di salah satu sudut masjid ini terdapat makam Abdullah, putra Amru bin Ash.

Arsitektural Masjid Amru Bin Ash

Seperti umumnya masjid-masid kuno lainnya di mesir, bangunan masjid Amr berdenah empat persegi panjang, Dilengkapi dengan halaman tengah yang dibiarkan terbuka tanpa atap tapi berlantai marmer. Ditengah halaman tengah ini berdiri sebuah bangunan kubah bertiang delapan tempat disediakannya air siap minum bagi jemaah, airnya segar dan dingin. Lokasi ini pernah diabadikan dalam adegan Film Ketika Cinta Bertasbih yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy.

bagian depan Masjid Amru Bin Ash.

Secara keseluruhan bangunan masjid Amru Bin Ash ini merupakan bangunan besar berdinding tembok massif dengan atap datar seperti kebanyakan bangunan tradisional arabia lainnya. Jendela jendela masjid dibangun cukup tinggi dengan bukaan lebar. bagian tembok luar masjid ini yang begitu tinggi sekilas tampak seperti bangunan benteng. Masing masing jendelanya tidak dilengkapi daun pintu tapi ukiran kerrawang berpola simetris.

Masuk ke dalam masjid, berjejer pilar pilar batu pualam bergaya romawi menopang struktur atap masjid. masing masing pilar dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan sebatang palang kayu dan bentuk lengkungan. Bentuk pilar yang memang serupa dengan pilar pilar Masjid Agung Damaskus di Syria ataupun Masjid Al-Aqso di Palestina. Ke arah manapun kita memandang di dalam masjid ini akan ditemukan pemandangan yang serupa.

Interior masjid Amru Bin Ash

Lampu lampu gantung antic ukuran kecil menghias bagian dalam masjid ini. sementara hamparan karpet merah berpola sajadah menutup seluruh permukaan lantai. Atapnya yang tinggi, jendela dengan bukaan lebar namun ditempatkan pada posisi yang cukup tinggi menghasilkan suasan yang sejuk dan tenang di dalam masjid ini meskipun ditengah panasnya cuaca di luar masjid.

Mihrabnya dibangun berdenah setengah lingkaran dengan ornament ukiran warna emas. Sedangkan mimbarnya sangat khas mihrab masjid masjid Mesir, berupa mimbar kayu yang cukup tinggi tanpa podium. Bila memandang ke atas, sisi langit langit masjid ini memang dibiarkan terbuka tanpa plafon, jejeran balok kayu tertata rapi di bawah atap. Di bagian dalam masjid ini juga ditempatkan beberapa bangku panjang yang disediakan khusus bagi jemaah yang tidak mampu duduk di lantai ataupun berdiri dengan baik.

Hal lain yang cukup menarik bagi jemaah yang pernah ke masjid ini adalah area tempat wudlu-nya. Tempat wudhlunya dibagi menjadi dua. Tempat pertama diperuntukkan bagi yang menggunakan sandal, sementara yang menggunakan sepatu bisa melepasnya dan tanpa alas kaki langsung mengambil wudlu di tempat yang disediakan.

Bersambung ke bagian-2

Gerbang utama Masjid Amru Bin Ash 
Fasad depan bangunan masjid Amru Bin Ash 

----------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid di Dunia Arab Lainnya