Tampilkan postingan dengan label Masjid di Timur Tengah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid di Timur Tengah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Desember 2017

Dome of the Rock Palestina, Masjid Berkubah Pertama di Dunia

Dome Of The Rock / Kubah Batu / kubah emas. adalah salah satu masjid di dalam komplek Masjidil Aqso di Jerusalem Timur, Palestina. Masjid yang sering disalah arti sebagai Masjidil Aqso ini merupakan Masjid berkubah pertama di dunia sekaligus sebagai Masjid Berkubah emas pertama.

Kubah Batu atau Dome of The Rock adalah salah satu bangunan suci umat Islam. Masjid berkubah pertama itu berada di tengah kompleks Al-Haram asy-Syarif yang terletak di sebelah timur di dalam Kota Lama Yerusalem (Baitul Maqdis).

Masjid itu berkubah keemasan. Sedangkan Masjid Al-Aqsa yang berkubah biru berada pada sisi tenggara Al-Haram asy-Syarif menghadap arah kiblat (kota Mekkah). Pembangunan masjid itu dimulai ketika Yerusalem jatuh ke dalam kekuasaan Islam pada era Khalifah Umar bin Khattab. Tak heran, jika masjid itu disebut Masjid Umar.

Adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang memprakarsai pembangunan Kubah Batu pada tahun 66 H/685 M dan selesai tahun 72 H/691 M. Pembangunan masjid itu sepenuhnya dikerjakan dua orang arsitek Muslim yakni Raja' bin Hayat dari Bitsan dan Yazid bin Salam dari Yerusalem. Keduanya dari Palestina.

Di foto di atas terlihat dengan jelas, bangunan dengan kubah warna emas ditengah komplek tersebut adalah Dome Of The Rock atau Masjid Kubah Batu sedangkan Masjid Al-Aqso adalah Masjid dengan kubah bewarna Abu Abu pada bagian selatan komplek tersebut.

Bangunan Kubah Batu terdiri dari tiga tingkatan. Tingkatan pertama dan kedua tingginya mencapai 35,3 meter. Secara keseluruhan, tinggi masjid itu mencapai 39,3 meter. Keadaan ruang di dalamnya terdiri tiga koridor yang sejajar melingkari batu (sakhrah). Koridor bagian dalam merupakan lantai thawaf yang langsung mengelilingi batu seperti tempat thawaf di Masjidil Haram.

Di dalamnya dipenuhi ukiran-ukiran model Bizantium. Di dalamnya terdapat mihrab-mihrab besar jumlahnya 13 buah dan masing-masing mihrab terdiri dari 104 mihrab kecil. Untuk memasukinya ada empat pintu gerbang besar yang masing-masing dilengkapi atap. Bentuk kubahnya banyak dipengaruhi arsitektur Bizantium. 

Sejarawan Al-Maqdisi menuturkan bahwa biaya pembangunan masjid itu mencapai 100 ribu koin emas dinar. Di dalam masjid itu terdapat batu atau sakhrah berukuran 56 x 42 kaki. Di bawah sakhrah terdapat gua segi empat yang luasnya 4,5 meter x 4,5 meter dan tingginya 1,5 meter.

Pada atap gua terdapat lubang seluas satu meter. Batu tersebut disebut sakhrah mukadassah (batu suci). Di batu tersebut Nabi Muhammad melakukan mi'raj dan sebagai saksi peristiwa tersebut maka dibangunlah Kubah Sakhrah di atasnya. Menurut literatur Islam, nilai kesucian sakhrah sama dengan Hajar Aswad (batu hitam).*** (Dari berbagai sumber).

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Baca Juga


Minggu, 13 Agustus 2017

Masjid “Taj Mahal” di Kota Kuwait

Seperti Taj Mahal, tapi ini bukan Taj Mahal, melainkan sebuah masjid yang memang sengaja dibangun mirip seperti Taj Mahal, lokasinya berada di Kuwait City, Ibukota Negara Kuwait.

Warga Kuwait yang ingin menyaksikan keindahan bangunan Taj Mahal, kini tidak perlu jauh jauh ke India. Pemerintah Kuwait telah membangun sebuah masjid dengan meniru bentuk bangunan Taj Mahal di India. Taj Mahal – nya Kuwait itu diberi nama Masjid As-Sadiqa Fatimatul Zahra di kota Kuwait.

Masjid bergaya Taj Mahal ini merupakan salah satu tujuan wisata religi paling populer di Kuwait selain Masjid Agung Kuwait yang merupakan Masjid Nasional. Lokasi nya berdiri tak jauh dari Bandara Internasional Kuwait, menjadikannya sebagai salah satu pemandangan indah bagi para penumpang pesawat yang melintas.

Fatima Zahra mosque
Abdullah Al-Mubarak Block 6 Street 10
Abdullah Al-Mubarak, Kuwait



Tampilan luar masjid ini memang dibangun meniru Taj Mahal namun bagian dalamnya sama sekali berbeda. Taj Mahal dibangun sebagai Maosoleum (makam) bagi Mumtaz Mahal, Istri dari Shah Jehan (Raja dari Kerajaan Islam Mughal) tahun 1632 sebagai bentuk cintanya yang mendalam, namun Taj Mahal di Kuwait ini adalah sebuah Masjid, di dalamnya tentu saja berupa ruang sholat lengkap dengan mihrab dan mimbar.

Taj Mahal di India memang dilengkapi dengan bangunan masjid di sebelah barat-nya sebagai fasilitas penunjang dari Maosoleum tersebut. Masjid Taj Mahal di komplek Taj Mahal – India, dibangun kembar dengan bangunan istana peristirahatan kerajaan yang berada di sisi timur komplek Taj Mahal

Pembangunan Masjid ini memang menjiplak bentuk Taj Mahal di India dan atas se-izin pemerintah India melalui Kedutaan nya di Kuwait.

Sisi dalam Masjid Taj Mahal di Kuwait ini dilengkapi dengan ukiran kaligrafi Al-Qur’an. Bangunan masjid nya sendiri berdiri di atas lahan seluar 3.316 meter persegi, dibangun atas ide dari anggota Majelis Al-Umma (parlemen) Kuwait, Hassan Johar. Menggunakan berbagai material bangunan yang di-datangkan dari Mesir dan Iran. Hasan Johar merupakan salah satu tokoh parlemen dari kelompok Islam Syiah Kuwait.

Masjid Seperti Taj Mahal di Kuwait ini bukanlah satu satunya bangunan yang menjiplak Taj Mahal India, sejumlah gedung di Las Vegas (Amerika Serikat), Dubai (Uni Emirat Arab) dan Shenzen (China) juga meniru bangunan Taj Mahal.  Sementara di Bangladesh seorang milioner setempat juga tengah membangun bangunan yang mirip dengan Taj Mahal di kota Dhaka, Ibukota Negara tersebut. Pembangunan Masjid seperti Taj Mahal di Kuwait ini dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari Kedutaan Besar India di Kuwait. ***

Baca Juga :


Selasa, 12 Juli 2016

Masjid Muhammad Ali Pasha, Kairo

Tinggi menjulang di atas benteng Salahudin di atas bukit kota Kairo, Masjid Muhammad Ali Pasha tak pelak lagi menjadi landmark kota Kairo (foto dari wikipedia)

Tak salah bila Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara, kota ini memang bertabur menara menara masjid indah dari berbagai era kekuasaan yang silih berganti menguasai Mesir. Salah satu masjid dengan menara tinggi dan dapat dilihat dari jarak yang begitu jauh karena berada diketinggian Benteng Shalahuddin di atas sebuah bukit di kota Kairo, yakni Masjid Muhammad Ali Pasha. Saking tingginya lokasi masjid ini, Ketika sudah berada disana, pengunjung dapat melihat hampir seantero Kota Kairo, beserta sungai Nil dan piramida dikejauhan dari halaman masjid.

Tak pelak lagi dengan posisinya yang berada di ketinggian dan dapat dipandang dari berbagai sudut kota, masjid ini dengan secara otomatis menjadi landmark kota Kairo. Masjid Muhammad Ali Pasha dinamai sesuai dengan nama Muhammad Ali Pasha penguasa Mesir dari dinasti Muhammad Ali, dinasti Islam terahir yang berkuasa di Mesir sebelum kemudian negeri ini berubah menjadi Republik hingga saat ini. Masjid Muhammad Ali Pasha memiliki banyak nama lain, diantaranya adalah Masjid Alabaster karena sebagian besar dilapisi dengan marmer alabaster. Kadangkala juga disebut sebagai masjid Almarmari merujuk kepada bahan marmer yang mendominasi bangunan masjid ini.


Masjid ini sengaja dibangun oleh Muhammad Ali Pasha ditahun 1830 hingga 1848, untuk mengenang Tusun Pasha, putra tertua-nya yang meninggal pada tahun 1816. Untuk membangun masjid tersebut, beliau mengundang sejumlah insinyur dari Prancis dan Italia untuk merancang Masjid ini. Diantara ide cemerlang yang dikemukakan para insinyur yang mendirikan Masjid Muhammad Ali Pasha adalah pemilihan lokasi yang unik, yakni di puncak Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi yang berada di pinggiran Kota Kairo. Dengan dipilihnya lokasi tersebut, panorama di sekitar benteng tersebut pun menjadi benar-benar berubah. Rekonstruksi Masjid Muhammad Ali Pasha dimulai pada tahun 1830 atau sekitar tujuh abad setelah berdirinya Citadel dan selesai tahun 1848.

Jazad Muhammad Ali Pasha sendiri ahirnya di makamkan di halaman masjid ini. Muhammad Ali Pasha wafat di Istana Ras el-Tin Palace di Alexandria pada tanggal 2 Agustus 1849 dan dimakamkan di pemakaman Hosh al-Basha. Adalah Raja Abbas I yang tak lain adalah cucu dari Muhammad Ali Pasha, putra dari Tusun Pasha yang kemudian memindahkan makam Muhammad Ali Pasha ke halaman masjid ini pada tahun 1857.

dari segi ukuran, Masjid Muhammad Ali Pasha ini merupakan masjid terbesar yang pernah dibangun di awal abad ke 19, terutama di Mesir dan Afrika.

Bergaya Turki dengan sentuhan Prancis dan Italia

Masjid Muhammad Ali Pasha secara umum dibangun dengan mengadopsi gaya masjid dinasti Usmaniyah, bangunan masjid dengan dua buah menara tinggi yang ramping dan runcing seperti sebuah pinsil, mengapit kubah utama dan sejumlah kubah kecil disekitarnya. Tinggi kedua menara ini mencapai 82 meter. Sementara itu, bagian kubahnya dibuat megah dan tinggi, mirip dengan Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Bangunan utamanya terdiri dari dua bagian. Pada bagian luar, terdapat tempat berwudhu yang letaknya tepat di tengah-tengah halaman masjid dan sebuah menara jam yang merupakan hadiah dari Raja Prancis, Louis Philippe I, pada tahun 1846. Konon, sebagai hadiah balasan, Raja Muhammad Ali Pasha memberikan obelisk Ramses II dari Kuil Luxor yang terdapat di pintu masuk. Saat ini, obelisk Ramses II tersebut masih bisa dilihat di Place de la Concorde, Paris, Prancis.

Interior Masjid Muhammad Ali Pasha, tak jauh berbeda dengan interior masjid masjid dari masa Usmaniyah lainnya. Terutama Masjid Aya Sofia di Istambul, Turki.
Ruang shalat berada di bawah kubah-kubah yang terdiri atas satu kubah utama yang berada di tengah dan empat kubah berukuran menengah (sedang) serta empat kubah kecil yang mengapit kubah utama. Bagian langit-langit puncak kubah (dari dalam) dihiasi ukiran geometris dengan empat pojok yang terukir kaligrafi empat nama Khulafaur Rasyidin. Dinding ruang sholat diberi celah-celah yang dihias dengan kaca patri berwarna-warni dan pilar pilar pualam yang tidak membuat ruangan masjid tersebut terasa sempit. Di samping pilar pilar utama terdapat juga pilar pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.

Masjid Muhammad Ali Pasha di mata uang Mesir
Selain cahaya alami, sistem pencahayaan masjid ini disinari oleh lampu-lampu gantung raksasa di bagian tengah ruang shalat. Lampu-lampu gantung raksasa tersebut diberi bingkai lampu-lampu gantung listrik yang memiliki ukuran lebih kecil dengan bola-bola kristal yang indah dan menawan yang terdapat di sekelilingnya. Keberadaan ornamen dan lampu-lampu kristal pada bagian ruang shalat ini memberi kesan gaya Baroque, suatu gaya arsitektur yang tumbuh setelah masa Renaisanse yang begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen, termasuk dengan bangunan mimbarnya.

Di dalam Benteng Salahudin ini Selain Masjid Muhammad Ali juga terdapat dua museum, yaitu Museum Permata (Qashrul Jawharah) yang berisi perhiasan raja-raja Mesir, Singgasana Raja Farouk, dan Museum Polisi (Mathaf As-Syurthah) yang terdiri dari 6 bagian (diantaranya ruangan yang memamerkan senjata-senjata yang pernah dipakai polisi Mesir sepanjang sejarahnya, ruangan dokumen-dokumen penting semenjak masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha hingga kini, dan ruangan-ruangan lainnya.

Menjulang di titik tertinggi benteng Shalahuddin

---------------------

Baca Juga


Minggu, 30 Desember 2012

Masjid Omar Makram, Saksi Bisu Reformasi Mesir

Patung diri Omar Makram menghadap ke Tahrir Square, sementara Masjid Omar Makram berada di latar belakang foto dengan menara tingginya itu.

Bila anda memperhatikan berita video ataupun berita foto terkait demonstrasi besar besaran rakyat Mesir menuntut pengunduran diri presiden Hosni Mubarak beberapa waktu lalu yang dipusatkan di lapangan Tahrir (Tahrir Square) di pusat kota Kairo, anda akan menemukan sebuah masjid lengkap dengan sebuah bangunan menara tinggi-nya tak jauh dari lokasi tersebut. Masjid tersebut bernama Masjid Omar Makram.

Meski bangunan masjid ini bukanlah sebuah bangunan masjid kuno namun masjid ini memiliki sejarah sendiri dalam proses reformasi Mesir. Selama terjadinya demonstrasi besar besaran rakyat Mesir di Lapangan Tahrir, masjid Omar Makram ini tidak saja menjadi sebagai tempat ibadah bagi ummat Islam namun mendadak menjadi bangunan multi fungsi termasuk di dalamnya sebagai rumah sakit lapangan untuk para demonstran.

Paramedis begitu sibuk menjalankan tugas mereka merawat dan mengobati para demonstran yan cidera selama demonstrasi. Masjid ini juga tak luput dari serbuan aparat kepolisian Mesir yang menghalau para demonstran, termasuk menjadi sasaran tembakan gas air mata untuk membubarkan demonstran.

Sebagian ruangan masjid ini dijadikan tempat menginap, istirahat, ruang perawatan Lebih dari 2000 demonstran terluka akibat bentrokan dengan polisi, hingga menjadi gudang logistik supply makanan dan obat obatan. Masjid ini juga menjadi tempat perlindungan para demonstan selama proses demonstrasi masa besar besaran yang terpusat di Lapangan Tahrir di depan masjid ini. sebuah saksi bisu atas sebuah tuntutan besar bagi sebuah reformasi di negeri yang menjadi rumah bagi sebuah peradaban kuno.

Lokasi Masjid Omar Makram
           
Masjid Omar Makram
Bab al-Louk, Tahrir square
Cairo, Egypt



Sejarah Pembangunan Masjid Omar Makram

Masjid Omar Makram dibangun untuk mengenang perjuangan Omar Makram atas jasanya menentang tentara pendudukan Prancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte yang berusaha menjajah Mesir pada masa Mesir masih menjadi bagian dari wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang berpusat di Istambul, Turki. Bedirinya masjid ini menjadikan nama sang pejuang tetap hidup dalam masyarakat Mesir.

Masjid Omar Pasha yang kini menjadi Ikon Lapangan Tahrir di pusat kota Kairo, dibangun oleh Raja Farouq di tahun 1948 yang tak lain dan tak bukan adalah keturunan dari Muhammad Ali Pasha, raja Mesir dari dinasti Muhammad Ali yang naik ke kursi kekuasaan atas perjuangan Almarhum Omar Makram.

Lautan manusia di Tahrir Square semasa demonstrasi massa menentang pemerintahan Hosni Mubarak, Masjid Omar Makram ada disebelah kiri foto. 

Tak hanya membangun masjid dengan nama Omar Makram, tokoh nasional Mesir ini juga dikenang dengan dibuatkan sebuah patung diri Omar Makram di tahun 2003 dalam ukuran besar menghadap ke lapangan Tahrir tak seberapa jauh dari Masjid Omar Makram. Dua Ikon Omar Makram ini menjadi salah satu objek foto menarik bagi siapa saja yang berkunjung ke Lapangan Tahrir.

Siapakah Omar Makram

Naqib al-Ashraf Sayyid ‘Umar bin Husayn Makram (1750 or 1755-1822) atau lebih dikenal dengan nama Omar Makram adalah seorang pemimpin revolusi nasinal Mesir melawan invasi  tentara Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798-1800, dimasa Mesir masih menjadi bagian dari wilayah ke-Khalifahan Usmaniah yang berpusat di kota Istambul, Turki.

Lukisan wajah Omar Makram
Beliau juga merupakan figur sentral yang berhasil mendapatkan dukungan relijius bagi pengakuan terhadap Muhammad Ali Pasha sebagai Raja Muda Mesir, sekaligus pendirian dinasti Muhammad Ali sebagai penguasa Mesir hingga tahun 1952 (dan berkuasa hingga tahun 1953). Namun nasib Omar Makram tak jauh berbeda dengan nasib King Maker lainnya, beliau justru dijatuhkan oleh Muhammad Ali Pasha yang telah diantarkannya ke kursi kekuasaan.

Omar Makram lahir di Asyut di kawasan Upper Egypt sekitar tahun 1750 atau tahun 1755. Beliau adalah lulusan dari Universitas Al-Azhar, beliau juga disebut sebut merupakan keturunan Rosulullah S.A.W. Di tahun 1793 beliau berhasil mendapatkan jabatan Naqib al-Ashraf, sebuah jabatan penting dimasa ke-Khalifahan Usmaniyah.

Sebuah jabatan administratif yang memegang posisi penting dalam urusan keagamaan dan jabatan sipil sebagai kepala lembaga keturunan Rosulullah. Beliau kemudian berbagi kewenangan dengan pemimpin Al-Azhar dan pemimpin para Sufi. Beliau juga dikenal sebagai tokoh penentang penerapan pajak tinggi bahkan jauh sebelum era kedatangan pasukan Prancis di Mesir.

Pahlawan Mesir Penentang Penjajahan

Tatkala ekspedisi Napoleon Bonaparte mendarat disekitar Alexandria tahun 1798, Omar Makram turut membantu pengornaisasian gerakan perlawanan terhadap pendudukan Prancis. Setelah Prancis berhasil dikalahkan oleh dinasti Mamluk di Imbaba, Kairo tak terkalahkan kecuali oleh milisi local yang dibentuk oleh Omar Makram bersama para pemuka agama lainnya.

Lapangan Tahrir dengan menara Masjid Omar Makram dalam suasana normal, lapangan ini memang lapangan terbesar di kota Kairo.

Beliau melepaskan jabatannya tatkala Kairo jatuh ke tangan Prancis dan mundur ke Bilbays, memimpin perlawanan di propinsi Sharqiyya. Beliau mundur hingga ke Gaza (kini di Palestina) kemudian ke Jaffa (juga di Palestina) sampai kemudian tahun 1798 beliau tertangkap oleh pasukan Prancis saat penyerbuan Prancis ke Palestina dan dipulangkan ke Mesir.

Omar Makram kembali ke Kairo paska kembalinya pasukan Napoleon Bonaparte ke Prancis, di tahun 1800 beliau memimpin sebuah organisasi perlawanan baru terhadap penjajahan Prancis terhadap Mesir.  Ketika Prancis meninggalkan Mesir Omar Makram sudah dikenal luas sebagai aktivis pergerakan yang memiliki kemampuan memobilisasi masa termasuk mengorganisir aksi boykot oleh para penjaga toko dan bentuk bentuk protes jalanan lainnya, membuat dirinya begitu berpengaruh sepanjang tahun tahun anarkis selama proses penarikan pasukan Prancis dari Mesir.

Pihak pendudukan Prancis beberapa kali berupaya melumpuhkan kekuasaan dinasti Mamluk, dan perjuangan untuk mengembalikan kekuasan Mamluk serta kekuasaan dinasti Umayyah yang berkali kali berupaya mengembalikan kekuasan Mereka di wilayah Mesir memicu perjuangan internal bagi Mesir selama bertahun tahun.

lapangan Tahir dan Masjid Omar Makram dari sudut yang sama dengan foto sebelumnya dalam suasana siang hari di kondisi normal.

The King Maker

Makram dan para ulama lainnya memainkan peran aktif selama masa ini. di tahun 1805 beliau dan pemimpin agama lainnya berupaya mendepak Raja Muda Usmaniyah, Khurshid Pasha dari tampuk kekuasaan di Mesir dan menggantikannya dengan pemimpin militer Albania yang juga seorang petualang sejati, Muhammad Ali Pasha. Perjuangan tersebut berhasil menaikkan Muhammad Ali Pasha ke tampuk kekuasaan dan mendirikan dinasti baru memimpin Mesir selama beberapa generasi hingga pertengahan abad 20.

Persekutuan antara Omar Makram dan Muhammad Ali Pasha terjalin selama beberapa tahun. Mereka juga memberikan dukungan kepada Muhammad Ali Pasha untuk menolak semua perintah dari para Khalifah Usmaniyah yang berpusat di Istambul mengakibatkan munculnya upaya untuk mengusirnya keluar dari Mesir, tanah yang direbutnya dari dinasti Mamluk. (dinasti Mamluk sendiri ahirnya berahir di tahun 1811.
 
Ketika Ekspedisi Inggris merebut Alexandria di tahun 1807 (Usmaniyah bersekutu dengan Prancis dalam perang Napoleon Bonaparte, sehingga Inggris teribat dalam perang Porte tahun 1807 -1809), Makram membantu mengorganisir perlawanan di Kairo sedangkan Muhammad ‘Ali Pasha berperang melawan pemberontakan dinasti Mamluk di Upper Egypt.

Masjid Omar Makram, seperti halnya rancangan masjid masjid lainnya di Mesir, Masjid Omar Makram juga dibangun dalam Arabia dengan sedikit sentuhan soviet. beberapa penulis menggambarkan masjid ini laksana sistem birokrasi mesir semasa masjid ini dibangun.

Nasib Ironis Sang Pahlawan dan King Maker

Di sisi lain Muhammad Ali Pasha sendiri berkali kali menggunakan Omar Makram dan lembaga keagamaan untuk melegalkan upayanya untuk menaikkan pajak dan upaya mengambil alih pajak lahan pertanian (iltizam) milik dinasti Mamluk. Upaya upaya Muhammad Ali Pasha untuk menjadikan dirinya sebagai sentral kekuasaan memicu perpecahan aliansi-nya dengan Omar Makram. Berkali kali Omar Makram memobilisasi massa di jalanan kota Kairo menentang kebijakan para tokoh politik negara.
 
Akibatnya beliau mulai dicurigai oleh Muhammad Ali Pasha dan koleganya, yang tadinya justru naik ke tampuk kekuasaan atas jasa Omar Makram sang King Maker. Puncaknya terjadi di tahun 1809, Omar Makram memimpin pemberontakan menentang Pajak namun justru membuatnya terpojok, beliau kehilangan semua jabatannya lalu diasingkan ke Damietta kemudian dipindahkan ke Tanta sampai beliau wafat ditahun 1822.
 
Nasib Omar Makram memang sangat ironis. Beliau adalah seorang pejuang yang menentang pendudukan Prancis atas negerinya, menjadikan beliau sebagai symbol bagi rakyat Mesir bagi perjuangan menentang penjajahan asing atas Mesir, semangat yang sama muncul ketika menentang penjajahan Inggris. Beliau yang memperjuangkan bedirinya dinasti Muhammad Ali berkuasa di Mesir namun Ironisnya justru beliau terjungkal oleh sang raja yang diperjuangkannya.
tembakan gas air mata dari aparat keamanan Mesir yang ditujukan untuk membubarkan massa demonstran di lapangan Tahrir tak urung turut menghajar Masjid Omar Makram yang memang berada di lokasi tersebut dan menjadi pusat perlindungan demonstran yang menjadi korban.

Lebih ironisnya lagi, Masjid Omar Pasha yang kini menjadi Ikon Lapangan Tahrir di pusat kota Kairo itu justru dibangun oleh Raja Farouq (1920-1965) yang tak lain dan tak bukan adalah keturunan dari Muhammad Ali Pasha, sang raja yang dulu menyingkirkannya sampai beliau wafat di pengasingan.
 
Dirayakan di Prancis, sepi di Mesir
 
Perayaan mengenang Omar Makram senantiasa diselenggarakan di Louvre, Prancis meskipun tak ada perayaan yang sama di Mesir. Dalam perayaan mengenang Omar Makram pemerintah Kota Louvre mengundang Mahmoud Makram yang merupakan cucu dari Omar Makram untuk menghadiri perayaan tersebut. Dalam satu kesempatan mahmoud Makram sempat berujar “saya senang dapat melihat sebuah perayaan mengenang sejarah dan pencapai kakek saya di Louvre, namun disaat yang sama saya juga sedih karena tidak adanya perayaan serupa yang diselenggarakan di Mesir”.
 
Dia melanjutkan “kami ini tidak saja sebagai anggota keluarga dari Omar Makram, namun juga merupakan keturunan dari Al-Mahdi, Sheikh Al-Azhar”. Keturunan Omar Makram merasa pemerintah Mesir kurang memberikan penghormatan kepada Omar Makram. Pihak keluarga sempat meminta pemerintah Mesir untuk merenovasi bekas kediaman Omar Makram, termasuk membangun museum untuk menyimpan dan menampilkan seluruh perjuangan dan catatan pencapaian beliau. .


rangkaian foto yang diambil dari berbagai sumber diatas meenggambarkan suasan di masjid Omar Makram selama demonstrasi besar besaran yang berpusat di lapangan Tahrir, pusat kota Kairo.

Makam Omar Makram sendiri hanya mendapatkan sedikit perhatian dari pemerintah, pihak kementerian kebudayaan Mesir berdalih bahwa makam Omar Makram tidak tercatat sebagai situs bersejarah karenanya tidak mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah, meskipun begitu sebuah makam keluarga dalam ukuran kecil di daerah Azramk Dome masuk dalam dafta benda bersejarah. Akibatnya, pihak keluarga melakukan renovasi sendiri tanpa merasa perlu mendapatkan izin dari Kementrian kebudayaan.

Cucu Omar Makram mengakui bahwa pihak keluarga menerima dana bulanan dari dinas purbakala untuk biaya perawatan dan renovasi namun diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga untuk pengelolaannya. Pihak keluarga bahkan melakukan publikasi sendiri untuk membukukan biografi Omar Makram.

Aktivitas Masjid Omar Makram

Dikondisi normal Masjid Omar Makram ini dibawah kendali kementrian Agama dan Wakaf. Selain sebagai tempat ibadah, pengelola masjid juga menjadi pusat pendidikan salah satunya adalah menyelenggarakan pendidikan komputer untuk umum dengan biaya murah.

dan ini kondisi Masjid Omar Makram dalam suasana normal.

Karena lokasinya yang berada di lokasi strategis menjadikan masjid ini begitu masyur sebagai tempat penyelenggaraan jenazah bagi tokoh tokoh politik, actor hingga tokoh ternama dan selebriti Mesir yang meninggal dunia, hingga ke proses pemakaman, meskipun biaya penyelenggaraan prosesi tersebut tidaklah murah, satu prosesi penyelenggaraan jenazah di masjid ini mencapai 4000-an Pound Mesir, dana tersebut nantinya dipakai oleh pengurus masjid bagi kepentingan amal.

Masjid Omar Makram juga menjadi lokasi akad nikah pavorit bagi keluarga kaya dan terpandang, mengingat lokasinya yang berada di lokasi paling begengsi di kota Kairo, menyelenggarakan pernikahan di masjid ini menjadi momen luar biasa bagi setiap pasangan pengantin dan keluarganya. Dua ruang hall berukuran besar di masjid ini yang dijadikan ruang resepsi.

Dalam kondisi normal jemaah masjid ini mencapai hingga 3000 jemaah perhari, maklum lokasinya memang berada di kawasan bisnis super sibuk di pusat kota Kairo, di kawasan ini berdiri perhotelan kelas atas termasuk kantor kantor pejabat tinggi pemerintahan Mesir. Namun di hari Jum’at jumlah jemaah tersebut melonjak berkali lipat.

Paska demonstrasi massa besar besaran yang melibatkan Masjid Omar Makram ini ke dalam catatan sejarah reformasi Mesir itu, tentunya dengan sendirinya akan semakin menaikkan rating masjid ini sebagai pilihan paling menarik bagi pasangan pasangan muda dari keluarga muslim kaya kota Kairo untuk melaksanakan upacara akad nikah mereka di masjid ini.***

Sabtu, 29 Desember 2012

Masjid Amru Bin Ash, Kairo – Mesir (Bagian 2)

Lautan manusia membanjiri Masjid Amru Bin Ash di malam hari selama bulan suci Ramadhan.

Sejarah Masjid Amru Bin Ash

Masjid Amru bin Ash di Kairo, Ibukota Mesir disebut sebut sebagai masjid tertua di Mesir dan di seluruh benua Afrika. Dibangun oleh Amru bin Ash pada tahun 641 Masehi bertepatan dengan tahun ke 21 Hijirah tak lama setelah penaklukan Mesir. Gubernur Amru bin Ash membuka Mesir dan membangun kota Fusthat sebagai ibu kota Islam pertama di Mesir pada 1 Muharram 20 H./8 November 641 M.

Selama proses pembangunan masjid ini setidaknya melibatkan enam puluh orang sahabat Rosulullah, mereka juga yang menentukan arah kiblat masjid ini. Diantara para sahabat yang turut serta dalam pembangunan awal masjid ini adalah Zubair bin Awam, alMiqdad, Ubadah Bin Shamat, Abu Darda, Abu Zar Al Gifari, Abu Bashrah, Mahmiyah bin Jaza’ Azzubaidi, dan Nabih bin Shawwab Al Bashra, ridhwanullahi alaihim dan lain lain.

Gerbang utama masjid Amru Bin Ash.

Denah bangunan masjidnya dibangun persegi panjang dengan ukuran panjang 28.9 meter dan lebar 17.4 meter. Pada mulanya dibangun menggunakan dinding batu bata, beralaskan batu kerikil dan beratapkan daun kurma, ditopang oleh pohon kurma sebagai tiangnya, bangunan utamanya dilengkapi dengan enam pintu akses.

Masjid Amru bin Al Ash diresmikan dengan melaksanakan shalat Juma’at pertama, pada 6 Muharram 21 H./ 17 Desember 642 M, masjid pertama di Mesir dan benua Afrika, menjadi bangunan masjid ke empat di dunia, setelah masjid Nabawi, masjid Bashrah dan masjid Kufah. Namun bangunan awal mesjid ini sudah tidak ada yang tersisa.

Renovasi dan Perluasan Masjid Amru Bin Ash

Foto tua masjid Amru Bin Ash ketika belum di renovasi.

Orang yang pertama merenovasi masjid Amru bin Al Ash adalah Maslamah bin Al-Anshori Mukhallad Al Anshari selaku Wali Mesir pada masa kekuasaan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan di tahun ke 53 Hijriah (672/673M). Di masa itu bangunan asli masjid diperluas kemudian ditambahkan empat menara di masing masing penjuru bangunan masjid dengan tangga di sisi luarnya, sebagai tempat muazin mengumandangkan azan, setelah sebelumnya azan di lantunkan dari atap masjid.

Penambahan empat menara pada tiap sudut masjid ini merupakan perintah langsung dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang berkedudukan di Damaskus. Itu sebabnya beberapa sejarawan menyatakan bahwa penambahan empat menara tersebut terinspirasi dari Masjid Agung Damaskus yang sudah lebih dulu dibangun dengan empat menara. Sejak saat itu semua bangunan masjid di Mesir dilengkapi dengan menara.

Jemaah masjid Amru Bin Ash di Halaman tengah masjid. bangunan berkubah kuning itu adalah area tempat air minum bagi jemaah.

Kemudian diperluas lagi oleh Abdul Aziz bin Marwan (gubernur Mesir ketika itu) tahun 79H/698M dengan menambah luas ukuran masjid ini dua kali lipat. Di tahun 711 denah mihrab yang sebelumnya berbentuk datar kemudian dibangun setengah lingkaran. Di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan masjid ini kembali diperbesar oleh Abdullah Malik bin Thahir tahun ke 827M, beliau menambahkan tujuh banjar pilar di dalam masjid ini, pilar paling depan dan belakang menempel ke tembok, penambahan tersebut dengan sendirinya menggandakan ukuran masjid ini. Sampai sekarang luasnya mesjid Amru Bin Ash tidak berubah dari perluasan Abdul Malik Bin Thahir,

Di abad ke 9 masehi masjid ini kembali direnovasi oleh Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Beliau menambahkan area baru di sisi barat daya masjid, menambah luas keseluruhan masjid ini menjadi 120m x 112m. Pada masa kekuasaan Dinasti Fathimiyah Masjid Amru Bin Ash memiliki lima buah menara, satu tambahan menara dibangun di area gerbang utama namun menara ke lima ini kini sudah tidak ada lagi.

Sisi mihrab Masjid Amru Bin Ash.

Masih di masa dinasti Fathimiyah, Khalifah Al-Mustansir menambahkan ornamen dari perak pada ruang mihrab masjid namun kemudian dibongkar pada saat restorasi masjid di masa Sultan Salahudin Al-Ayubi. Pada tahun 1169M, Syawur, Menteri khalifah Al Adhid li Dinillah, khalifah terahir Dinasti Fathimiyah memerintahkan tentaranya untuk membumihanguskan kota Al Fushthath dan masjid Amru bin Al Ash, sehingga terbakar sampai 53 hari, demi mengelabui Amuri, raja Yarussalem yang bekerja sama dengan tentara perang salib, untuk menjajah Mesir.

Salahudin Al-Ayubi yang kemudian berhasil merebut kembali kota ini setelah berhasil mengalahkan pasukan Salib gabungan dari negara negara Eropa, beliau mulai membangun kembali kota Fustath dari kehancuran termasuk merestorasi Masjid Amru Bin Ash di tahun 568H/1172M sedangkan sumber lain menyebut angka tahun 1179M.

Di dalam Masjid Amru Bin Ash.

Burhan al-Din Ibrahim al-Mahalli pernah melakukan restorasi atas masjid ini dengan biayanya sendiri di abad ke 14 Masehi. Pernah juga direstorasi oleh Amir Salar setelah mengalami kerusakan akibat gempa di tahun 1303M, beliau yang menambahkan ornamen stako pada sisi luar bangunan mihrab, namun kini ornamen tersebut sudah tidak ada lagi.

Di abad ke 18 Masehi, Murad Bey dari Dinasti Mamluk dengan terpaksa menghancurkan masjid Amru Bin Ash karena kerusakan yang sudah teramat parah dan kemudian membangunnya kembali di tahun 1796-1800, sebelum kedatangan ekspedisi militer Napoleon Bonaparte dari Prancis ke Mesir. Murad Bey mengurangi jumlah baris pilar di dalam masjid dari tujuh deret pilar menjadi enam deret pilar dan meluruskan arah kiblatnya. Bangunan menara yang kini berdiri merupakan bangunan dari era Murad Bey.

Jejeran pilar pilar di dalam masjid ini menghasilkan lorong diantara masing masing deret masing masing pilar tersebut

Di tahun 1875 masjid ini kembali direnovasi oleh Sultan Muhammad Ali. Sedangkan di abad ke 20 masehi semasa kekuasaan Abbas Hilmi II masjid Amru Bin Ash kembali di restorasi. Bagian dari pintu gerbang utama di rekonstruksi pada tahun 1980. Masjid Amru Bin Ash terakhir kali direnovasi pada masa pemerintahan Presiden Husni Mubarak pada tahun 1998. Bagian paling tua dari masjid ini tersisa beberapa bagian pada sisi sepanjang tembok selantan masjid yang kemungkinan besar merupakan peningalan dari rekonstruksi tahun 827M.

Pusat Pendidikan Islam Pertama di Benua Afrika

Sebelum masjid Al Azhar dibangun, masjid Amru bin Al Ash menjadi pusat pendidikan Islam, para pengajarnya terdiri dari para shahabat Rasulullah saw. Di antaranya; Abdullah bin Amru bin Al Ash (sebagai inisiator dan pendiri), Abdullah bin Sa’ad bin Abi sarh Al Amiri, Azzubair bin Al Awwam, Al Miqdad bin Al Aswad, Ubbadah bin Ashshamit, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Kharijah bin Huzafah Al Adawi, ridhwanullahi alaihim, dll.

Halaman tengah Masjid Amru Bin Ash di siang hari pada hari biasa dibiarkan terbuka tanpa hamparan karpet merah sebagai sajadah.

Demikian pula dengan Imam Syafi’I, pendiri mazhab Syafi’i, setelah datang ke Mesir, dia mengajar di masjid Amru bin Al Ash sampai meninggal di Mesir. Imam Syafi’I dilahirkan di Ashkelon, Gaza, Palestina, pada tahun 150 H / 767M  dan wafat serta dimakamkan di Fusthat, Mesir tahun 204H / 819M. Hingga hari ini Masjid Amru Bin Ash masih digungakan oleh para mahasiswa Universitas Al-Azhar untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an.

Ulama Mesir yang terkenal, jebolan Masjid Amru bin Al Ash, di antaranya; Pangeran Abdul Aziz bin Marwan bin Al Hakam Al Umawi, Yazid bin Habib (Suwaid Al Azdi Abu Raja’ Al Misri), Abu Abdirrahman Abdillah bin Luhaiah Al Hadhrami, dan Allaist bin Saad bin Abdirrahman Al Fahmi.

Kisah Wanita Tua Yahudi dan Amru bin Ash

Suasana Iktikaf di masjid Amru Bin Ash

Sisi lain dari sejarah Masjid Amru Bin Ash adalah kisah tentang seorang wanita tua Yahudi yang mengadukan Amru bin Ash ke Khalifah Umar di Madinah. Sebuah kisah teladan yang begitu berharga. Kisah ini pernah menjadi topik ceramah kyai sejuta ummat (alm) Zainudin MZ. Disebutkan bahwa Gubernur Amru bin Ash berniat untuk membangun masjid besar di atas tanah yang cukup luas tak jauh dari kediaman resminya.

Hanya saja di atas lahan tersebut terdapat sebuah gubuk milik seorang Yahudi tua. Amru bin Ash sudah melakukan negosiasi langsung dengan-nya namun Yahudi tua tersebut menolah untuk menyerahkan tanah milik-nya, hal tersebut membuat Gubernur Amru bin Ash naik pitam dan memerintahkan pembongkaran paksa atas gubuk reot tersebut. Dalam keputus-asa-an menghadapi kesewenangan gubernurnya, Yahudi tua tersebut memutuskan untuk mengadu ke Khalifah Umar Bin Khattab di Madinah.

Selain nyaman untuk sholat, masjid ini juga nyaman untuk ngaso sejenak, beberapa dari jemaah bahkan meluangkan waktu sejenak untuk tidur siang di masjid ini.

Peristiwa setelah itu mengubah segalanya. Yahudi tua tersebut sama sekali tak menduga bahwa Khalifah yang ditemuinya adalah seorang yang sangat sederhana jauh dari kemewahan, lebih terheran heran lagi ketika setelah mengadukan masalahnya, khalifah Umar ternyata marah besar dan meminta-nya untuk mengambil sepotong tulang, lalu dengan ujung pedangnya Umar menorehkan garis lurus di potongan tulang tersebut dan meminta Yahudi tua tersebut memberikan tulang itu langsung ke Gubernur Amru bin Ash di Mesir.

Seketika setelah menerima potongan tulang dari Yahudi tua itu, Gubernur Amru bin Ash pucat pasi dan serta merta memerintahkan semua bawahannya untuk mengentikan pembangunan masjid di lahan Yahudi tua tersebut dan memerintahkan menghancurkan bangunan masjid yang sudah setengah jadi berdiri disana. Kontan saja tindakan itu membuat Yahudi tua itu terhenyak dalam keheran yang bertubi tubi sejak dia bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab di Madinah.

Seorang lelaki tua sedang serius membaca kitab Suci Al-Qur’an di Masjid Amru Bin Ash. 

Gubernur Amru bin Ash yang kemudian menjelaskan semuanya setelah meminta maaf atas kesewenang wenangnannya. Beliau menjelaskan bahwa tulang yang diserahkan Yahudi tua itu adalah perintah langsung dari Khalifah kepada dirinya selaku gubernur, untuk senantiasa bertindah adil, bertindak lurus baik dari kalangan atas sampai kalangan paling bawah seperti hurup alif yang digoreskan khalifah Umar di atas tulang tersebut, bilamana tak mampu menjalankan amanah dengan adil maka pedang khalifah Umar sendiri yang akan memenggal kepalanya. Itu sebabnya Gubernur Amru bin Ash langsung pucat pasi menerima peringatan langsung dari Khalifah tersebut.

Alih alih gembira dengan keputusan gubernurnya yang menghentikan pembangunan masjid di atas lahan miliknya, Yahudi tua tersebut malah meminta khalifah untuk menghentikan pembongkaran bangunan masjid yang sedang dibangun itu. Dia mengaku sangat kagum dengan kepemimpinan Khalifah Umar yang begitu adil dan sangat kagum dengan ajaran Islam dan karenanya dia ridho menyerahkan lahannya untuk dibangun masjid dan meminta Gubernur Amru bin Ash untuk membimbingnya masuk Islam. Subhanallah.

Aktivitas Masjid Amru Bin Ash

Ukiran halus menjadi penghias di lengkungan dalam di Masjid Amru Bin Ash.

Masjid Amr bin Ash atau Gami Amru begitu orang-orang Mesir biasa menyebutnya. Telah menjadi salah satu tujuan wisata utama di kota Kairo. Sebagai tempat wisata, areal masjid ini pun dijaga oleh mabahist. Memasuki pelataran masjid ini pengunjung disambut ramah oleh suara cericit burung yang terbang bebas di areal Masjid.

Burung-burung itu berloncatan di langit-langit mesjid, menukik tajam lalu terbang menerobos ventilasi yang ada di dinding Masjid dan telah menjadikan areal masjid ini sebagai habitatnya. Burung-burung tersebut bersarang di lampu-lampu gantung yang terletak disekeliling masjid. Mungkin karena tidak adanya hutan di Mesir, sehingga burung-burung itu pun memilih gedung-gedung tua untuk dijadikan tempat berhabitat.

dan ini adalah salah satu sudut masjid yang disediakan bangku panjang bagi jemaah yang membutuhkannya.

Sepanjang hari masjid ini tak pernah sepi dari pengunjung, baik yang datang untuk menuaikan sholat hingga yang sekedar berkunjung seperti yang dilakukan oleh para turis non muslim yang datang lalu pergi lagi, termasuk juga kunjungan dari anak anak sekolah yang dipandu oleh gurunya masing masing. Mahasiswa dari Universitas Al-Azhar pun masih banyak yang melanjutkan tradisi belajar di masjid ini. Karena memang masjid itu terletak tepat di keramaian, dan dekat dengan kampus

Masjid Amru Bin Al Ash, khususnya pada hari Jum’at selalu ramai dikunjungi jemaah untuk shalat Jum’at, dan lebih khusus lagi pada bulan puasa, tanggal 27 Ramadhan, orang Mesir baik dari dalam maupun dari luar kota Kairo, berlomba-lomba datang untuk shalat taraweh dan Khatamul Alquran yang dipimpin/diimami oleh Imam Syekh Muhammad Jibril.***

Kembali ke Bagian 1

----------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid di Dunia Arab Lainnya