Tampilkan postingan dengan label masjid di afrika utara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masjid di afrika utara. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 November 2017

Masjid Djama’a al-Djedid Aljir, Aljazair

Masjid Al-Jadid Aljir, Aljazair

Masjid Al-Jadid dalam bahasa Inggris disebut dengan nama The Djama’a al-Djedid, sedangkan dalam bahasa setempat disebut dengan nama Jamaa al-Jadid sedangkan dalam bahasa Turki disebut dengan nama Yeni Camii yang berarti Masjid Baru, adalah masjid kuno di kota Aljir, ibukota negara Aljazair.

Masjid ini dibangun pada tahun 1660 Masehi atau 1770 Hijriah dan Pada masa penjajahan Prancis di Aljazair masjid ini disebut dengan nama Mosquée de la Pêcherie atau Masjid di dermaga nelayan (the Mosque of the Fisherman's Wharf).

Kubah utama masjid ini dibangun cukup tinggi hingga mencapai ketinggian 24 meter di topang dengan empat pilar penyangga dengan dasar bundar besar dan dilengkapi dengan tatakan seperti umpak. Di ke empat penjuru masjid di tutup dengan empat kubah setengah bundar berdenah dasar octagonal.


Tarikh pembangunan masjid ini disebutkan dalam sebuah plakat yang ditempatkan diatas pintu masuk utama masjid ini, disebutkan disana bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1770 Hijriah atau tahun 1660 Masehi, oleh Haji Habib yang merupakan Gubernur Aljazair, yang ditunjuk oleh pemerintahan Dinasti Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Turki.

Pada masa itu, wilayah Aljazair merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Usmaniyah. Haji Habib sendiri merupakan anggota pasukan khusus Infanteri Dinasti Usmaniyah yang disebut Janissary atau Yanisari atau dalam bahasa Turki disebut yeniçeri, yang berarti Pasukan Baru.

Pasukan ini merupakan pasukan elit pertama di Eropa yang dibentuk dimasa kekuasaan Sultan Murad I (1362–89) sebagai pasukan pengawal pribadi Sultan dan memang dilatih berkemampuan khusus sebagai pasukan yang memiliki loyalitas tinggi dan hanya patuh kepada perintah Sultan.

Eksterior Masjid Al-Jadid

Pembangunan masjid Al-Jadid ini dibangun dengan gaya arsitektur masjid masjid Usmaniyah baik dari bentuk struktur bangunan maupun ornamen nya namun mengingat lokasi pembangunannya yang berada di wilayah Afrika utara, budaya lokal turut mempengaruhi seni bina masjid ini.

Hasilnya adalah sebuah masjid yang cukup unik dengan penggabungan beberapa tradisi seni bina bangunan masjid, termasuk juga penggunaan beberapa elemen dari gaya arsitektur Andalusia dan Italia yang pada saat itu juga berpengaruh di kawasan Afria Utara.

Lokasi masjid ini berada di ujung barat dari Place des Martyrs, sedangkan sisi kiblatnya bersebelahan dengan sisi utara dari Boulevard Amilcar Cabral, tempat dimana Masjid Agung Almoravid Aljazair (The Almoravid Grand Mosque of Algiers) juga berada terpaut hanya sekitar 70 meter ke arah timur dari Masjid Al-Jadid ini.

Sisi tenggara masjid ini tak seberapa jauh dari ruas jalan pelabuhan nelayan kota Aljir, itu sebabnya masjid ini juga seringkali secara tak resmi juga disebut dengan the Mosque of the Fisherman's Wharf atau masjid di pelabuhan nelayan, dan faktanya masjid ini memang banyak digunakan oleh para nelayan yang beraktifitas di lokasi tersebut.

Interior Masjid Al-Jadid

Seperti halnya dengan Masjid Ketchaoua (1612), Masjid Al-Jadid ini sesungguhnya juga berada di dalam wilayah Casbah Almohad kota Aljir yang sebagian besar mengalami kehancuran dimasa penjajahan Prancis di Aljazair di abad ke 18.

Secara umum masjid ini berukuran lebar 27 meter (timur barat) dan panjangnya 48 meter (utara-selatan), arah bangunannya sendiri sedikit miring hingga 28 derajat terhadap kutub utara selatan menyesuaikan dengan garis kiblat, sisi kiblat masjid ini berada di sisi selatan bangunan, mengingat bahwa lokasi Ka’bah di kota Mekah berada di selatan negara Aljazair.

Jejeran tiang tiang penyangga atap di dalam masjid ini membentuk tiga lorong memanjang dan lima lorong sejajar dengan garis shaf masjid. Lorong bagian tengah masjid ini menjadi titik tengah tempat pintu masuk utama berada segaris dengan mihrab.

Ada delapan tiang besar di dalam masjid ini masing masing tiang berukuran sekitar dua meter persegi, masing masing tiang dihubungkan dengan lengkungan beton sekaligus menjadi penopang struktur atap diatasnya. Masing masing lengkungan ini mencapai ketinggian sekitar 9 meter dari permukaan lantai pada bagian lengkungan tengahnya yang merupakan bagian tertinggi.

Kubah utama masjid ini berdiameter sekitar 10 meter, dasar kubahnya menjulang sekitar 8 meter dari penopang tertingginya bertumpu di atas tiang tiang masjid. Puncak tertinggi kubah utama masjid ini mencapai 24 meter. Struktur penopang kuba masjid ini juga berbentuk bundar dilengkapi dengan empat jendela di empat sisi untuk penerangan di siang hari.

Mimbar dan mihrab masjid ini ditempatkan tepat dibawah kubah utama masjid. Karena letak kubah utama masjid ini tidak berada di tengah tengah bangunan, namun lebih berada di atas lorong shaf terdepan pada sumbu tengah bangunan, dan bukan pada sisi tembok sisi kiblat di bagian terdepan masjid.

Masjid Al-Jadid di malam hari

Seiring dengan pembangunan kota Aljir berakibat pada semakin tingginya permukaan jalan raya di sekitar masjid ini menyebabkan lantai masjid ini lebih rendah dari permukaan jalan raya dan karenanya kemudian pintumasuk masjid ini dilengkapi dengan beberapa anak tangga untuk masuk ke masjid. Saat ini lantai bawah masjid ini sudah berada lima meter lebih rendah dari permukaan jalan raya.

Hampir keseluruhan tembok luar masjid Aljadid di cat dengan warna putih dari tembok hngga kubah nya kecuali sedikit saja beberapa bagian diberikan sedikit ornament dengan warna berbeda. Satu hal yang menarik dari Masjid Al-Jadid ini adalah bahwa meskipun secara umum bangunan masjid ini dibangun dengan gaya Usmaniyah namun teramat berbeda dengan bangunan menaranya.

Bangunan menara masjid ini justru dibangun dengan gaya Afrika Utara, berupa bangunan menara berdenah segi empat, tidak seperti gaya menara Usmaniyah yang bundar, tinggi dan lancip. Pada mulanya menara masjid ini hanya setinggi 13 meter saja, namun kemudian dibangun lebi tinggi hingga 25 meter dari permukaan tanah Place des Martyrs seiring dengan semakin tingginya permukaan jalan raya.

Bangunan menara ini terdiri dari tiga lantai yang dihubungkan dengan tangga tertutup di dalam menara. Pada tingkat ke tiga nya ditempatkan sebuah jam berukran besar. Jam ini ditempatkan oleh Bournichon, yang diambil dari Palais Jénina. Menara masjid ini juga dilengkapi dengan balkoni yang ditempatkan di bagian teratasnya. Bentuk menar seperti ini memang tidak lazim bagi sebuah bangunan masjid dari era dinasti Usmaniyah dan itu justru menjadi salah satu keunikan dari masjid Al-Jadid di Kota Aljir, Aljazair ini.***

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Baca Juga

Minggu, 19 November 2017

Masjid Ketchaoua Aljazair

Masjid Ketchaoua landmark kota tua Casbah, Aljir. 

Masjid Ketchaoua adalah masjid tua di kota Aljir (Algiers), Ibukota Aljazair (Algeria), masjid ini berdiri di daerah Casbah di dalam kota Aljir dan dibangun dimasa kekuasaan dinasti Usmaniyah di abad ke 17 masehi, dan telah terdaftar oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia.

Masjid ini berdiri di bagian anak tangga pertama Casbah yang memang memiliki banyak anak tangga, yang secara logistik dan simbolis merupakan titik perhatian pada masa pra-kolonial bagi kota Aljir. Bangunan masjid ini dikenal luas keunikannya karena memadukan gaya arsitektur Bangsa Moor (Maroko) dan gaya arsitektur Byzantium (Romawi Timur).

Bangunan asli masjid ini awalnya dibangun tahun 1612, namun kemudian di ubah fungsi menjadi Katedral St Philippe di tahun 1845 pada masa penjajahan Prancis di Aljazair hingga tahun 1962, dan di tahun 1962 juga dikembalikan lagi fungsinya sebagai masjid.


Meskipun telah melewati rentang waktu begitu lama hampir selama empat abad dan sempat dialih fungsi menjadi gereja, masjid ini masih menunjukkan kemegahannya yang asli dan menjadi salah satu objek wisata sejarah paling penting di Aljazair.

Casbah, tempat masjid ini berdiri, merupakan bagian paling bersejarah di Aljir, letaknya berada di sisi utara kota, terpaut sekitar 250 meter sebelah barat dari Masjid Agung Aljazair, tempatnya berdiri juga berdekatan dengan istana uskup Aljazair dan gedung perpustakaan Nasional.

Sejarah Masjid Ketchaoua

Sejarah Masjid Ketchaoua tak dapat dipisahkan dari sejarah kota kuno Casbah yang Dibangun di situs bekas tempat berdirinya Icosium, pemukiman orang orang Phoenisia di masa lalu. Pada saat pembangunannya oleh dinasti Usmaniyah di abad ke 17 masehi, Casbah merupakan bagian inti kota.

Eksterior Masjid Ketchaoua

Lokasinya sangat strategis, berdiri megah di anak tangga pertama Casbah yang mengarah ke lima gerbang kota di distrik-nya para aristokrat, yang merupakan tempat tinggalnya orang orang kaya dan keluarga kerajaan, para tokoh politik dan para pelaku bisnis terkemuka pada masa itu.

Casbah sendiri berarti benteng, berdiri di tepian laut mediterania. Sebuah kota islam yang unik yang memposisikan Masjid Ketchaoua di tengah tengah nya. Posisi masjid ini juga menjadi titik temu dari persimpangan jalan dari bagian bawah Casbah menuju ke 5 gerbang kota Aljir, seperti telah disebutkan tadi.

Masjid ini terlihat jelas dari pulau tempat berdirinya pos dagang orang orang Charthaginia di abad ke 6. Sedangkan kota kota Aljazair sendiri baru dibangun oleh orang orang Zirid pada abad ke 10, dan selama berabad abad setelah itu penguasa tempat ini silih berganti dari bangsa Birbir, Romawi, Romawi Timur (Byzantium), Arab dan Spanyol pun meninggalkan pengaruhnya disini

Ada juga yang menyatakan bahwa masjid ini telah dibangun pada abad ke 14 masehi, namun dokumen dokumen resmi yang ditemukan menunjukkan bahwa masjid ini baru dbangun di tahun 1612 (abad ke 17). Namun demikian memang ada proses pembangunan kembali oleh Hasan Pasha, merujuk kepada inskripsi peringatan di abad ke 18 (tahun 1900-an) pada saat masjid ini disebut sebagai sebuah “keindahan tak tertandingi”.

Interior Masjid Kechaoua

Di ubah menjadi Katedral lalu menjadi Masjid Lagi

Di tahun 1838 masjid ini di ubah menjadi Katedral St. Philippe oleh penjajah Prancis yang pada saat itu menjajah Aljazair dan pada tahun 1840 secara resmi lambang salib di letakkan di puncak bangunannya oleh Marshal Sylvain Charles Valée, seiring dengan jatuhnya kota Constantin ke tangan Prancis.

Dan ketika Aljazair memperoleh kemerdekaannya di tahun 1962, bangunan ini dikembalikan lagi ke fungsinya semula sebagai Masjid Ketchaoua, dan dinyatakan sebagai bangunan penting bagi budaya dan agama, serta telah memperkaya khasanah catatan sejarah tentang masjid ini yang disebut sebut sebagai ‘masjid yang di ubah menjadi gereja dan menjadi masjid kembali”.

Pengembalian fungsinya sebagai masjid dilaksanakan di tahun pertama kemerdekaan Aljazair dalam sebuah upacara resmi yang dipimpin oleh Tawfiq al Madani, selaku Menteri urusan pelabuhan, dan diselenggarakan di Ben Badis Square (sebelumnya disebut dengan Lavigere).

Momemtum tersebut digambarkan sebagai “Penaklukkan kembali keaslian Aljazair sebagai simbol tertinggi dari pemulihan integritas nasional”. Terpisah dari masjid Ketchaoua, Casbah juga masih memiliki sisa reruntuhan Citadel, bangunan masjid tua yang lainnya, istana bergaya Usmaniyah serta reruntuhan perkotaan tradisional masa lalu.

Arsitektur

Pintu masuk utama masjid ini dilengkapi dengan 23 anak tangga. Pada pintu masuknya terdapat portico berornamen, yang ditopang oleh empat kolom dari batu marmer bercorak hitam. Didalam masjid terdapat jejeran arcade yang dibangun menggunakan kolom kolom batu marmer putih. Keindahan ruangan masjid ini, menara dan langit langitnya di aksentuasi dengan sentuhan seni plester semen bergaya Moor.

Masjid Kethaoua di abadikan dalam salah satu seri perangko Aljazair

Masjid ini kini terlihat jelas dari lapangan terbuka di Casbah, dengan pemandangan laut di sisi depan dan memiliki dua menara berdenah oktagonal yang mengapit pintu masuknya. Dengan sentuhan gaya Moor dan Byzantium menghadirkan pemandangan yang memukau.

Sebagian besar dari kolom kolom marmer putih masjid ini memang berasal dari bangunan asli. Dan uniknya di dalam salah satu ruangan masjid ini terdapat makam dari San Geronimo, dari masa penjajahan Prancis saat masjid ini dijadikan Katedral.

Restorasi

Restorasi terhadap masjid ini dilaksanakan pada tahun 2009 oleh Departemen Warisan Budaya Aljazair, meliputi perbaikan terhadap menara masjid, ruang tengah dan pembatas tangga di dalam masjid. Proyek restorasi tersebut direncakan akan rampung dalam waktu 12 bulan. Hal tersebut cukup mendesak karena salah satu dari menara masjid ini terancam runtuh sebagian.

Restorasi tersebut dijalankan dalam tiga tahap termasuk restorasi terhadap Casbah nya sendiri secara umum. Rencana tersebut telah diluncurkan sejak September 2008 meliputi renovasi sejumlah masjid kuno di Aljir serta mengubah beberapa rumah rumah tua di Casbah menjadi perpustakaan umum dengan dana awal yang dikucurkan mencapai 300 juta Dinar Aljazair.***

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Baca Juga


Sabtu, 24 Desember 2016

Masjid Maidan Al-Jazair Square, Tripoli

Masjid Jamal Abdul Naseer atau Masjid Maidan Sl-Jazair Square, masjid megah di pusat kota Tripoli, Libya. dahulunya adalah sebuah bangunan Katedral.

Libya, Selayang Pandang

Mungkin anda pernah menyaksikan film ‘Lion of the Desert (1981)” yang menceritakan tentang tokoh bernama Omar Mukhtar. Sejatinya Omar Mukhtar memang tokoh nyata yang merupakan pejuang kemerdekaan Libya dari penjajahan Italia. Omar Mukhtar di hukum mati oleh tentara penjajahan Italia tahun 1931. Dua puluh tahun setelah itu Libya memproklamirkan kemerdekaannya, dan lukisan wajah Omar Mukhtar diabadikan di uang dinar Libya, sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh pahlawan nasional Libya tersebut.

Nama Libya adalah penamaan oleh orang Yunani untuk menyebut seluruh wilayah Afrika Utara. Italia-lah yang kemudian menggunakan Nama itu untuk menyebut wilayah jajahannya yang kini dikenal sebagai Negara Libya. Libya merupakan salah satu negara di wilayah magribi, berada di sebelah utara benua Afrika, menghadap ke laut mediterania, berseberangan dengan benua Eropa. Sepanjang sejarahnya wilayah ini silih berganti penguasa terutama oleh beberapa kerajaan Eropa.

Tahun 647 pasukan Islam menyerbu wilayah Libya dari tiga penjuru dibawah pimpinan para sahabat nabi yakni Amru Bin Ash, Abdullah bin Sa’ad dan Uqba bin Nafi merebut seluruh wilayah Libya dari kekuasaan Bizantium dan kekuatan lainnya. Setelah itu Libya secara tradisi menjadi wilayah beberapa dinasti kekhalifahan Islam hingga ke khalifahan Usmaniyah yang berpusat di Istambul, Turki.  Namun kemudian Libya jatuh ke tangan Italia di tahun 1912 setelah Turki mengalami kekalahan dalam perang dunia pertama.

Masjid Maidan di tahun 2012 dan ketika masih berupa katedral di tahun 1960-an

Dalam perang dunia kedua Italia mengalami kekalahan dari pasukan sekutu. Adalah Idris al-Mahdi as-Sanussi yang merupakan Emir di wilayah Cyrenaica, mewarisi kekuasaan sejak masa kekuasaan Islam, memimpin perjuangan kemerdekaan Libya dan memproklamasikan kemerdekaan Libya pada tanggal 24 Desember 1951 sebagai kerajaan merdeka. Idris al-Mahdi as-Sanussi menjadi Raja pertama Libya merdeka, berkuasa selama 18 tahun.

Di tahun 1969 Raja Idris di kudeta oleh Kolonel Muamar Khadafi yang ketika itu baru berusia 27 tahun. Namun kemudian sejarah kembali berulang, setelah 42 tahun berkuasa giliran Khadafi yang di kudeta oleh berbagai faksi di Libya di dukung oleh pasukan NATO dan Uni Eropa. Muammar Khadafi terbunuh di kota Sirte tanggal 20 Oktober 2011. Sirte adalah kota kelahiran Muammar Khadafi dan di kota itu pula beliau wafat.

Paska tumbangnya pemerintahan Khadafi, Libya tak lagi benar benar utuh sebagai sebuah negara dengan satu pemerintahan. Pemerintahan yang terbentuk setelah itu tidak pernah benar benar berkuasa dan mengendalikan negara. Dari berbagai laporan media menyebutkan bahwa hingga hari ini Libya terpecah pecah dalam berbagai faksi dengan kekuatan dan wilayah kekuasaan mereka masing masing.

Sudah berdiri sejak zaman kolonial Italia dan masih bertahan hingga kini di pusat kota Tripoli.

Pemerintahan pusat Libya yang diakui PBB dan negara negara dunia, tidak memiliki pengalaman dan kekuatan untuk menegakkan kewibawaan pemerintahan negara karena tidak memiliki angkatan bersenjata nasional yang dapat diandalkan untuk mengendalikan kondisi negaranya sendiri. Sementara kekuatan asing yang tadinya disambut hangat untuk menggulingkan rezim khadafi “lepas tangan” dengan buruknya situasi setelah itu.

Islam telah memerintah di wilayah Libya selama hampir 13 abad meski dengan silih berganti dinasti. Dengan sejarah pemerintahan yang begitu panjang maka wajar bila mayoritas penduduk Libya beragama Islam, dan paska runtuhnya pemerintahan Khadafi beberapa faksi Islam pun bersikukuh untuk menegakkan syariat Islam di negara tersebut, ide yang tak sejalan dengan faksi lainnya dan menjadi salah satu amunisi ke-engganan masing masing faksi untuk tunduk kepada pemerintahan Negara yang berpusat di Tripoli.

Tentang kota Tripoli Sepintas Lalu

Tripoli merupakan ibukota negara Libya sekaligus kota terbesar di negara tersebut, dulunya merupakan pusat dari wilayah Tripolitania, salah satu nama yang dinisbatkan kepada wilayah Libya. Nama Libya baru digunakan tahun 1934 oleh Italia yang menjajah wilayah itu.  Di pusat kota Tripoli terdapat sebuah lapangan yang disebut Al-Jazair Square, tempat salah satu bangunan penanda kota ini berdiri, yakni Masjid Maidan Al-Jazair Square atau Masjid Jamal Abdel Nasser.

Tampak samping Masjid Maidan

Dilapangan yang berada di depan masjid ini seringkali dijadikan tempat pavorit warga Libya untuk berkumpul dan berorasi menyuarakan kebebasan berpendapat di muka umum paska keruntuhan pemerintahan Libya dibawah Presiden Muammar Khadafi.  Masjid Maidan ini juga merupakan bangunan dari masa pemerintahan mendiang Muammar Khadafi. Awalnya bangunan ini adalah sebuah katedral katholik yang terkenal dengan nama Tripoli Cathedral atau dalam Bahasa Italia disebut La Cattedrale di Tripoli.

Sejarah Masjid Maidan

Bangunan masjid Maidan ini awalnya merupakan sebuah katedral katholik Roma yang pertama kali dibuka secara resmi pada tahun 1928. Proses pembangunannya juga melibatkan seorang interior designer dari Libya yang bernama Othman Nejem. Pembangunannya di arsiteki oleh arsitek Italia Saffo Panteri, dengan rancangan gaya Romanesque dilengkapi dengan kubah besar di atapnya. Sedangkan Menara loncengnya dihias dengan ukiran gaya Venetian. Kala itu Katedral ini merupakan gereja katholik kedua yang dibangun di Tripoli setelah gereja Santa Maria degli Angeli, yang dibangun oleh komunitas orang orang Malta di Tripoli pada tahun 1870.


Ada sekitar 50,000 umat katholik di Libya sebagian besar tinggal di wilayah Tripoli dan sekitarnya atau kurang dari satu persen dibandingkan dengan penduduk Libya secara keseluruhan. Kebanyakan dari penganut Katholik di Libya merupakan orang berdarah Itali, Malta, Imigran dari Philipina dan para warga migran lainnya. Sebagian besar dari mereka bahkan sudah meninggalkan Libya tahun 2010-2015 saat pecah perang saudara di Libya.

Di Ubah menjadi Masjid Maidan

Di Masa kekuasan Muammad Khadafi, sekitar tahun 1970 atau tahun 1990-an bangunan katedral tersebut di konversi menjadi bangunan masjid dengan nama Masjid Maidan Al-Jazair Square. Perubahan fungsi dari katedral menjadi masjid telah merubah bangunan ini secara total meski pola bangunan lama masih tampak pada bangunan masjid ini. Hampir keseluruhan pernak Pernik dari bangunan lama dibongkar dan diganti dengan rancangan baru bergaya arabia. Bangunan tersebut masih difungsikan sebagai masjid hingga hari ini. ***

Selasa, 12 Juli 2016

Masjid Muhammad Ali Pasha, Kairo

Tinggi menjulang di atas benteng Salahudin di atas bukit kota Kairo, Masjid Muhammad Ali Pasha tak pelak lagi menjadi landmark kota Kairo (foto dari wikipedia)

Tak salah bila Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara, kota ini memang bertabur menara menara masjid indah dari berbagai era kekuasaan yang silih berganti menguasai Mesir. Salah satu masjid dengan menara tinggi dan dapat dilihat dari jarak yang begitu jauh karena berada diketinggian Benteng Shalahuddin di atas sebuah bukit di kota Kairo, yakni Masjid Muhammad Ali Pasha. Saking tingginya lokasi masjid ini, Ketika sudah berada disana, pengunjung dapat melihat hampir seantero Kota Kairo, beserta sungai Nil dan piramida dikejauhan dari halaman masjid.

Tak pelak lagi dengan posisinya yang berada di ketinggian dan dapat dipandang dari berbagai sudut kota, masjid ini dengan secara otomatis menjadi landmark kota Kairo. Masjid Muhammad Ali Pasha dinamai sesuai dengan nama Muhammad Ali Pasha penguasa Mesir dari dinasti Muhammad Ali, dinasti Islam terahir yang berkuasa di Mesir sebelum kemudian negeri ini berubah menjadi Republik hingga saat ini. Masjid Muhammad Ali Pasha memiliki banyak nama lain, diantaranya adalah Masjid Alabaster karena sebagian besar dilapisi dengan marmer alabaster. Kadangkala juga disebut sebagai masjid Almarmari merujuk kepada bahan marmer yang mendominasi bangunan masjid ini.


Masjid ini sengaja dibangun oleh Muhammad Ali Pasha ditahun 1830 hingga 1848, untuk mengenang Tusun Pasha, putra tertua-nya yang meninggal pada tahun 1816. Untuk membangun masjid tersebut, beliau mengundang sejumlah insinyur dari Prancis dan Italia untuk merancang Masjid ini. Diantara ide cemerlang yang dikemukakan para insinyur yang mendirikan Masjid Muhammad Ali Pasha adalah pemilihan lokasi yang unik, yakni di puncak Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi yang berada di pinggiran Kota Kairo. Dengan dipilihnya lokasi tersebut, panorama di sekitar benteng tersebut pun menjadi benar-benar berubah. Rekonstruksi Masjid Muhammad Ali Pasha dimulai pada tahun 1830 atau sekitar tujuh abad setelah berdirinya Citadel dan selesai tahun 1848.

Jazad Muhammad Ali Pasha sendiri ahirnya di makamkan di halaman masjid ini. Muhammad Ali Pasha wafat di Istana Ras el-Tin Palace di Alexandria pada tanggal 2 Agustus 1849 dan dimakamkan di pemakaman Hosh al-Basha. Adalah Raja Abbas I yang tak lain adalah cucu dari Muhammad Ali Pasha, putra dari Tusun Pasha yang kemudian memindahkan makam Muhammad Ali Pasha ke halaman masjid ini pada tahun 1857.

dari segi ukuran, Masjid Muhammad Ali Pasha ini merupakan masjid terbesar yang pernah dibangun di awal abad ke 19, terutama di Mesir dan Afrika.

Bergaya Turki dengan sentuhan Prancis dan Italia

Masjid Muhammad Ali Pasha secara umum dibangun dengan mengadopsi gaya masjid dinasti Usmaniyah, bangunan masjid dengan dua buah menara tinggi yang ramping dan runcing seperti sebuah pinsil, mengapit kubah utama dan sejumlah kubah kecil disekitarnya. Tinggi kedua menara ini mencapai 82 meter. Sementara itu, bagian kubahnya dibuat megah dan tinggi, mirip dengan Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Bangunan utamanya terdiri dari dua bagian. Pada bagian luar, terdapat tempat berwudhu yang letaknya tepat di tengah-tengah halaman masjid dan sebuah menara jam yang merupakan hadiah dari Raja Prancis, Louis Philippe I, pada tahun 1846. Konon, sebagai hadiah balasan, Raja Muhammad Ali Pasha memberikan obelisk Ramses II dari Kuil Luxor yang terdapat di pintu masuk. Saat ini, obelisk Ramses II tersebut masih bisa dilihat di Place de la Concorde, Paris, Prancis.

Interior Masjid Muhammad Ali Pasha, tak jauh berbeda dengan interior masjid masjid dari masa Usmaniyah lainnya. Terutama Masjid Aya Sofia di Istambul, Turki.
Ruang shalat berada di bawah kubah-kubah yang terdiri atas satu kubah utama yang berada di tengah dan empat kubah berukuran menengah (sedang) serta empat kubah kecil yang mengapit kubah utama. Bagian langit-langit puncak kubah (dari dalam) dihiasi ukiran geometris dengan empat pojok yang terukir kaligrafi empat nama Khulafaur Rasyidin. Dinding ruang sholat diberi celah-celah yang dihias dengan kaca patri berwarna-warni dan pilar pilar pualam yang tidak membuat ruangan masjid tersebut terasa sempit. Di samping pilar pilar utama terdapat juga pilar pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.

Masjid Muhammad Ali Pasha di mata uang Mesir
Selain cahaya alami, sistem pencahayaan masjid ini disinari oleh lampu-lampu gantung raksasa di bagian tengah ruang shalat. Lampu-lampu gantung raksasa tersebut diberi bingkai lampu-lampu gantung listrik yang memiliki ukuran lebih kecil dengan bola-bola kristal yang indah dan menawan yang terdapat di sekelilingnya. Keberadaan ornamen dan lampu-lampu kristal pada bagian ruang shalat ini memberi kesan gaya Baroque, suatu gaya arsitektur yang tumbuh setelah masa Renaisanse yang begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen, termasuk dengan bangunan mimbarnya.

Di dalam Benteng Salahudin ini Selain Masjid Muhammad Ali juga terdapat dua museum, yaitu Museum Permata (Qashrul Jawharah) yang berisi perhiasan raja-raja Mesir, Singgasana Raja Farouk, dan Museum Polisi (Mathaf As-Syurthah) yang terdiri dari 6 bagian (diantaranya ruangan yang memamerkan senjata-senjata yang pernah dipakai polisi Mesir sepanjang sejarahnya, ruangan dokumen-dokumen penting semenjak masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha hingga kini, dan ruangan-ruangan lainnya.

Menjulang di titik tertinggi benteng Shalahuddin

---------------------

Baca Juga


Minggu, 03 April 2011

Masjid Sidi Uqba, Biskra, Aljazair

Masjid Sidi Uqba, Biskra, Aljazair

Masjid Sidi Uqba yang akan dibahas ini masih terkait dengan tokoh yang sama dengan Masjid Uqba, Masjid Agung Kairouan, Tunisia. Beberapa artikelpun bahkan ada yang menuliskan dua masjid yang berbeda ini dengan nama Masjid Sidi Uqba, yang akan membuat bingung siapapun yang baru pertama membaca tentang dua masjid ini. Dua hal yang menjadi pembeda antara dua masjid ini. Masjid Uqba di Kairouan, Tunisia, dibangun sendiri oleh Uqba Bin Nafi. Sementara masjid Sidi Uqba di Biskra dibangun justru disekitar Makam Uqba Bin Nafi oleh penguasa disana untuk menghormati dan mengenang jasa jasa beliau, sekian ratus tahun setelah wafatnya Uqba Bin Nafi.

Sidi Uqba, merupakan sebuah kota kecil di Biskra, Aljazair. Tempat wafat dan dimakamkannya Uqba Bin Nafi dalam pertempuran melawan pasukan pemberontak dibawah pimpinan Kusaila atau Koceila di tahun 683M. Sidi Uqba yang berada sekitar 6 km sebelah selatan kota Tehouda dan sekitar 20 km sebelah timur kota Biskra, berada di jalan Khengat Sidi Nadji, Sidi Uqba, Biskra, Aljazair. Kata sidi sendiri berasal dari kata Sayidina. Seperti kata Siti di Indonesia yang konon berasal dari kata Sayidati.


Sejarah Masjid Sidi Uqba, Biskra

Masjid Sidi Uqba, dibangun sekitar tahun 416H / 1025M di era kekuasaan Dinasti Zirid. Menjadikan masjid ini sebagai salah satu masjid tertua di kawasan Afrika Utara. Sama seperti masjid Uqba bin Nafi di Kairouan di Tunisia, masjid Sidi Uqba juga dinamai dengan nama Uqba Bin Nafi. Uqba bin Nafi, gubernur Ifriqiya, wafat ditempat ini dalam peperangan melawan Koceila (kusaila) dan pasukannya yang sudah menunggunya di Tehouda sekembalinya beliau dari kemenangan ekspedisi yang beliau pimpin sendiri hingga ke Atlantik.

Perkiraan tanggal pendirian masjid ini di dasarkan pada data data historis yang terkumpul serta analisa gaya bangunan. G. Marcias menyebut tahun 67H/686M dan 416H/1025H sebagai tahun pendirian. Tahun 67H/686M merupakan tahun pembangunan komplek pemakaman Uqba Bin Nafi; dibandingkan dengan inskipsi di nisan makam dengan   dengan tulisan bergaya kairouan bertarikh 416H/1025M memberikan dugaan bahwa bangunan yang ada disekitar makam juga didirikan di tahun yang sama.

Masjid Sidi Uqba, Biskra, Aljazair 

Inskripsi lain juga eksis di dinding bangunan. Sebuah papan kayu dengan ukiran tahun 1215H/1800M; memiliki kesamaan dengan mihrab masjid yang bertarikh 1214H/1789M. Menurut kapten H. Simon dalam bukunya “Notes sur le mausolée de Sidi Okba” (Revue africaine, 1909, pl. III), tarikh tersebut merupakan tarikh perluasan ataupun tahun perbaikan komplek masjid dan makam tersebut.

Arsitektur Masjid Sidi Uqba

Masjid dan tempat bersejarah ini menampakkan sebuah kesederhanaan, keseluruhan elemen arsitektural-nya ditutup dengan adukan semen putih, tak ada satupun material atau hiasan mahal yang digunakan di bangunan masjid dan komplek pemakaman ini. Seperti kebanyakan masjid awal di

Foto tua masjid Sidi Uqba

Denah masjid ini hampir sama dengan masjid Nabawi di Madinah. Bagian dasar tiang tiang masjid lebih ditinggikan sekitar 10 cm. Hal tersebut juga mempermudah meluruskan barisan shaf sholat bagi jemaah. Beberapa kolom merupakan batang pohon kurma yang di tutup dengan adukan semen putih, kemudian diperindah dengan hiasan yang juga terbuat dari adukan semen putih. Kolom kolom tersebut juga menyanggah lengkungan lengkungan yang sepi dari dekorasi.

Mihrab masjid ini dibuat dengan rancang bangun seperti mihrab di masjid agung Bagdad, Ditandai dengan lengkungan besar dihias adukan semen dengan motif geometris sederhana dengan paduan warna merah dan hijau, ditambah dengan pola ukiran tidak teratur dan di mahkotai dengan kubah setengah lingkaran beralur. Masjid Agung Bagdad (Irak) dibangun oleh Khalifah Abu Mansur tahun 762 M. Disebelah mihrab dilengkapi dengan pintu dari papan kayu berukir dengan dekorasi bunga mawar dan beberapa inskripsi arab. Dua kubah di bangunan ini masing masing dibangun menutup ruang sholat utama di ruang yang berada di depan mihrab dan satu kubah lagi menutup bangunan makam.

Interior masjid Sidi Uqba

Ketiga sisi masjid ini dilengkapi dengan pintu utama, masing masing dengan dua daun pintu yang terbuat dari kayu cedar berukir sangat indah. Dalam proyek pengembangan yang dilaksanakan antara tahun 1969M hingga 1970M dilakukan renovasi terhadap bangunan masjid termasuk integrasi masjid menjadi komplek pusat kebudayaan Islam.

Bangunan makam Uqba Bin Nafi, dibagun tiga ratus lima puluh tahun setelah beliau dimakamkan disana, dilengkapi dengan hiasan hiasan termasuk pintu depan yang indah dengan seni ukir kayu dari era Fatimiyah yang memiliki kesamaan dengan seni ukir di masjid Uqba di Kairouan, Tunisia. Ditambah dengan dekorasi bergaya arab yang mirip dengan anyaman. Beberapa detil hiasan masjid ini seperti ukiran semak semak yang menjulur juga ditemukan kesamaan dengan yang ada di pintu dan mihrab masjid Agung Cordoba, Spanyol.

Makam Uqba Bin Nafi di komplek Masjid Sidi Uqba

Ruang makam berbentuk segi empat dan di tutup dengan kubah kecil di atap nya, makam ini terletak di sudut sebelah barat daya masjid. Dimasa pemerintahan Ibnu Badus Muiz tahun 1025, bangunan makam ini diperindah dengan meniru gaya perpustakaan Pangeran Zirid di Masjid Agung Kairouan. dengan bantuan dari pangeran Zirid. Sedangkan menara masjid Sidi Uqba terletak di sudut barat daya ruang sholat utama dengan bentuk segi empat. Menara berbentuk segi empat ini merupakan menara khas wilayah maghribi.

Sidi Uqba, kota wisata ziarah

Sidi Uqba dengan masjid tuanya, hingga kini menjadi kota wisata ziarah bagi kaum muslimin dari berbagai kota di Aljazair dan sekitarnya hingga ke manca negara. Makam Uqba Bin Nafi dan masjid Sidi Uqba menjadi magnet tersenditi bagi para peziarah muslim ataupun pengunjung non muslim yang ingin berziarah atau sekedar berkunjung ke salah satu tempat yang memiliki nilai sejarah begitu tinggi bagi perkembangan peradaban Islam di benua Afrika bagian utara khususnya dan bagi dunia Islam secara umum.

Foto Foto Masjid Sidi Uqba, Biskra


Foto tua masjid Sidi Uqba 
Lukisan masjid Sidi Uqba 
Foto tua masjid Sidi Uqba 


-----------------------------oooOOOooo-----------------------

Selasa, 29 Maret 2011

Masjid Uqba Bin Nafi, Masjid Agung Kairouan, Tunisia

Masjid Uqba, Masjid Agung Kairouan

Tunisia, Negeri muslim arab di ujung utara benua Afrika yang baru reda dari ketengan politik akibat demonstrasi masa besar besaran menuntut mundurnya pemetintahan presiden Ben Ali dari tampuk kekuasaan negara tersebut. Ben Ali pada ahirnya mundur dari jabatannya meski harus melarikan diri dari negara yang sudah membesarkan pundi pundi harta pribadinya itu.

Ada beberapa persamaan antara Indonesia dan Tunisia, sama sama negeri dengan mayoritas Muslim, sama sama pernah mencatatkan diri dalam sejarah sebagai negeri yang menurunkan presidennya melalui kekuatan demonstrasi masa, dan sama pernah di jajah negara Eropa. Bedanya mereka baru merdeka dari jajahan Prancis 20 Maret 1956, 11 tahun setelah kita merdeka dari Belanda di tahun 1945 tapi pemdapatan perkapita penduduknya jauh di meninggalkan kita, dengan jumlah penduduk hanya seperduapuluh dari penduduk negeri kita.

Ada satu persamaan lagi antara Indonesia dan Tunisia, tiap kota di Tunisia memiliki masjid agung, sama persis dengan di negeri kita. Salah satu masjid agung yang begitu terkenal di Tunisia adalah masjid Agung di kota Kairouan yang akan kita bahas dalam artikel kali ini. Masjid yang disebut sebut sebagai salah satu masjid tertua di Bumi, yang masih berdiri kokoh hingga kini.

Aerial view Masjid Uqba dari sisi yang lain

Masjid agung kota Kairouan resminya bernama Masjid Uqba Bin Nafi atau terkenal juga dengan nama Sidi Uqba atau Uqba Bin Nafis atau Uqba Bin Nafaa. Uqba Bin Nafi adalah salah satu sahabat Rosulullah S.AW. yang juga salah satu panglima perang Islam penakluk Afrika utara ke dalam pangkuan Islam. Beliaulah yang pertama kali membangun masjid ini tahun 670M sekaligus menjadi penguasa muslim pertama disana.

Di Biskra, Aljazair ada sebuah tempat bernama Sidi Uqba atau Sidi Oqba, tempat wafatnya Uqba bin Nafi dan dimakamkan. Di Sana juga berdiri sebuah Masjid Agung yang terkenal dengan nama Masjid Agung Sidi Uqba, atau Sidi Oqba. Masjid Agung yang juga dinamai sesuai dengan nama dan terkait dengan sejarah sahabat Rosulullah ini.

Alamat dan Lokasi Masjid Agung Keirouan

Teletak di timur laut wilayah medina kota Kairouan, masjid ini masuk dalam wilayah Houmat a-Jami (wilayah Masjid Agung). Lokasi ini memang terkait dengan wilayah asli yang dibangun oleh Panglima Uqba Bin Nafis. Dalam perkembangannya wilayah yang memang menjadi pertemuan beberapa wadi beberapa suku, wilayah inipun berkembang ke arah selatan.






Kota Kairouan berjarak 116 kilometer dari Kota Tunis ibukota Tunisia. Kairouan berjarak 116 kilometer dari Tunis. Perjalanan ke sana membelah padang rumput yang kering. Banyak pohon anggur dan pohon zaitun sepanjang jalan. Ada pohon zaitun yang masih berbuah meski usianya sudah 1.000 tahun, di sepanjang perjalanan dari Tunis ke Kairouan yang beraspal mulus.

Kairouan atau dalam bahasa Arab Qayrawan yang berarti "kemah". Diambil dari Qayrawan yang digunakan oleh pasukan Uqba Bin Nafis selama dalam perjalanan dari Mesir sampai kemudian tiba di lokasi ini dan mendirikan kemah selama beberapa hari. Awalnya Kairouan adalah kota yang terpencil, jauh dari jalur perdagangan. Namun, sekarang menjadi salah satu tujuan wisata dan dianggap kota suci. Menurut legenda.saat rombongan Uqba berkemah, seekor kuda tersandung oleh sebuah piala yang tertimbun pasir. Piala ini konon hilang dari Mekah beberapa tahun sebelumnya. Ketika piala itu digali dari pasir, secara ajaib air me-mancar yang konon berasal dari sumber yang sama seperti sumber air Zamzam di Mekah.

Foto lama Masjid Uqba di awal abad ke 20

Cerita inilah yang mendorong kaum Muslim dari berbagai wilayah untuk berziarah ke Kairouan dan sebagian bermukim di sana. Maka selama berabad-abad kemudian Kairouan menjadi salah satu pusat budaya Arab yang penting. Kota ini pun berkembang secara fluktuatif menjadi kota ilmu pengetahuan, pertanian, dan perdagangan.

Sejarah Masjid Agung Kairouan

Masjid agung ini merupakan masjid pertama yang dibangun di kota Kairouan, dibangun tahun 670M tak lama setelah kedatangan muslim Arab ke Afrika utara, bertepatan dengan tahun ke 50 Hijriah.

Ketika menaklukkan Tunisia di tahun 670 M, Panglima Uqba Bin Nafis memilih sendiri lokasi untuk pembangunan masjid ini, tepat di tengah kota yang belau dirikan. Sengaja dibangun berdekatan dengan kantor pusat pemerintahan. 20 tahun setelah dibangun, tepatnya di tahun 690M masjid ini hancur lebur oleh serbuan pasukan suku Berber yang mencaplok kota Kairouan di bawah pimpinan Kusaila.

Masjid Uqba

Tahun 703M, Hasan bin Al-Nu’man yang kemudian membangun kembali masjid ini dari kehancuran. Dengan terus membengkaknya penduduk kota Kairouan dan berkonsekwensi dengan membengkaknya pula jemaah masjid, Khalifah dinasti Umayyah Hisyam Ibnu Malik meminta Gubernur Bishr ibnu Safwan melaksanakan perluasan kota termasuk perluasan Masjid agung Kairouan di tahun 724-728M.

Dalam proses perluasan tersebut Bishr ibnu Safwan meruntuhkan masjid yang lama dengan hanya menyisakan bangunan mihrabnya, dibawah pemerintahan beliau juga bangunan menara masjid ini mulai dibangun.

Tahun 774 rekonstruksi baru disertai dengan modifikasi dan penambahan pernak pernik hiasan dilakukan dibawah arahan dari Gubernur dinasti Abasiah Yazid Ibu Hatim. Era kekuasaan Aghlabids, Kairouan mencapai puncak kegemilangannya dengan masjid agung nya yang merupakan salah satu warisan ke emasan periode kekuasaan ini, dengan stabilitas dan kejayaan nya. Keseluruhan luas masjid yang kini ada adalah warisan dari dinasti ini.

Pintu Utama Masjid Uqba dari area halaman dalam.

Tahun 836, Ziadiet Allah I merekonstruksi masjid ini sekali lagi, dimasa dinasti ini keseluruhan penampilan masjid dirombak keseluruhan, dan sentuhan ahir dinasti ini yang kini kita lihat. Disaat yang sama bangunan mimbar dilengkapi dengan kubah.

Sekitar tahun 862-863, Abul Ibrahim memperluas area mihrab, Di tahun 875 Ibrahim II kembali membangun mihrab ini. Masjid yang kini berdiri dapat ditelusuri ke era kekuasaan Aghlabids, tidak ada satu elemen pun yang berasal dari sebelum abad ke 9 masehi disekitar mihrab kecuali beberapa restorasi kecil  dan penambahan di masa pemerintahan Zirids tahun 1025, tahun 1249 dan 1293 hingga 1294 dibawah kekuasaan Hafsids dan tahun 1618 dimasa kekuasaan mouradites beys.

Restorasi besar besaran dilaksanakan tahun 1967 dilaksanakan dibawah arahan dari Institut Arkeologi dan Seni Nasional Tunisia. Restorasi dilaksanakan terhadap keseluruhan komplek masjid. pekerjaan restorasi ini selesai dilaksanakan dan di resmikan bertepatan dengan peringatan maulid nabi tahun 1972.

Gambaran tiga dimensi Masjid Uqba

Arsitektur Masjid Agung Kairouan

Masjid agung Kairouan ini begitu besar, seluas 9000 meter persegi, dengan tembok dinding yang begitu besar dengan sembilan g erbang utama. Non muslim diperkanankan berkunjung ke masjid ini melalui gerbang di jalan rue Oqba ibn Nafaa dan diminta untuk menggunakan busana muslim. Di pintu masuk tersebut pengurus masjid sudah menyediakan jubah dan pakaian yang layak bagi pengunjung non muslim untuk dapat digunakan sebelum masuk ke area masjid.

Halaman tengah masjid ini dibuat dari bongkahan bongkahan batu batu besar segi empat dilengkapi dengan sistem drainase yang sangat baik. Beberapa bagian halaman ini dilengkapi dengan cekungan untuk menampung debu agar tidak turut masuk ke dalam sistem drainase. Dari halaman tengah ini kita dapat menikmati keindahan setiap lengkungan yang menghias masjid ini yang terdiri dari sekitar 400 pilar tua. Pilar pilar tersebut konon di ambil dari gedung gedung bekas bangunan gereja gereja Romawi, Bizantium dan bangunan Latin disekitar lokasi.

Di ujung utara halaman tengah berdiri bangunan menara masjid setinggi 115 kaki, bangunan menara yang masiv terdiri dari tiga lantai. Di lantai paling bawah yang dibangun tahun 728 masih terdapat inskripsi latin di balok batu besar jaman Rowami. Balok tersebut salah satu material yang dipakai dari bangunan bekas sekitar lokasi.

Puncak Menara Masjid Uqba 

Pintu utama masjid ini merupakan pintu kayu berukir buatan tahun 1829M. Pengunjung non muslim tidak dperkenankan untuk masuk ke ruang sholat namun diperkenankan untuk sekedar melihat dari luar. Ruang utama masjid ini terdiri dari 17 lorong ditopang oleh 414 tiang penyanggah dari batu pualam dari Carthage dan Sousse. ruang dalam masjid alas dengan permadani diseluruh permukaan lantainya.

Mihrab masjid berada di lorong tengah ruangan, mihrab yang berasal dari abad ke 9 masehi ini berada di sisi selatan masjid dan tentu saja menghadap ke Ka’bah di Mekah Al-Mukarromah. Mimbar ini merupakan mimbar dari kayu penuh dengan ukiran cantik dan keseluruhan ukiran kayu tersebut didatangkan dari Bagdad (Irak). Disekitar masjid ini juga terdapat beberapa makam dari para tokoh dan ulama Kairouan.

Interior Masjid Uqba Bin Nafi

Masjid Uqba merupakan salah satu warisan sejarah dunia UNESCO di Tunisia. Masjid ini, masjid Uqba Bin Nafi sekaligus menjadi masjid tertua di kawasan Afrika utara dan sekitarnya, dan masjid tertua dengan gaya magribi, menjadikannya sebagai bangunan monumental Islam terbesar yang begitu impresif di Afrika Utara. Masjid ini juga sekaligus menjadi masjid dengan reputasi universal sebagai sebuah mahakarya seni dan arsitektur Islam.

Dibawah pemerintahan Aghlabids bagian dari Bani Tamim di abad ke 9 masehi, sebuah pekerjaan besar restorasi, renovasi dan perluasan terhadap masjid ini dilakukan menghadirkan masjid yang kini dapat kita nikmati di Kairouan, Tunisia. Masjid Agung Uqba Bin Nafis dan berbagai tempat bersejarah lainnya di kota Kairouan ini memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan dan reputasi kota tersebut.

Kubah Masjid Uqba Bin Nafi 

Kairouan Kota Santri

Setelah lebih dari 1400 tahun sejak pertama dibangun oleh Uqba Bin Nafis Masjid Uqba hingga kini masih menampakkan keanggunannya dan reputasinya. Kota Kairouan sendiri sampai kini terkenal sebagai kota santri di TunisiaMemasuki Kota Kairouan memang segera terkesan tentang sebuah kota santri yang bernuansa agamis.penduduk sekitar menyebutkan, ada sekitar 250 masjid yang tersebar di seluruh pelosok Kota Kairouan. Mereka juga mengungkapkan, dari seusai sholat magrib hingga waktu isa tiba, para murid dari Afrika, Tunisia, dan negara Arab lain menghafal Al Quran di Masjid Uqba bin Nafi. Kota Kairouan merupakan salah satu tujuan utama wisatawan dari mancanegara.***

----------------------------------------ooOOOoo------------------------------------------