Sabtu, 06 April 2019

Masjid Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 2)

Ba'da Subuh di Masjid Agung Demak.

Arsitektur Masjid Agung Demak

Bangunan asal yang dibangun pada era Raden Fatah kini menjadi bangunan induk tempat mihrab, mimbar dan maksurah berada. Bangunan induk tersebut kemudian ditambah dengan bangunan Serambi pada masa pemerintahan Adipati Unus atau Pati Unus atau dikenal juga dengan nama Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak ke dua (1518-1521).
 
Pembangunan masjid Agung Demak melibatkan langsung para wali yang masih hidup di masa itu. Sejarah menyebutkan bahwa para wali tersebut yang membuat langsung empat sokoguru atau pilar penopang utama masjid ini. Tiga pilar dibuat dari kayu jati utuh berukuran besar sedangkan satu pilar dibuat dari serpihan serpihan kayu dari tiga pilar tersebut.
 
Sokoguru yang berada di barat laut (kanan depan) didirikan Sunan Bonang, di barat daya (kiri depan) karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara (kiri belakang) buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut (kanan belakang) karya Sunan Kalijaga yang dibuat dari serpihan kayu, masyarakat Demak menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.

Empat sokoguru didalam Masjid Agung Demak.

Ke empat sokoguru tersebut terbuat dari kayu jati tua dan kini masih berdiri kokoh ditempatnya. Upaya konservasi terhadap empat tiang bersejarah tersebut dilakukan dengan menambahkan pelapis di bagian luar juga dengan kayu jati berukuran tebal melapisi seluruh masing masing tiang tersebut dibagian luar.

Pemugaran Tahun 1987
 
Masjid Agung Demak pernah direnovasi dimasa pemerintahan Presiden Suharto. Renovasi dilakukan untuk mempertahankan Masjid Agung Demak yang sudah termakan usia. Renovasi saat itu dilakukan dengan tetap menjaga keaslian bentuk Masjid Agung Demak. Penggantian dan perbaikan bagian bagian yang sudah lapuk seiring berjalannya waktu.
 
Sokoguru yang kini berdiri merupakan sokoguru dari masa renovasi tersebut, sedangkan sokoguru aslinya kini disimpan digedung museum Masjid Agung Demak yang dibangun dipelataran depan masjid. Penggantian sokoguru dilakukan karena kondisinya yang sudah sangat mendesak, bagian atas sokoguru diketahui sudah benar benar lapuk termasuk akibat cairan hewan malam yang seringkali hinggap disana

Pemugaran terhadap Masjid Agung Demak pernah dilakukan di masa pemerintahan Presiden Soeharto dan diresmikan pada tanggal 21 Maret 1987.

Peresmian masjid Agung Demak setelah renovasi dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 1987 oleh Presiden Suharto. Turut hadir dalam upacara peresmian tersebut diantaranya adalah Ibu Tien Suharto, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan, Menteri Dalam Negeri Suparjo Rustam, dan Ibu E.N. Soedharmono
 
Hal yang memprihatinkan terjadi pada sokotatal yang dibuat oleh Sunan Kalijogo, saat ini soko tatal tersebut tinggal tersisa lebih kurang satu meter saja, selain memang sudah lapuk pada saat diganti, tapi ternyata juga menjadi objek “pencongkelan” para pengunjung museum untuk dijadikan semacam “oleh-oleh” atau lainnya, sebelum kemudian seluruh empat sokoguru tersebut diproteksi oleh pengelola museum dengan dinding kaca.

Beberapa bangunan dan fasilitas ditambahkan ke masjid Agung Demak ini dikemudian hari termasuk penambahan bangunan pawastren atau tempat sholat khusus Jemaah wanita dibangun pada masa K.R.M.A.Arya Purbaningrat 1866 M. Menara masjid ini pun dibangun jauh setelah pembangunan masjid, dibangun di abad ke 20 di prakarsai para ulama seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin.

Presiden Suharto dan rombongan di Masjid Agung Demak saat peresmian Pemugaran Masjid Agung Demak Pada 21 Maret 1987.

Pembangunan fasilitas penunjang dan perbaikan komplek masjid terus belanjut hingga ke masa kemerdekaan termasuk pembangunan termpat wudhu, kantor takmir dan pengurus juga pembangunan museum masjid Agung Demak yang menyimpan berbagai artifak sejarah yang berhubungan dengan Masjid Agung dan kesultanan Demak.

Duplikasi Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak secara utuh kemudian di tiru oleh para tokoh masyarakat dan Ulama kesultanan Banjar (Kalimantan Selatan) saat mereka membangun Masjid Jami’ Martapura (1897 M), utusan dari Kesultanan Banjar sengaja datang ke Demak untuk melihat Masjid Agung Demak dan membuat maket masjid tersebut lengkap dengan skala demi keperluan pembangunan masjid Jami’ kesultanan Banjar. Masjid Jami’ Martapura yang asli kini sudah berganti menjadi sebuah masjid yang begitu megah dan modern bernama Masjid Agung Al-Karomah Martapura.

Bentuk masjid beratap Joglo seperti ini tak hanya ditemui pada masjid masjid yang dibangun setelah era Masjid Agung Demak, tapi pada masjid masjid yang dibangun sebelum Masjid Agung Demak berdiri pun sudah memakai struktur demikian. Seperti contoh pada masjid tertua di Indonesia Masjid Saka Tunggal(1288) di Banyumas yang menggunakan atap joglo bertiang tunggal, itu sebabnya disebut masjid saka tunggal. Lebih jauh ke timur kita akan temukan bentuk yang sama pada Masjid Wapauwe (1414) Masjid tua Maluku Tengah.

Dari sudut ini hampir keseluruhan Masjid Agung Demak tampak dalam satu frame. Saat saat menjelang pagi hari, ketika para peziarah sudah mulai bergerak dari masjid menuju komplek pemakaman para Sultan Demak di bagian belakang masjid ini.

Kita akan menemukan pola yang sama pada masjid masjid tua Indonesia diberbagai daerah seperti contoh, Masjid Sultan Suriansyah (1526) di Banjarmasih Kalimantan Selatan, Masjid Al-Hilal Katangka (1603) di kampung halaman nya Shekh Yusuf di Kabupaten Gowa, Sulsel. Dan Masjid Tua Palopo(1604) peninggalan Kesultanan Luwu di Kota Palopo, SuIawesi Selatan. Masih ada lagi Masjid Djami Keraton Landak (1895) di Kabupaten Landak, Kalimantan barat serta Masjid Agung Air Mata - Kupang (1806). Arsitektural masjid dengan atap joglo atau bentuk limas ini menyebar di seluruh tanah air dari pulau sumatera di barat hingga ke wilayah timur Indonesia.

Yang lebih menarik kemudian bahwa arsitektural  masjid asli Nusantara ini juga dipakai di masjid masjid tua di negeri serantau, seperti contohnya adalah dua masjid tua di Kota Malaka, Malaysia yakni Masjid Kampung Keling Malaka, Malaysia (1748M) dan Masjid Kampung Hulu Malaka, Malaysia (1728M). 

Para peziaran dari berbagai daerah memadati area komplek pemakaman para Sultan Demak di komplek Masjid Agung Demak ini. Mereka yang datang dari berbagai daerah menggunakan berbagai moda kendaraan menginap di masjid Agung dan dibimbim oleh para pembimbingnya masing masing menuju ke komplek pemakaman ini melalui koridor disebelah kanan masjid. 

Tak hanya masjid masjid tua yang menggunakan rancangan masjid warisan kejayaan Majapahit itu. Arsitektur Masjid dengan atap Joglo bersusun tiga ini seperti sudah menjadi ciri khusus masjid khas Indonesia. Bila anda masih ingat dengan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yayasan yang didirikan oleh Alm. Pak Harto semasa masih berkuasa, setiap masjid yang dibangun dengan dana dari yayasan ini selalu menggunakan atap limasan (joglo) bersusun tiga dengan 4 sokoguru pada masjid masjid yang dibangun.

Masjid masjid megah yang di beberapa kota tanah air yang didirikan di abad ini pun tak sedikit yang masih mengadopsi arsitektur tradisional asli Indonesia ini, meski dengan sentuhan modern dan berteknologi terkini, beberapa juga dibangun tanpa 4 sokoguru. Seperti contoh Masjid Raya Batam yang dibangun tahun 1997 dan bagian bangunan perluasan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II di kota Palembang, Sumatera Selatan yang menggunakan struktur atap limas untuk tetap memberikan harmonisasi dengan atap limas bersusun tiga pada bangunan masjid asli yang masih terjaga dengan baik di bagian paling depan dari keseluruhan komplek Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II. [telah di update pada 4 Mei 2025]

(Bersambung ke bagian 3, ahir)

Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
------------------------------------------------------------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA