![]() |
Simetrical Masjid Agung Demak. |
Refleksi Sejarah
Sejarah Kesultanan Demak dimulai pada tahun 1475 dengan
diangkatnya Raden Fatah sebagai Adipati Natapraja di Glagahwangi Bintoro Demak
oleh Raja Majapahit Sri Maharaja Prabu Singhanegara Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) yang tak lain adalah ayah kandung dari Raden Fatah sendiri. Pengangkatan beliau
sebagai adipati juga diberikan beberapa hadiah termasuk 8 pilar yang kini digunakan
sebagai pilar penopang serambi masjid agung dan dampar kencana yang kini
dipakai sebagai mimbar khutbah di masjid agung.
Hampir dapat
dipastikan bahwa hadiah pilar pilar berukir adalah untuk keperluan pembangunan
keraton, dan Dampar Kencana untuk singgasana sang Adipati, bila memang untuk
pembangunan keraton artinya pada saat itu, Demak belum memiliki Keraton. Dapat
difahami karena memang pada saat itu Demak sendiri masih berstatus sebagai sebuah Kadipaten di
wilayah Majapahit.
Dikemudian hari
delapan pilar berukir itu nyatanya justru dipakai untuk pembangunan serambi
Masjid Agung Demak oleh Sultan Yunus (Pati Unus) memunculkan dugaan bahwa
keraton Demak tidak pernah benar benar dibangun, bahwa kemungkinan para Sultan
Demak tinggal di kediaman mereka diantara kediaman masyarakat umum yang juga
difungsikan sebagai Keraton.
Proklamasi Demak sebagai sebuah Kesultanan
Merdeka dari Majapahit terjadi setelah Sri Maharaja Prabu Singhanegara
Wijayakusuma atau Bhre
Kertabhumi ada juga yang menyebutnya sebagai Brawijaya V yang merupakan Ayah
kandung dari Raden Fatah dikudeta oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau
Bhre Keling (Brawijaya VI) dari tahta Majapahit pada 1478.
Girindrawardhana
atau Brawijaya VI merupakan menantu Brawijaya V atau ipar Raden Fatah yang justru merebut
takhta mertuanya itu. Situasi ini membuat peluang Raden Fatah untuk menjadi raja
Majapahit penerus ayahnya pun pupus. Berahirnya kekuasaan Brawijaya V terjadi
tiga tahun setelah Kadipaten
Glagahwangi (Demak) berdiri sekaligus menjadi awal berdirinya Kesultanan Demak sebagai sebuah negara
merdeka.
Benang merah Jakarta, Cirebon dan Demak
Sejak masa
kekuasaan kerajaan hingga kesultanan, tanah Jawa tak pernah bersatu di bawah
satu pemerintahan. Pada masanya Majapahit berkuasa dibagian timur dan Kerajaan Sunda
menguasai bagian barat pulau Jawa. Dua kerajaan besar yang pernah terlibat
dalam perang besar dan kemudian menjadi sebab melemahnya kedua kerajaan itu.
Girindrawardhana atau Brawijaya
VI merupakan menantu Brawijaya V atau ipar Raden Patah yang justru merebut
takhta mertuanya itu. Situasi ini membuat peluang Raden Patah untuk menjadi
raja Majapahit penerus ayahnya pun pupus. Berahirnya kekuasaan Brawijaya V
terjadi tiga tahun setelah kesultanan Demak berdiri.
Benang merah Jakarta, Cirebon dan Demak
Sejak masa kekuasaan kerajaan
hingga kesultanan, tanah Jawa tak pernah bersatu di bawah satu pemerintahan.
Pada masanya Majapahit berkuasa dibagian timur dan Pajajaran menguasai bagian
barat pulau Jawa. Dua kerajaan besar yang pernah terlibat dalam perang besar
dan kemudian menjadi sebab melemahnya kedua kerajaan itu.
Sampai tiba
suatu masa, Demak berdiri sebagai
sebuah kesultanan di tahun 147*, dan menjadi titik
balik kejayaan kerajaan Majapahit. Sementara di bagian barat pulau Jawa, tak
lama setelah itu Kesultanan Cirebon berdiri memerdekakan diri dari kekuasaan
Pajajaran. Demak dibangun oleh Raden Fatah Anak Prabu Brawijaya V Raja ke 11 Majapahit, sedangkan
Cirebon dibangun oleh Syarif Hidayatullah cucu dari Sri Baduga Maharaja atau Prabu
Siliwangi Raja Pajajaran pemersatu
dan penerus kerajaan Sunda.
![]() |
Dibagian atas mihrab (pengimaman) jauh di bagian depan diantara dua sokoguru anda dapat melihat lambang Surya Majapahit bewarna kuning dengan warna dasar hijau. |
Anda akan
menemukan lambang ‘mirip” Surya Majapahit di Masjid Agung Demak, dan anda juga
akan menemukan lambang yang ‘mirip’ Surya Majapahit di atas mihrab Masjid Agung
Sang Ciptarasa Cirebon. Anda dengan mudah menemukan hal hal beraroma Majapahit
di Masjid Agung Demak dan anda juga akan menemukan hal hal yang berkaitan erat
dengan Pajajaran di Keraton Kasepuhan hingga ke Masjid Agung
Sang Ciptarasa Cirebon.
Dan sejarah
mencatat dengan indah kedua kesultanan itu kemudian bersatu padu menyerbu
kekuasaan Portugis yang mulai bercokol di Sunda Kelapa, serbuan yang berjaya dan menjadi titik
awal berdirinya Kesultanan Jayakarta yang sekian abad setelah itu, kota yang
dididirkan oleh para penerus dua kerajaan besar tanah Jawa itu menjadi Ibukota
Negara Republik Indonesia.
Suatu saat bila
saja anda mau sedikit merenung di silang Monas, anda akan menemukan ruh masa
lalu Nusantara di Ibukota Negara, dimana sebuah alun alun besar menjadi titik
pusat kekuasaan dikelilingi dengan Masjid Agung, Pusat pemerintahan dan pusat
perekonomian. Semua mengingatkan kita bahwa kita adalah bangsa yang besar
dengan sejarah yang teramat panjang, dan jangan pernah sekali sekali melupakan
sejarah. Wallahuwa’lam bisshawab.*** SELESAI.
[dari berbagai sumber, data diolah, telah diupdate pada 4 Mei 2025]
------------------------------------------------------------------
Artikel Terkait
Masjid
Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 1)
Masjid
Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 2)
Masjid
Agung Demak, Masjid Kesultanan Pertama di Nusantara (bagian 3)
Masjid
Saka Tunggal, Masjid Tertua di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA